SEKOLAH TINGGI AGAMA ISLAM ( STAI )
DR. KHEZ MUTTAQIEN PURWAKARTA
Status Terakreditasi BAN-PT. Depdiknas RI
Program Studi : Pendidikan Agama Islam – Ahwal Al-Syakhsiyyah –
Ekonomi Syariah – Komunikasi & Penyiaran Islam – Pendidikan Bahasa
Arab
Jl. Baru Maracang No. 35 Purwakarta Telp./Fax. (0264)
200092
MODUL
AKIDAH DAN ILMU KALAM
SMESTER 2
SYI'AH
A. Pengertian
Syi'ah
Istilah Syi'ah berasal dari kata Bahasa Arab شيعة Syī`ah. Bentuk tunggal dari kata ini adalah Syī`ī شيعي. "Syi'ah" adalah bentuk pendek dari kalimat
bersejarah Syi`ah `Ali شيعة علي artinya
"pengikut Ali", yang berkenaan tentang Q.S. Al-Bayyinah ayat
khoirulbariyyah, saat turunnya ayat itu Nabi SAW bersabda: "Wahai Ali,
kamu dan pengikutmu adalah orang-orang yang beruntung" (ya Ali anta
wa syi'atuka humulfaaizun)[1]
Syi'ah menurut etimologi bahasa Arab
bermakna: pembela dan pengikut seseorang. Selain itu juga bermakna: Setiap kaum
yang berkumpul di atas suatu perkara. Adapun menurut terminologi
syariat bermakna: Mereka yang menyatakan bahwa Ali bin Abi Thalib sangat utama
di antara para sahabat dan lebih berhak untuk memegang tampuk kepemimpinan kaum
muslimin, demikian pula anak cucunya sepeninggal beliau.[2] Syi'ah, dalam
sejarahnya mengalami beberapa pergeseran. Seiring dengan bergulirnya waktu,
Syi'ah mengalami perpecahan sebagaimana Sunni juga mengalami perpecahan mazhab.
Muslim Syi'ah percaya bahwa Keluarga Muhammad
(yaitu para Imam Syi'ah) adalah sumber pengetahuan terbaik tentang Qur'an dan
Islam, guru terbaik tentang Islam setelah Nabi Muhammad SAW, dan pembawa serta
penjaga tepercaya dari tradisi Sunnah.
Secara khusus, Muslim Syi'ah berpendapat bahwa
Ali bin Abi Thalib, yaitu sepupu dan menantu Nabi Muhammad SAW dan kepala
keluarga Ahlul Bait, adalah penerus kekhalifahan setelah Nabi Muhammad SAW,
yang berbeda dengan khalifah lainnya yang diakui oleh Muslim Sunni. Muslim
Syi'ah percaya bahwa Ali dipilih melalui perintah langsung oleh Nabi Muhammad
SAW, dan perintah Nabi berarti wahyu dari Allah.[3]
Perbedaan antara pengikut Ahlul Bait dan Abu
Bakar menjadikan perbedaan pandangan yang tajam antara Syi'ah dan Sunni dalam
penafsiran Al-Qur'an, Hadits, mengenai Sahabat, dan hal-hal lainnya. Sebagai
contoh perawi Hadits dari Muslim Syi'ah berpusat pada perawi dari Ahlul Bait,
sementara yang lainnya seperti Abu Hurairah tidak dipergunakan.
Tanpa memperhatikan perbedaan tentang khalifah,
Syi'ah mengakui otoritas Imam Syi'ah (juga dikenal dengan Khalifah Ilahi)
sebagai pemegang otoritas agama, walaupun sekte-sekte dalam Syi'ah berbeda
dalam siapa pengganti para Imam dan Imam saat ini.[4]
B.
Sejarah munculnya Syi'ah
Mengenai kemunculan syi’ah dalam sejarah
terdapat perbedaan dikalangan ahli. Menurut Abu Zahrah, syi’ah mulai muncul
pasda masa akhir pemerintahan Usman bin Affaan kemudian tumbuh dan berkembang
pada masa pewmerintahan Ali bin Abi Thalib, adapun menurut Watt, syi’ah baru
benar-benar. Muncul ketika berlangsung peperangan antara Ali dan Mu’awiyah yang
dikenal dengan perang Shiffin. Dalam peperangan ini, sebagai respon atas
penerimaan Ali terhadap arbritase yang ditawarkan Mu’awiyah. Pasukan Ali
diceritakan terpecah menjadi dua. Satu kelompok mendukung sikap Ali (Syi’ah)
dan kelompok mendak sikap Ali (Khawarij).[5]
Kalangan syi’ah sendiri berpendapat bahwa
kemunculan syi’ah berkaitan dengn masalah penganti (Khilafah) Nabi SAW. Mereka
menlak kekhalifahan Abu Bakar, Umar bin Khathtab, dan Usman bin Affan karena
dalam pandangan mereka hanya Ali bin Abi Thalib yang berhak
mengantikan Nabi SAW. Kepemimpinan Ali dalam pandangan syi’ah tersebut sejalan
dengan isyarat-isyarat yang diberikan Nabi SAW, pada masa hidupnya. Pada awal
kenabian ketika Muhammad SAW diperintahkan menya,paikan dakwah ke kerabatnya,
yang pertama menerima adalah Ali bin Abi Thalib. Diceritakan bahwa Nabi pada
saat itu mengatakan bahwa orang yang pertama menemui ajakannya akan menjadi
penerus dan pewarisnya. Selain itu, sepanjang kenabian Muhammad, Ali merupakan
orang yang luar biasa besar.[6]
Bukti utama tentang sahnya Ali sebagai penerus
Nabi adalah peristiwa Ghadir Khumm.[7] Diceritakan bahwa ketika kembali dari
haji terakhir, dalam perjalanan dari Mekkah ke Madinah di suatu padang pasir
yang bernama Ghadir Khumm. Nabi memilih Ali sebagai pengantinya dihadapan massa
yang menyertai beliau. Pada peristiwa itu, Nabi tidak hanya menetapkan Ali
sebagai pemimpin umum umat (walyat-i ‘ammali), tetapi juga menjadikna Ali
sebagaimana Nabi sendiri, sebagai pelindung (wali) mereka. Namun realitasnya
berbicara lain.[8]
Berlawanan dengan harpan mereka, ketika nabi
wafata dan jasadnya belum dikuburkan, ada kelompok lain yang pergi ke masjid
untuk menentukan pemimpin yang baru karena hilangnya pemimpin yang secara
tiba-tiba, sedangkan anggota keluarga nabi dan beberapa sahabat masih
sibuk dengan persiapan upacara pemakaman Nabi. Kelompok inilah yang
kemudian menjadai mayoritas bertindak lebih jauh dan dengan sangat tergesa-gesa
memilih pemimpin yang baru dengan alasan kesejahteraan umat dann memcahkan
masalah mereka saat itu. Mereka melakukan itu tanpa berunding dahulu dengan
ahlul bait, kerabat, atau pun sahabat yang pada saat itu masih mengurusi
pemakaman. Mereka tidak memberi tahu sedikitpun. Dengan demikian, kawan-kawan
Ali dihdapkan pada suatu hal yang sudah tak bias berubah lagi (faith
accomply).[9]
Karena kenyataan itulah muncul suatu sikap dari
kalangan kaum muslimin yang menentanga kekhalifahan dan kaum mayoritas
dalam masalah-masalah kepercayaan tertentu. Mereka tetap berpendapat bahwa
pengganti nabi dan penguasa keagamaan yang sah adalah Ali. Mereka yakin bahwa
semua masalah kerohanian dan agama harus merujuk kepadanya dan mengajak masyarakat
mengikutinya.[10] Kaum inilah yang disebut dengan kaum Syi’ah. Namun lebih dari
pada itu, seperti yang dikatakan Nasr, sebab utama munculnya Syi’ah terletak
pada kenyataan bahwa kemungkinan ini ada dalam wahyu islam sendiri, sehingga
mesti diwujudkan.[11]
Perbedaan pendapat dikalangan para ahli mengenai
kalangan Syi’ah merupakan sesuatu yang wajar. Para ahli berpegang teguh pada
fakta sejarah “perpecahan” dalam Islam yang memang mulai mencolok pada masa
pemerintahan Usman bin Affan dan memperoleh momentumnya yang paling kuat pada
masa pemerintahan Ali bin Abi Thalib, tepatnya setelah Perang Siffin. Adapun
kaum Syi’ah, berdasarkan hadits-hadits yang mereka terima dari ahl al-bait,
berpendapat bahwa perpecahan itu sudah mulai ketika Nabi SAW. Wafat dan
kekhalifahan jatuh ke tangan Abu Bakar. Segera setelah itu terbentuklah Syi’ah.
Bagi mereka, pada masa kepemimpinan Al-Khulafa Ar-rasyidin sekalipun, kelompok
Syi’ah sudah ada. Mereka bergerak di bawah permukaan untuk mengajarkan dan
menyebarkan doktrin-doktrin syi’ah kepada masyarakat.
Syi’ah mendapatkan pengikut yang besar terutama
pada masa dinasti Amawiyah. Hal ini menurut Abu Zahrah merupakan akibat dari
perlakuan kasar dan kejam dinasti ini terdapat ahl al-Bait. Diantara bentuk
kekerasan itu adalah yang dilakukan pengusaha bani Umayyah. Yazid bin Muawiyah,
umpamanya, pernah memerintahkan pasukannya yang dipimpin oleh Ibn Ziyad untuk
memenggal kepala Husein bin Ali di Karbala.[12] Diceritakan bahwa setelah
dipenggal, kepala Husein dibawa ke hadapan Yazid dan dengan tonkatnya Yazid
memukul kepala cucu Nabi SAW. Yang pada waktu kecilnya sering dicium Nabi.[13]
Kekejaman seperti ini menyebabkan kebagian kaum muslimin tertarik dan mengikuti
mazhab Syi’ah, atau paling tidak menaruh simpati mendalam terhadap tragedy yang
menimpa ahl al-bait.
Dalam perkembangan selain memperjuangkan hak
kekhalifahan ahl-al bait dihadapan dinasti Ammawiyah dan Abbasiyah, syi’ah juga
mengembangkan doktrin-doktrinnya sendiri. Berkitan dengan teologi, mereka
mempunyai lima rukun iman, yakni tauhid (kepercayaan kepada kenabian), Nubuwwah
(Percaya kepada kenabian), Ma’ad (kepercyaan akan adanya hidup diakhirat),
imamah (kepercayaan terhadap adanya imamah yang merupakan ahl-al bait), dan adl
(keadaan ilahi). Dalam Ensiklopedi Islam Indonesia ditulis bahwa perbedaan
antara sunni dan syi’ah terletak pada doktrin imamah.[14] Meskipun mempunyai
landasan keimanan yang sama, syi’ah tidak dapat mempertahankan kesatuannya.
Dalam perjalanan sejrah, kelompok ini akhirnya tepecah menjadi beberapa sekte.
Perpecahan ini terutama dipicu oleh masalah doktrin imamah. Diantara
sekte-sekte syi’ah itu adalah Itsna Asy’ariyah, Sab’iyah. Zaidiyah, dan
Ghullat.
C.
Pokok-pokok Ajaran
Syi'a
Kaum Syi’ah memiliki 5 pokok pikiran utama yang
harus dianut oleh para pengikutnya diantaranya yaitu at tauhid, al ‘adl, an
nubuwah, al imamah dan al ma’ad.
a. At tauhid
Kaun Syi’ah juga meyakini bahwa Allah SWT itu
Esa, tempat bergantung semua makhluk, tidak beranak dan tidak diperanakkan dan
juga tidak serupa dengan makhluk yang ada di bumi ini. Namun, menurut mereka
Allah memiliki 2 sifat yaitu al-tsubutiyah yang merupakan sifat yang
harus dan tetap ada pada Allah SWT. Sifat ini mencakup ‘alim (mengetahui),
qadir (berkuasa), hayy (hidup), murid (berkehendak), mudrik (cerdik, berakal),
qadim azaliy baq (tidak berpemulaan, azali dan kekal), mutakallim
(berkata-kata) dan shaddiq (benar). Sedangkan sifat kedua yang dimiliki oleh
Allah SWT yaitu al-salbiyah yang merupakan sifat yang tidak mungkin ada
pada Allah SWT. Sifat ini meliputi antara tersusun dari beberapa bagian,
berjisim, bisa dilihat, bertempat, bersekutu, berhajat kepada sesuatu dan
merupakan tambahan dari Dzat yang telah dimilikiNya.[15]
b. Al ‘adl
Kaum Syi’ah memiliki keyakinan bahwa Allah
memiliki sifat Maha Adil. Allah tidak pernah melakukan perbuatan zalim ataupun
perbuatan buruk yang lainnya. Allah tidak melakukan sesuatu kecuali atas dasar
kemaslahatan dan kebaikan umat manusia. Menurut kaum Syi’ah semua perbuatan
yang dilakukan Allah pasti ada tujuan dan maksud tertentu yang akan dicapai,
sehingga segala perbuatan yang dilakukan Allah Swt adalah baik. Jadi dari uraian
di atas dapat disimpulkan bahwa konsep keadilan Tuhan yaitu Tuhan selalu
melakukan perbuatan yang baik dan tidak melakukan apapun yang buruk. Tuhan juga
tidak meninggalkan sesuatu yang wajib dikerjakanNya.[16]
c. An nubuwwah
Kepercayaan kaum Syi’ah terhadap keberadaan Nabi
juga tidak berbeda halnya dengan kaum muslimin yang lain. Menurut mereka Allah
mengutus nabi dan rasul untuk membimbing umat manusia. Rasul-rasul itu
memberikan kabar gembira bagi mereka-mereka yang melakukan amal shaleh dan memberikan
kabar siksa ataupun ancaman bagi mereka-mereka yang durhaka dan mengingkari
Allah SWT. Dalam hal kenabian, Syi’ah berpendapat bahwa jumlah Nabi dan Rasul
seluruhnya yaitu 124 orang, Nabi terakhir adalah nabi Muhammad SAW yang
merupakan Nabi paling utama dari seluruh Nabi yang ada, istri-istri Nabi adalah
orang yang suci dari segala keburukan, para Nabi terpelihara dari segala bentuk
kesalahan baik sebelum maupun sesudah diangkat menjadi Rasul, Al Qur’an adalah
mukjizat Nabi Muhammad yang kekal, dan kalam Allah adalah hadis (baru), makhluk
(diciptakan) hukian qadim dikarenakan kalam Allah tersusun atas huruf-huruf dan
suara-suara yang dapat di dengar, sedangkan Allah berkata-kata tidak dengan
huruf dan suara.[17]
d. Al-Imamah
Bagi kaun Syi’ah imamah berarti kepemimpinan
dalam urusan agama sekaligus dalam dunia. Ia merupakan pengganti
Rasul dalam memelihara syari’at, melaksanakan hudud (had atau hukuman terhadap
pelanggar hukum Allah), dan mewujudkan kebaikan serta ketentraman umat. Bagi
kaum Syi’ah yang berhak menjadi pemimpin umat hanyalah seorang imam dan
menganggap pemimpin-pemimpin selain imam adlah pemimpin yang ilegal dan tidak
wajib ditaati. Karena itu pemerintahan Islam sejak wafatnya Rasul (kecuali
pemerintahan Ali Bin Abi Thalib) adalah pemerintahan yang tidak sah. Di samping
itu imam dianggap ma’sum, terpelihara dari dosa sehingga iamam tidak berdosa
serta perintah, larangan tindakan maupun perbuatannya tidak boleh diganggu
gugat ataupun dikritik.[18]
e. Al-Ma’ad
Secara harfiah al ma’dan yaitu tempat kembali,
yang dimaksud disini adalah akhirat. Kaum Syi’ah percaya sepenuhnya bahwa hari akhirat itu pasti terjadi.
Menurut keyakinan mereka manusia kelak akan dibangkitkan, jasadnya secara
keseluruhannya akan dikembalikan ke asalnya baik daging, tulang maupun ruhnya.
Dan pada hari kiamat itu pula manusia harus memepertanggungjawabkan segala
perbuatan yang telah dilakukan selama hidup di dunia di hadapan Allah SWT. Pada
saaat itu juga Tuhan akan memberikan pahala bagi orang yang beramal shaleh dan
menyiksa orang-orang yang telah berbuat kemaksiatan.[19]
D. Perkembangan
Syi'ah
Semua sekte dalam Syi'ah sepakat bahwa imam yang
pertama adalah Ali bin Abi Thalib, kemudian Hasan bin Ali, lalu Husein bin Ali.
Namun setelah itu muncul perselisihan mengenai siapa pengganti imam Husein bin
Ali. Dalam hal ini muncul dua pendapat. Pendapat kelompok pertama yaitu
imamah beralih kepada Ali bin Husein, putera Husein bin Ali, sedangkan kelompok
lainnya meyakini bahwa imamah beralih kepada Muhammad bin Hanafiyah, putera Ali
bin Abi Thalib dari isteri bukan Fatimah.
Akibat perbedaan antara dua kelompok ini maka
muncul beberapa sekte dalam Syi'ah. Para penulis klasik berselisih tajam
mengenai pembagian sekte dalam Syi'ah ini. Akan tetapi, para ahli umumnya
membagi sekte Syi'ah dalam empat golongan besar, yaitu Kaisaniyah, Zaidiyah,
Imamiyah dan Kaum Gulat.
a.
Al-Kaisaniyah
Kaisaniyah ialah nama sekte Syiah yang meyakini
bahwa kepemimpinan setelah Ali bin Abi Thalib beralih ke anaknya Muhammad bin
Hanafiyah. Para ahli berselisih pendapat mengenai pendiri Syiah Kaisaniyah ini,
ada yang berkata ia adalah Kaisan bekas budak Ali bin Abi Thalib r.a. Ada juga
yang berkata bahwa ia adalah Almukhtar bin Abi Ubaid yang memiliki nama lain
Kaisan.[20]
Diantara ajaran dari Syiah Kaisaniyah ini ialah,
mengkafirkan khalifah yang mendahului Imam Ali r.a dan mengkafirkan mereka yang
terlibat perang Sifin dan Perang Jamal (Unta), dan Kaisan mengira bahwa Jibril
a.s mendatangi Almukhtar dan mengabarkan kepadanya bahwa Allah Swt menyembunyikan
Muhammad bin Hanafiyah.[21]
Sekte Kaisaniyah ini terbagi menjadi beberapa
kelompok, namun kesemuanya kembali kepada dua paham yang berbeda yaitu: 1.
Meyakini bahwa Muhammad bin Hanafiyah masih hidup. 2. Meyakini bahwa
Muhammad bin Hanafiyah telah tiada, dan jabatan kepemimpinan beralih kepada
yang lain.[22]
Pokok-pokok ajaran Syi’ah al-Kaisaniyah anatara
lain:
1) Mereka tidak
percaya adanya roh Tuhan menetes ke dalam tubuh Ali ibn Abi Thalib, seperti kepercayaan
orang-orang Saba’iyah.
2) Mereka
mempercayai kembalinya imam (raj’ah) setelah meninggalnya. Bahkan kebanyakan
pengikut al-Kaisaniyah percaya bahwa Muhammad Ibn Hanafiyah itu tidak
meninggal, tetapi masih hidup bertempat di gunung Radlwa.
3) Mereka
menganggap bahwa Allah Swt. itu mengubah kehendak-Nya menurut perubahan
ilmu-Nya. Allah Swt. Memerintah sesuatu, kemudian memerintah pula kebalikannya.
4) Mereka
mempercayai adanya reinkarnasi (tanasukh al-arwah).
5) Mereka
mempercayai adanya roh.[23]
b.
Az-Zaidiyah
Zaidiyah adalah sekte dalam Syi'ah yang
mempercayai kepemimpinan Zaid bin Ali bin Husein Zainal Abidin setelah
kepemimpinan Husein bin Ali. Mereka tidak mengakui kepemimpinan Ali bin Husein
Zainal Abidin seperti yang diakui sekte imamiyah, karena menurut mereka Ali bin
Husein Zainal Abidin dianggap tidak memenuhi syarat sebagai pemimpin. Dalam
Zaidiyah, seseorang dianggap sebagai imam apabila memenuhi lima kriteria,
yakni: keturunan Fatimah binti Muhammad SAW, berpengetahuan luas
tentang agama, zahid (hidup hanya dengan beribadah), berjihad dihadapan Allah
SWT dengan mengangkat senjata dan berani.
Sekte Zaidiyah mengakui keabsahan khalifah atau
imamah Abu Bakar As-Sidiq dan Umar bin Khattab. Dalam hal ini, Ali bn Abi
Thalib dinilai lebih tinggi dari pada Abu Bakar dan Umar bin Khattab. Oleh
karena itu sekte Zaidiyah ini dianggap sekte Syi'ah yang paling dekat dengan
sunnah.[24] Disebut juga Lima Imam dinamakan demikian sebab mereka merupakan
pengikut Zaid bin 'Ali bin Husain bin 'Ali bin Abi Thalib. Mereka dapat
dianggap moderat karena tidak menganggap ketiga khalifah sebelum 'Ali tidak
sah. Urutan imam mereka yaitu:
1) Ali bin
Abi Thalib (600–661), juga dikenal dengan Amirul Mukminin
2) Hasan bin
Ali (625–669), juga dikenal dengan Hasan al-Mujtaba
3) Husain
bin Ali (626–680), juga dikenal dengan Husain asy-Syahid
4) Ali bin
Husain (658–713), juga dikenal dengan Ali Zainal Abidin
5) Zaid bin
Ali (658–740), juga dikenal dengan Zaid bin Ali asy-Syahid, adalah anak Ali bin
Husain dan saudara tiri Muhammad al-Baqir.
Pokok-pokok
ajaran Syi’ah Zaidiyah, terdiri dari beberapa hal. Diantaranya:
1) Meyakini
seseorang dari keturunan Fathimah (puteri Nabi) yang melancarkan pemberontakan
dalam membela kebenaran, dapat diakui sebagai imam, jika ia memiliki
pengetahuan keagamaan, berakhlak mulia, berani, dan murah hati. Selanjutnya
mereka mengatakan bahwa siapapun dari keturunan Ali bin Abi Thalib dapat
menjadi imam, bisa lebih dari seorang dan bahkan tidak ada sama sekali. Jabatan
imam dapat dikukuhkan berdasarkan kemampuan dalam memimpin dan dapat juga
berdasarkan latar belakang pendidikan.
2) Ajaran
Syi’ah Zaidiyah mengenai kepemimpinan Khulafa al-Rasyidin, mengakui
kekhalifahan Abu Bakr, Umar dan Utsman pada awal masa pemerintahannya, meskipun
Ali bin Abi thalib dinilainya sebagai sahabat yang paling mulia. Dalam kaitan
ini, terdapat konsep Syi’ah Zaidiyah yang berbunyi : جواز امامة المفضول مع وجود الأفضل . Yang dimaksud dengan المفضول adalah Abu Bakr, ‘Umar dan ‘Usman. Sedangkan yang dimaksud
dengan الأفضل ialah Ali
bin Abi Thalib.
3) Dalam
ajaran Syi’ah Zaidiyah, tidak mengakui paham ishmah, yaitu keyakinan bahwa para
imam dijamin oleh Allah dari perbuatan salah, lupa dan dosa. Mereka juga
menolak paham rajaah (seorang imam akan muncul sesudah bersembunyi atau mati),
paham mahdiyah (seorang imam yang bergelar al-Mahdi akan muncul untuk
mengambangkan keadilan dan memusnahkan kebatilan), dan paham taqiyah (sikap
kehati-hatian dengan menyembunyikan identitas di depan lawan).
4) Dari segi
ushul atau prinsip-prinsip umum Islam, ajaran Syi’ah Zaidiyah mengikuti jalan
yang dekat dengan paham Mu’tazilah atau paham rasionalis. Adapun dari segi
furu’ atau masalah hukum dan lembaga-lembaganya, mereka menerapkan fikih Hanafi
(salah satu mazhab fikih dari golongan Sunni). Karenanya, dalam hal nikah
mut’ah mereka mengharamkannya, meskipun pada awal Islam nikah itu pernah
dibolehkan namun telah dibatalkan. Dewasa ini, fikih Syi’ah Zaidiyah termasuk
fikih yang diajarkan di Universitas al-Azhar.[25]
c.
Al-Imamiyah
Imamiyah adalah golongan yang meyakini bahwa
nabi Muhammad SAW telah menunjuk Ali bin Abi Thalib sebagai imam pengganti
dengan penunjukan yang jelas dan tegas. Oleh karena itu, mereka tidak mengakui keabsahan
kepemimpinan Abu Bakar, Umar, maupun Utsman. Bagi mereka persoalan imamah
adalah salah suatu persoalan pokok dalam agama atau ushuludin.
Sekte imamah pecah menjadi beberapa golongan.
Golongan yang besar adalah golongan Isna' Asyariyah atau Syi'ah dua belas.
Golongan terbesar kedua adalah golongan Isma'iliyah. Golongan Isma'iliyah
berkuasa di Mesir dan Baghadad.[26] Disebut juga Tujuh Imam. Dinamakan demikian
sebab mereka percaya bahwa imam hanya tujuh orang dari 'Ali bin Abi Thalib, dan
mereka percaya bahwa imam ketujuh ialah Isma'il. Urutan imam mereka yaitu:
1) Ali bin
Abi Thalib (600–661), juga dikenal dengan Amirul Mukminin
2) Hasan bin
Ali (625–669), juga dikenal dengan Hasan Al-Mujtaba
3) Husain
bin Ali (626–680), juga dikenal dengan Husain Asy-Syahid
4) Ali bin
Husain (658–713), juga dikenal dengan Ali Zainal Abidin
5) Muhammad
bin Ali (676–743), juga dikenal dengan Muhammad Al-Baqir
6) Ja'far
bin Muhammad bin Ali (703–765), juga dikenal dengan Ja'far Ash Shadiq
7) Ismail
bin Ja'far (721 – 755), adalah anak pertama Ja'far ash-Shadiq dan
kakak Musa al-Kadzim.
Pokok-pokok
ajaran Syi’ah Zaidiyah, terdiri dari beberapa hal. Diantaranya
1) Ilmu
al-Faidh al-Ilahi, yang Allah melimpahkannya pada imam. Maka dengan itu
imam-imam, mempunyai kedudukan di atas manusia pada umumnya dan beilmu belebihi
manusia lainnya. Mereka secara khusus mempunyai ilmu yang tidak dimiliki orang
lain. Baginya mengetahui ilmu Syari’at melebihi apa yang diketahui.
2) Sesungguhnya
iman itu tidak harus tampak dan di kenal masyarakat, tetapi boleh jadi
samar bersembunyi. Namun demikian tetap harus ditaati. Dialah al-Mahdi yang
member petunjuk kepada manusia, sekalipun dia tidak tampak pada beberapa waktu.
Dia tentu muncul, dan hari kiamat tidak akan dating sampai al-Mahdi itu muncul,
memenuhi bumi ini dengan keadilan, sebagaimana kejahatan dan kezaliman telah
merajalela.
3) Sesungguhnya
imam itu tidak bertanggungjawab di hadapan siapa pun. Seorang pun tidak boleh
menyalahkannya, apa pun yang diperbuatnya. Masyarakat harus membenarkan bahwa
apa yang diperbuatnya adalah baik, tidak ada kejelekan sedikitpun. Sebab imam
mempunyai ilmu yang tidak dapat dicapai orang lain. Karena itulah mereka
menetapkan bahwa imam itu ma’shum.[27]
d. Al-Ghaliyah
Istilah ghulat berasal dari kata ghala-yaghlu-ghuluw
yang artinya bertambah dan naik. Ghala bi ad-din yang artinya memperkuat dan
menjadi ekstrim sehingga melampaui batas. Syi’ah ghulat adalah kelompok
pendukung Ali yang memiliki sikap berlebih-lebihan atau ekstrim. Lebih jauh Abu
Zahrah menjelaskan bahwa Syi’ah ekstrem (ghulat) adalah kelompok yang
menempatkan Ali pada derajat ketuhanan, dan ada yang mengangkat pada derajat
kenabian, bahkan lebih tinggi daripada Nabi Muhammad.[28]
Gelar ektrem (ghuluw) yang diberikan
kepada kelompok ini berkaitan dengan pendapatnya yang janggal, yakni ada
beberapa orang yang secara khusus dianggap Tuhan dan ada juga beberapa orang
yang dianggap sebagai Rasul setelah Nabi Muhammad. Selain itu mereka juga
mengembangkan doktrin-doktrin ekstrem lainnya tanasukh, hulul, tasbih dan
ibaha.[29]
Sekte-sekte yang terkenal di dalam Syi’ah Ghulat
ini adalah Sabahiyah, Kamaliyah, Albaiyah, Mughriyah, Mansuriyah, Khattabiyah,
Kayaliyah, Hisamiyah, Nu’miyah, Yunusiyah dan Nasyisiyahwa Ishaqiyah. Nama-nama
sekte tersebut menggunakan nama tokoh yang membawa atau memimpinnya.
Sekte-sekte ini awalnya hanya ada satu, yakni faham yang dibawa oleh Abdullah
Bin Saba’ yang mengajarkan bahwa Ali adalah Tuhan. Kemudian karena perbedaan
prinsip dan ajaran, Syi’ah ghulat terpecah menjadi beberapa sekte. Meskipun
demikian seluruh sekte ini pada prinsipnya menyepakati tentang hulul dan
tanasukh. Faham ini dipengaruhi oleh sistem agama Babilonia Kuno yang ada di
Irak seperti Zoroaster, Yahudi, Manikam dan Mazdakisme.
Adapun doktrin Ghulat menurut Syahrastani ada
enam yang membuat mereka ektrem yaitu:
1)
Tanasukh yang merupakan keluarrnya roh dari satu
jasad dan mengambil tempat pada jasad yang lain. Faham ini diambil dari
falsafah Hindu. Penganut agama Hindu berkeyakinan bahwa roh disiksa dengan cara
berpindah ke tubuh hewan yang lebih rendah dan diberi pahala dengan cara
berpindah dari satu kehidupan kepada kehidupan yang lebih tinggi.[30] Syi’ah
Ghulat menerapkan faham ini dalam konsep imamahnya, sehingga ada yang
menyatakan seperti Abdullah Bin Muawiyah Bin Abdullah Bin Ja’far bahwa roh
Allah berpindah kepada Adam seterusnya kepada imam-imam secara turun-temurun.
2)
Bada’ yang merupakan keyakinan bahwa Allah
mengubah kehendakNya sejalan dengan perubahan ilmuNya, serta dapat
memerintahkan dan juga sebaliknya.[31] Syahrastani menjelaskan lebih lanjut
bahwa bada’ dalam pandangan Syi’ah Ghulat memiliki bebrapa arti. Bila
berkaitan dengan ilmu, maka artinya menampakkan sesuatu yang bertentangan
dengan yang diketahui Allah. Bila berkaitan dengan kehendak maka artinya
memperlihatkan yang benar dengan menyalahi yang dikehendaki dan hukum yang
diterapkanNya. Bila berkaitan dengan perintah maka artinya yaitumemerintahkan
hal lain yang bertentangan dengan perintah yang sebelumnya.[32] Faham ini
dipilih oleh Mukhtar ketika mendakwakan dirinya dengan mengetahui hal-hal yang
akan terjadi, baik melalui wahyu yang diturunkan kepadanya atau melalui surat
dari imam. Jika ia menjanjikan kepada pengikutnya akan terjadi sesuatu, lalu
hal itu benar-benar terjadi seperti yang diucapkan, maka itu dijustifikasikan
sebagai bukti kebenaran ucapannya. Namun jika terjadi sebaliknya, ia mengatakan
bahwa Tuhan menghendaki bada’
3)
Raj’ah yang masih ada hubungannya dengan
mahdiyah. Syi’ah Ghulat mempercayai bahwa Imam Mahdi Al-Muntazhar akan datang
ke bumi. Faham raj’ah dan mahdiyah ini merupakan ajaran seluruh sekte dalam
Syi’ah. Namun mereka berbeda pendapat tentang siapa yang akan kembali. Sebagian
mengatakan bahwa yang akan kembali itu adalah Ali dan sebagian lagi megatakan
bahwa yang akan kembali adalah Ja’far As-Shaddiq, Muhammad bin Al-Hanafiyah
bahkan ada yang mengatakan Mukhtar ats-Tsaqafi.[33]
4)
Tasbih artinya menyerupakan,
mempersamakan. Syi’ah Ghulat menyerupakan salah seorang imam mereka dengan
Tuhan atau menyerupakan Tuhan dengan makhluk. Tasbih ini diambil dari faham
hululiyah dan tanasukh dengan khaliq.
5)
Hulul artinya Tuhan berada pada setiap tempat,
berbicara dengan semua bahasa dan ada pada setiap individu manusia. Hulul bagi
Syi’ah ghulat berarti Tuhan menjelma dalam diri imam sehingga imam harus
disembah.
6)
Ghayba yang artinya menghilangkan Imam Mahdi.
Ghayba merupakan kepercayaan Syi’ah bahwa Imam Mahdi itu ada di dalam negeri
ini dan tidak dapat dilihat oleh mata biasa. Konssep ghayba pertama kali
diperkenalkan oleh Mukhtar Ats-Tsaqafi pada tahun 66 H/686 M di Kufa ketika
mempropagandakan Muhammad Bin Hanafiyah sebagai Imam Mahdi.[34]
DAFTAR PUSTAKA
Tahdzibul Lughah, 3/61, karya Azhari dan Tajul Arus,
5/405, karya Az-Zabidi. Dinukil dari kitab Firaq Mu'ashirah, 1/31, karya
Dr. Ghalib bin 'Ali Al-Awaji
Al-khotib, Sayyid Muhibudin, Mengenal Pokok-pokok
Ajaran Syi'ah Al-Imamiyah, Surabaya:PT.bina ilmu, 1984
Asy-Syahrastani, Muhammad bin Abd Al-Karim, Al-Milal
wa An-Nihal, Beirut-Libanon: Dar al-Kurub al-'Ilmiyah, 1951
Abu Zahrah, Muhammad, Aliran Politik Dan Aqidah
Dalam Islam, Jakarta : Logos Publishing House, 1996
A. Nasir, Sahilun, Pemikiran Kalam (Teologi
Islam) Sejarah, Ajaran, dan Perkembangannya, Jakarta: Rajagrafindo Persada,
2010
Nasution, Harun, Teologi Islam: Aliran-aliran
Sejarah Analisa Perbandingan, Jakarta: UI-Press, 1986
Razak, Abdur dan Anwar, Rosihan, Ilmu Kalam, Bandung:
Puskata Setia, 2006
Syak’ah, Musthafa Muhammad, Islam Tanpa Mazhab, Terj.
Abu Zaidan Al-Yamani & Abu Zahrah Al-Jawi Solo: Tiga Serangkai, 2008
Thabathaba’i, Muhammad Husai, Shi’a,terj. Husain
Nasr, Anshariah, Qum, 1981
KHAWĀRIJ
Khawārij (Arab: خوارج
baca Khowaarij, secara harfiah berarti "Mereka yang Keluar")
ialah istilah umum yang mencakup sejumlah aliran dalam Islam yang awalnya
mengakui kekuasaan Ali
bin Abi Thalib, lalu menolaknya. Pertama kali muncul pada pertengahan abad
ke-7, terpusat di daerah yang kini ada di Irak selatan, dan merupakan bentuk
yang berbeda dari Sunni dan Syi'ah.
Disebut atau dinamakan Khowarij disebabkan
karena keluarnya mereka dari dinul Islam dan pemimpin kaum muslimin. Awal
keluarnya mereka dari pemimpin kaum muslimin yaitu pada zaman khalifah Ali
bin Abi Thalib ketika terjadi (musyawarah) dua utusan. Mereka
berkumpul disuatu tempat yang disebut Khouro (satu tempat di daerah Kufah).
Oleh sebab itulah mereka juga disebut Al Khoruriyyah.
A. Definisi
Khawarij
1. Secara
Etimologi Bahasa Arab
Khawarij adalah bentuk jama` dari khoorij dan khoorij adalah
kata turunan dari khuruj sedangkan khuruj secara etimologi Arab mengandung beberapa
makna, diantaranya:
a. Hari
Kiamat
Berkata Abu Ubadah dalam menafsirkan firman Allah : (Yaitu) pada hari mereka
mendengar teriakan dengan sebenar-benarnya itulah hari keluar (dari kubur).
(QS. 50:42)
khuruj adalah nama dari nama-nama hari qiamat
b. Kebangkitan
dari kubur pada hari qiamat
Sebagaimana dalam firman Allah : Sambil menundukkan
pandangan-pandangan mereka keluar dari kuburan seakan-akan mereka belalang yang
beterbangan (QS. 54:7)
c. Lawan
dari masuk, yaitu keluar
d. Jihad
di jalan Allah.
Sebagaimana firman Allah : Dan
jika mereka mau berangkat, tentulah mereka menyiapkan persiapan untuk
keberangkatan itu, tetapi Allah tidak menyukai keberangkatan mereka, maka Allah
melemahkan keinginan mereka, dan dikatakan kepada mereka: Tinggallah kamu
bersama orang-oang yang tinggal itu. (QS. 9:46) dan:
Maka jika Allah mengembalikanmu kepada satu golongan dari mereka, kemudian mereka meminta ijin kepadamu untuk keluar (pergi berperang), maka katakanlah:Kamu tidak boleh keluar bersama-samaku selama-lamanya dan tidak boleh memerangi musuh bersamaku. Sesungguhnya kamu telah rela tidak pergi berperang kali yang pertama. Karena itu duduklah (tinggallah) bersama orang-orang yang tidak ikut berperang. (QS. 9:83)
Maka jika Allah mengembalikanmu kepada satu golongan dari mereka, kemudian mereka meminta ijin kepadamu untuk keluar (pergi berperang), maka katakanlah:Kamu tidak boleh keluar bersama-samaku selama-lamanya dan tidak boleh memerangi musuh bersamaku. Sesungguhnya kamu telah rela tidak pergi berperang kali yang pertama. Karena itu duduklah (tinggallah) bersama orang-orang yang tidak ikut berperang. (QS. 9:83)
e. Hijroh
Sebagaimana firman Allah : Barangsiapa berhijrah di
jalan Allah, niscaya mereka mendapati di muka bumi ini tempat hijrah yang luas
dan rezeki yang banyak. Barangsiapa keluar dari rumahnya dengan maksud
berhijrah kepada Allah dan Rasul-Nya, Kemudian kematian menimpanya (sebelum
sampai ke tempat yang dituju), maka sungguh telah tetap pahalanya disisi Allah.
Dan adalah Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang. (QS. 4:100)
Akan tetapi para ahli bahasa arab memasukkan makna
lain yaitu satu kelompok dari ahlil hawa yang menyempal dari agama atau Imam Ali
bin Abi Tholib.
Berkata Al Azhary :dan Al Khawarij adalah satu kaum
dari ahlil hawa yang memiliki pemikiran-pemikiran tertentu.
Berkata Az Zubaidy: dan mereka adalah Al Haruriyah,
dan Al Kharijah adalah satu dari mereka, jumlah mereka tujuh kelompok. Mereka
dinamakan demikian karena mereka menyempal dari manusia atau dari agama atau
dari kebenaran atau dari Ali setelah perang shiffin.
2.
Secara Terminologi
Adapun ditinjau dari istilah para ulama maka
didapatkan sebagian ulama mendefinisikannya dengan definisi politik secara umum
dan sebagian yang lainnya mendefinisikannya dengan kenyataan yang ada ketika
munculnya kelompok ini.
Berkata As Syahrostaany: Setiap orang yang memberontak
terhadap Imam yang benar yang telah bersepakat atasnya jamaah [muslimin]
dinamai khawarij, baik memberontak di masa-masa shahabat terhadap
pemimpin-pemimpin yang baik [imam-imam rasyidin] atatu yang setelah mereka
terhadap para Tabiin [yang mengikuti shahabat] dengan baik dan
pemimpin-pemimpin [imam-imam] di setiap zaman.
Berkata Abu Hasan Al-Asy`ari: Dan sebab penamaannya
dengan khawarij adalah pemberontakan mereka terhadap Ali
bin Abi Thalib.
Kemudian Ibnu Hazm menambahkan difinisi ini dengan
perkataannya: Dan yang menyepakati khawarij dari pengingkaran [keabsahan]
At-tahkim, pengkafiran pelaku dosa besar, pendapat [wajibnya] memberontak terhadap
imam yang jahat dan pelaku dosa besar kekal di dalam neraka serta imamah
boleh diangkat selain dari Quraisy - maka dia khawarij -.
Dan berkata Abu Ishaq: Al-khawarij adalah beberapa
kelompok dari manusia di zaman tabiin dan tabiut-tabiin yang dikepalai oleh
Nafi` bin Al-Azrah, Najdah bin Amir, Muhammad bin Ash-Shafaar dan para
pendukungnya.
B. Asal Khawarij
Setelah Utsman bin Affan dibunuh
oleh orang-orang khawarij, kaum muslimin mengangkat Ali bin Abi Thalib sebagai
khalifah, setelah beberapa hari kaum muslimin hidup tanpa seorang khalifah.
Kabar kematian 'Ustman kemudian terdengar oleh Mu'awiyyah, yang mana beliau masih memiliki
hubungan kekerabatan dengan 'Ustman bin Affan.
Sesuai dengan syariat Islam, Mu'awiyyah berhak menuntut balas atas
kematian 'Ustman. Mendengar berita ini, orang-orang Khawarij pun ketakutan,
kemudian menyusup ke pasukan Ali bin Abi Thalib.
Mu'awiyyah berpendapat bahwa semua orang yang terlibat dalam pembunuhan 'Ustman harus dibunuh, sedangkan Ali
berpendapat yang dibunuh hanya yang membunuh 'Ustman saja karena tidak semua yang
terlibat pembunuhan diketahui identitasnya.kkk Akhirnya terjadilah perang
shiffin karena perbedaan dua pendapat tadi. Kemudian masing-masing pihak
mengirim utusan untuk berunding, dan terjadilah perdamaian antara kedua belah
pihak. Melihat hal ini, orang-orang khawarijpun menunjukkan jati dirinya dengan
keluar dari pasukan Ali bin abi Thalib. Mereka
(Khawarij) merencanakan untuk membunuh Mu'awiyyah bin Abi Sufyan dan Ali bin Abi Thalib, tapi
yang berhasil mereka bunuh hanya Ali bin Abi Thalib.
C. Ajaran
Secara umum, ajaran-ajaran pokok
golongan ini adalah:
1. Kaum
muslimin yang melakukan dosa besar adalah kafir.
2. Kaum
muslimin yang terlibat dalam perang
Jamal, yakni
perang antara Aisyah, Thalhah, dan Zubair melawan 'Ali ibn Abi Thalib dan
pelaku arbitrase (termasuk yang menerima dan membenarkannya) dihukumi kafir.
3. Khalifah
harus dipilih rakyat serta tidak harus dari keturunan Nabi Muhammad SAW dan
tidak mesti keturunan Quraisy. Jadi, seorang muslim dari golongan manapun bisa
menjadi kholifah asalkan mampu memimpin dengan benar .
Tokoh-tokoh utama Khawarij antara
lain Urwah bin
Hudair, Mustarid bin Sa'ad, Hausarah
al-Asadi, Quraib bin Maruah, Nafi' bin al-Azraq dan 'Abdullah bin Basyir
Akibat perbedaan pendapat di antara
tokoh-tokohnya, Khawarij terpecah menjadi beberapa sekte, antara lain:
1.
Sekte Muhakkimah, yang merupakan sekte pertama,
yakni golongan yang memisahkan diri dari 'Ali
bin Abi Thalib.
2.
Sekte Azariqoh yang lebih radikal, sebab orang
yang tidak sepaham dengan mereka dibunuh.
3.
Sekte Najdat yang merupakan pecahan dari sekte
Azariqoh.
4.
Sekte al-Ajaridah yang dipimpin 'Abd Karim bin Ajrad,
yang dalam perkembangannya terpecah menjadi beberapa kelompok kecil seperti
Syu'aibiyyah, Hamziyyah, Hazimiyyah, Maimuniyyah, dll.
Perpecahan itulah yang
menghancurkan aliran Khawarij. Satu-satunya yang masih ada, Ibadi dari Oman,
Zanzibar, dan Maghreb menganggap dirinya berbeda dari yang lain dan menolak
disebut Khawarij.
Dalam sejarah perkembangan Islam sejak dahulu kala
telah terjadi perpecahan yang merupakan satu perwujudan dari sabda Rasulullah
shallallahu 'alaihi wa sallam:
Akan terpecah umat ini menjadi 73 golongan semuanya di
neraka kecuali satu, lalu ditanyakan: siapakah mereka wahai Rasulullah? Beliau
menjawab: Mereka adalah jama`ah (HSR At Tirmidzy) dan juga satu bukti akan
kebenaran risalah kenabian Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam.
Khawarij merupakan satu kelompok yang besar dari
kelompok-kelompok sempalan yang menyimpang dari Islam dalam permasalahan aqidah
dan mereka tergambarkan sebagai satu gerakan revolusi berdarah dalam sejarah
Islam yang cukup banyak menyibukkan negeri-negeri Islam dalam tempo waktu yang
lama untuk memadamkannya, kemudian merekapun sempat berhasil menebar kekuasaan
politik mereka pada wilayah-wilayah yang luas dari negeri-negeri Islam di timur
dan barat, khususnya di Omaan, Hadromaut, Zanzibar (Tanzania) dan sekitarnya
dari wilayah Afrika dan Maghrib Arab (Maroko, Aljazair, Tunis dan Libia) dan
sampai sekarang mereka masih memiliki tsaqafah yang terwakii oleh sekte Al
Ibadhiyah yang tersebar di wilayah-wilayah tersebut, sampai masih memiliki satu
kesultanan yaitu kesultanan Omaan.
Kemudian tidak diragukan kembali, bahwa sebagian
pemikiran dan aqidah mereka -Khususnya Al Azaariqah yang berhubungan dengan
pengkafiran pelaku kemaksiatan- sampai saat ini masih berkembang dan tampak
jelas serta mereka masih memiliki pengikut yang menampakkan kekerasan dan
kefanatikan mereka,sehingga membuat pembahasan tentang mereka ini menjadi
penting dalam rangka menjelaskan pemikiran-pemikiran mereka yang menyimpang
kepada umat dan menyelamatkan mereka dari perangkap dan kesesatan kelompok ini,
akan tetapi penting untuk diketahui bahwa hampir-hampir hilang semua referensi
dari mereka kecuali referensi sekte Al Ibadhiyah, sehingga dalam pembahasan ini
saya merujuk kepada tulisan-tulisan para ulama ahli Sunnah wal Jama`ah seputar
mereka, dan dibagi dalam pokok-pokok sebagai berikut:
D. Hadits-hadits
tentang Khawarij
Dari Abi Said Al-Khudri
berkata: Ketika kami bersama Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam dan pada
saat itu beliau sedang membagi beberapa bagian. Datanglah kepada beliau Dzul
Khuaishirah, orang dari Bani Tamim, dia berkata: `Wahai Rasulullah, berlaku
adil-lah`. Bersabda Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam: `Celakalah
engkau, siapakah yang akan berlaku adil jika aku tidak adil, dosalah aku dan
merugilah jika aku tidak berbuat adil`. Maka berkata Umar bin Al-Khaththab :
`Wahai Rasulullah ijinkanlah aku untuk memenggal lehernya`. Bersabda Rasulullah
shallallahu 'alaihi wa sallam: `Biarkanlah dia, karena dia mempunyai
teman-teman yang salah seorang di antara kalian akan diremehkan [merasa remah]
shalatnya jika dibandingkan dengan shalat mereka, dan puasanya jika
dibandingkan dengan puasa mereka. Mereka membaca Alquran tidak melebihi
kerongkongan mereka, terlepas dari Islam seperti terlepasnya anak panah dari busurnya.
(H.R. Bukhari VI/617, no. 3610, VII/97 no. 4351; Muslim II/743,744 no. 1064;
Ahmad III/4,5,33,224)
Setelah perang Hunain Rasulullah
shallallahu 'alaihi wa sallam memberikan bagian kepada manusia. Beliau
memberikan bagian kepada Al-Aqra` bin Habis 100 ekor onta, memberikan kepada
Uyainah semisal itu dan memberikan kepada orang-orang pemuka Arab, beliau
lebihkan pada hari itu atas mereka bagiannya. Kemudian berkata salah seorang:
`Demi Allah, pembagian ini sungguh adil dan tidak dikendaki di sana wajah
Allah.` (H.R. Muslim II/739 no. 1062; Ahmad.IV/421)
Sesungguhnya akan keluar
dari keturunan laki-laki ini, suatu kaum yang membaca Alquran tidak melebihi kerongkongan
mereka. membunuh pemeluk Islam dan membiarkan penyembah berhala. Terlepas dari
Islam seperti terlepasnya anak panah dari busurnya. Seandainya aku menemui
mereka, sunggguh akan aku bunuh mereka seperti dibunuhnya kaum `Aad (H.R.
Bukhari VI/376 no. 3644; Muslim II/742 no. 1064)
Akan keluar padda akhir
zaman suatu kaum, umumnya masih muda, rusak akalnya, mereka mengatakan dari
sebaik-baik perkataan makhluk. Membaca Alquran tidak melebihi kerongkongannya.
Terlepas dari agama seperti terlepasnya anak panah dari busurnya (H.R. Bukhari
VI/618 no. 3611; Muslim II/746 no 1066)
Akan keluar suatu kaum dari
umatku yang membaca Alquran, mereka menyangka bahwasanya untuk mereka padahal
atas mereka. Shalat mereka tidak melampuai tenggorokannya. (H.R. Muslim II/748
no. 1066)
Membaguskan perkataan
tetapi buruk perbuatannya - mengajak kepada kitab Allah, tetapi tidaklah mereka
termasuk di dalamnya sedikitpun. (H.R. Ahmad III/224)
Dari Abi Barzah, ia
ditanya: `Apakah engkau mendengar Rasulullah menyebut tentang khawarij? Ia
menjawab: `Ya, aku mendengar Rasulullah dengan telingaku dan aku meliatnya
dengan mataku.` Rasulullah datang dengan membawa harta, lalu beliau
membagikannya. Maka beliau memberi kepada orang-orang yang berada di sebelah
kanan dan kirinya dan tidak memberi kepada orang-orang yang di belakang beliau
sedikitpun. Berdirilah seseorang yang berada di belakang beliau seraya berkata:
`Wahai Muhammad, engkau tidak adil dalam pembagian.` Dia adalah seorang
laki-laki yang berkulit hitam dengan rambut yang dicukur gundul dan memakai dua
baju putih. Rasulullah marah dengan kemarahan yang besar, kemudian bersabda:
`Demi Allah, kalian tidak mendapati seseorang setelahku yang lebih adil
daripada aku.` Kemudian beliau bersabda lagi: `Akan muncul pada akhir zaman
suatu kaum, seolah-olah ia dari mereka. Mereka membaca Alquran tidak melebihi
tenggorokannya, terlepas dari Islam seperti terlepasnya anak panah dari
busurnya, ciri-ciri mereka adalah bercukur gundul, tidak henti-hentinya mereka
keluar hingga akan keluar orang-orang terakhir mereka bersama Al-Masih
Ad-Dajjal. Jika kalian menemuinya, bunuhlah mereka. mereka seburuk-buruk
makhluk dan ciptaan.` (H.R. An-Nasai VII/119-121 no. 4104; Ahmad IV/425)
MURJI'AH
A. Pengertian
Kata“Murji’ah” berasal dari kata “arja’a” atau “arja” yang
mempunyai beberap pengertian diantaranya:
· “Penundaan”,“Mengembalikan”umpamanya
bagi orang yang sudah mukmin. Tapi berbuat dosa besar sehinggga matinya belum
bertaubat, orang itu hukumanya di Tunda, dikembalikan Urusanya kepada Allah
kelak.
· “Memberi
pengharapan”. Yakni bagi orang Islam yang melakukan dosa besar tidak dihukum
kafir melainkan tetap mukmin dan masih ada harapan untuk memperoleh pengampunan
dari Allah.
· “Menyerahkan”maksudnya
menyerahkan segala persoalah tentang siapa yang benar dan siapa yang salah
hanya kepada keputusan Allah kelak.
Dari beberapa pengertian diatas bisa kita
menyimpulkan tentang pengertian dari Murji’ah. Adapun yang di maksud kaum
Murji’ah di sini ialah suatu golongan atau kaum orang-orang yang tidak mau ikut
terlibat dalam mengkafirkan tehadap sesama umat Islam seperti dilakukan kaum
Khawarij yang mengatakan bahwa semua yang terlibat dalam tahkim adalah kafir,
dan mengatakan bahwa orang Islam yang berdosa besar juga kafir. Bagi mereka,
soal kafir atau tidaknya orang-orang yang terlibat dalam tahkim dan orang Islam
yang berdosa besar, kita tidak tahu dan tidak dapat menentukan sekarang. Mereka
mempunyai pandangan lebih baik menangguhkan penyelesain persoalan tersebut dan
menyerahkanya kepada keputusan Allah di hari kemudian yakni pada hari
perhitungan sesudah hari Kiamat nanti. Karena mereka berpendirian menangguhkan
atau menunda persoalan tersebut, mereka kemudian disebut kaum Murji’ah.[2]
B. Latar belakang
Sejarah berdirinya Kaum Murji’ah.
Golongan
Murji’ah ini mula-mula timbul di Damaskus, pada akhir abad pertama hijrah.
Dinamakan “Murji’ah” karena golongan ini menunda atau mengembalikan tentang
hukum orang mukmin yang berdosa besar dan belum bertobat sampai matinya, orang
itu belum dapat dihukumi sekarang. Ketentuan persoalannya ditunda atau
dikembalikan terserah kepada Allah di hari akhir nanti.
Lahirnya
aliran Murji’ah disebabkan oleh kemelut politik setelah meninggalnya Khalifah
Utsman bin Affan, yang di ikuti oleh kerusuhan dan pertumpahan darah. Kemelut
polotik itu berlanjut dengan terbunuhnya Khalifah Ali yang diikuti pula
kerusuhan dan pertumpahan darah. Di saat-saat demikian, lahirlah aliran Syi’ah
dan aliran Khawarij. Syi’ah menentang Bani Umayah karena membela Ali dan Bani
Umayyah dianggap sebagai penghianat, mengambil alih kekuasaan dengan cara
penipuan.[3]
Di
antara Syi’ah dan Khawarij di satu pihak dan Bani Umayyah di pihak lain yang
saling bermusuhan dan menumpahkan darah itu, tampillah segolongan yang di sebut
Murji’ah.
Seperti
halnya lahirnya aliran Khawarij, demikian juga halnya
munculnya aliran Murji’ah adalah dengan latar belakang politik.
Sewaktu pusat pemerintahan Islam pindah ke Damaskus. Maka mulai kurang taatnya
beragama kalangan penguasa Bani Umauyyah, berbeda dengan Khulafur-Rasyidin.
Tingkah laku pengusa tampak semakin kejam. Sementara ummat Islam bersikap diam
saja. Timbul persoalan: “Bolehkah ummat Islam berdiam saja dan
wajibkah kepada khalifah yang dianggapnyazalim?”.
Orang-orang
murjiah berpendapat bahwa seorang muslim boleh saja shalat di belakang seorang
yang sholeh ataupun di belakang orang fasiq. Sebab penilaian baik dan buruk itu
terserah kepada Allah. Soal ini mereka tangguhkan dan karena itu pulalah mereka
dinamakan golongan Murji’ah yang yang
berarti melambatkan atau menagguhkan tentang balasan Allah
sampai nanti.
Dipandang
dari sisi politik, pendapat golongan Murji’ah
memang menguntungkan penguasa Bani Umayyah. Sebab dengan demikian
berarti membendung kemungkinan terjadinya pemberontakan
terhadap Bani Umayyah sekalipun khalifah dan pembantu-pembantunya itu
kejam, toh mereka itu muslim juga. Pendapat ini berbeda dengan pendirian
golongan khawarij yang mengatakan bahwa berbuat zalim, berdosa besar itu
adalah kafir.
Pada
masa pemerintahan Umar Bin Khattab beberapa daerah takluk ke dalam
kekuasaannya. Syria jatuh pada tahun 638 M, disusul Mesir pada 641M, lalu
Persia 642 M jatuh ketangan ummat Islam. Berarti ada tiga kerajaan besar dengan
kekayaan yang cukup dan tinggi peradabanya, masuk kedalam kekuasaan Islam.
Masing-masing daerah ini menjadi wilayah gubernur dengan pusat pemerintahan
tetap di Madinah. Masing-masing daerah diperintah seorang gubernur.
Ada
beberapa hal yang perlu di perhatikan. Bahwa meluasnya wilayah Islam ke tiga
daerah tersebut:
·
Pertama, penduduk dari wilayah Persia, Syria dan Mesir itu
masing-masing telah mengenal peradaban dan agama-agama lama seperti peradaban
agama-agama Mesir, Babilon, Persia, Yahudi dan Nasrani juga peradaban keagamaan
dan filsafat Yunani (Hellenisme dan Platonisme). Pengaruh Yunani terutama
menjadi makin tampak disebabkan imperium Romawi Timur telah berabad-abad
memerintah Syria dan Mesir, takala Khalifah Umar membebaskanya.
·
Kedua, setelah daerah-daerah ini masuk imperium Islam
banyaklah penduduk-penduduk daerah itu yang menukar agamanya kepada Islam baik
dengan jalan perkawinan ataupun dengan jalan pelajaran semata-mata. Hal ini
terjadi dengan pesatnya terutama disebabkan pada zaman itu rakyat umum telah
biasa untuk menuruti sikap pemimpin-pemimpinnya. Apalagi raja-rajanya,
panglima-panglimanya atau pendeta dan orang-orang kayanya masuk Islam, maka
mereka pun masuk Islamlah pula.
Ke dua hal di atas tentu saja terpengaruh
pada jalan pikiran umat Islam umumnya, sebab umat islam yang baru ini
(rakyat-rakyat Persia, Mesir dan Syria) telah membaea pula
peradabannya dan cara-cara pemikiranya ke dalam tubuh masyarakat Islam sendiri.
Dan ini menjadi persoalanya baru pula di
kalangan umat Islam. Harus diperiksa (diseleksi) manakala dari peradaban dan
pemikiran itu sesuai dan dapat diterima Islam, dan mana pula yang bebeda,
bertentangan dan di tolak oleh agama Islam.
Untuk itu terjadilah pertukaran pikiran
di antara mereka. Dan dari sini timbullah perselisihan-perselisihan pendapat.
Kalau dalam tubuh umat Islam Arab sendiri telah timbul benih-benih pembahasan
dan perselisihan pendapat tentang soal-soal pemikiran (filsafat) keagamaan
(soal qaddar Tuhan) maka dengan pembahasan-pembahasan baru ini menjadilah dunia
pembahasan itu bertambah besar dan meluas. Melihat baik dilihat pada
lingkungannya ataupun dilihat pada unsur-unsur yang terdapat di dalamnya.
C. Aliran dalam Kaum
Murji’ah dan tokoh-tokohnya
Al
Bagdhadi membagi aliran Murjiah kepada tiga golongan besar, yaitu:
1. Murjiah dalam
pengaruh faham Qadariah dengan pendukung-pendukungnya: Ghailan, Abi Syamar, Muhammad
bin Syahib al Basri Mereka ini menganut paham kehendak bebas yang dikaitkan
ketentuan-ketentuan efektif Tuhan terhadap setiap kejadian.
2. Murjiah dalam
pengaruh faham Jabariah dengan pendukung-pendukungnya:Jaham bin Safwan Yaitu
yang menganut paham bahwa iman dan kufur adalah terletak di hati dan bukan
terletak pada perbuatan manusia. Oleh karena itu, orang yang menyembah berhala
dan matahari dianggap tetap beriman.
3. Murji’ah yang tidak
dalam pengaruh faham Jabariah atau Qadariah dan mereka ini terbagi dalam lima
golongan: Yunusiah, Ghassaniah, Tsaubaniah, Thumaniah, Marisiah.
D. Pemikiran Teologi
Kaum Murji’ah
Kaum
Murji’ah dilihat dari sisi pemikiran teologi mereka dapat di beradakan dalam
dua golongan[6],
yang mana dua golongan ini sangat jauh berbeda dari satu dengan yang lainya,
yaitu:
1. Golongan Moderat
Ialah
golongan yang berpendapat bahwa orang Islam yang berdosa besar tidak Kafir dan
ia tidak akan kekal di dalam neraka, akan tetapi di sikasa di dalam neraka
sesuai dengan besarnya dosa yang pernah ia lakukan, dan kemudian setelah
menjalani siksaan ia akan keluar dari neraka. Dan bisa saja jika dosanya di
ampuni Tuhan, maka ia sama sekali tidak masuk neraka.
2. Golongan Ekstrim.
Ialah
golongan yang berpendapat iman ialah keyakinan di dalam Hati. Apabila seseorang
di hatinya telah meyakini tidak ada tuhan selain Allah dan Nabi Muhammad rasul
Allah, meskipun ia meyatakan kekafiran dengan lidah, menyembah berhala,
mengikuti agama Yahudi, dan Nasrani, memuja salib, mengakui trinitas, kemudian
mati, orang seperti ini tetap mukmin yang sempurna imannya di sisi Allah dan ia
termasuk golongan Ahli Surga.
Selanjutnya
golongan Murji’ah Ekstrim terpecah kepada beberapa golongan, antara lain:
a)
Al Jahmiyah
Adalah para pengikut Jahm bin Shafwan.
Dan golongan ini berpendapat bahwa orang Islam yang percaya kepada Tuhan dan
kemudian menyatakan kekufuran secara lisan ia tidak menjadi kafir, karena iman
dan kufr tempatnya di dalam hati, bukan pada bahagian lain dari tubuh manusia.
Bahkan orang seperti ini juga tidak menjadi kafir, walaupun ia menyembah
berhala, menjalankan ajaran-ajaran agama Yahudi atau agama Kristen dengan
menyembah salib, menyatakan percaya pada trinitas, kemudian mati. Orang
demikian bagi Allah tetap merupakan seorang mukmin yang sempurna imannya.
b)
Al Shalihiyah
Adalah para pengikut Abu al Hasan Shalih
Ibnu ‘Amar Al Shalih. Golongan ini berpendapat, iman ialah mengenal Tuhan dan
kufr ialah tidak mengenal Tuhan. Menurut golongan ini, sembahyang tidaklah
merupakan ibadah kepada Allah, karena yang di sebut ibadah ialah iman
kepada-Nya, dalam arti mengenal Tuhan. Lebih dari itu golongan ini berpendapat
bahwa sembahyang, zakat, puasa, dan haji hanya menggambarkan kepatuhan dan
tidak merupakan ibadah kepada Allah. Yang di sebut ibadah hanyalah iman. Iman
tidak bertambah dan tidak berkurang.
c)
Al Yunusiyah
Adalah pengikut Yunus Ibnu ‘Aun Al
Numairi. Menurut golongan ini iman ialah mengenal Allah, hati tunduk pada-Nya,
meninggalkan rasa takabbur, dan mencintai-Nya dalm hati. Apalagi yang tersebut
ini terhimpun pada diri seseorang maka ia adalah seorang mukmin. Sedangkan yang
sealin dari itu bukanlah termasuk iman. Oleh karena di dalam pandangan kaum
Murji’ah, yang di sebut Iman itu hanyalah mengenal Tuhan, golongan
Al Yunusiyah berkesimpulan bahwa melakukan maksiat atau pekerjaan-pekerjaan
jahat tidak merusak iman seseorang.
d)
Al Ubaidiyah
Golongan ini adalah pengikut ‘Ubaid Ibnu
Mahran Al Muktab. Dan dalm pandangan golongan ini ,mereka berpandapat jika seseorang
mati dalam keadaaan beriman, dosa-dosa dsan perbutan jahat yang di kerjakan
tidak akan merugikan bagi yang bersangkutan. Perbuatan jahat banyak atau
sedikit, tidak merusak iman. Sebaliknya, perbuatan baik, banyak atau sedikit,
tidak akan merubah atau memperbaiki kedudukan orang yang musrik atau orang yang
kafir.
e)
Al Ghassaniyah
Adalah pengikut Ghassan Al Kufi. Golongan
ini berpendapat, iman ialah mengenal Allah dan Rasul-Nya serta mengakui apa
yang di turunkan Allah kepada Rasul secara global, tidak secara rinci. Iman itu
bisa bertambah dan tidak bisa berkurang. Selain itu golonagn ini juga
berpendapat, jiak seseorang mengatakan: “saya tahu bahwa Tuhan Mengharamkan
memakan babi, tetapi saya tidak tahu apakah babi yang diharamkan itu adalah itu
adalah kambing ini atau yang selainya”, maka orang tersebut tetap mukmin. Dan
jika seseorang mengatakan: “ Saya tahu bahwa tuhan mewajibkan haji ke Ka’anh,
tetapi saya tidak tahudimana letaknya ka’bah itu, apakah di India atau di
tempat lain”, orang demikina juga tetap mukmin.
Mu’tazilah
Aliran m’tazilah merupakan salah satu aliran teologi
dalam islam yang dapat dikelompokkan sebagai kaum rasionalis islam, disamping
maturidiyah samarkand. Aliran ini muncul sekitar abad pertama hijriyah, di kota
Basrah, yang ketika itu menjadi kota sentra ilmu pengetahuan dan kebudayaan
islam. disamping itu, aneka kebudayaan asing dan macam-macam agama bertemu
dikota ini. dengan demikian luas dan banyaknya penganut islam, semakin banyak
pula musuh-musuh yang ingin menghancurkannya, baik dari internal umat islam
secara politis maupun dari eksternal umat islam secara dogmatis.
Mereka yang non islam merasa
iri melihat perkembangan islam begitu pesat sehingga berupaya untuk
menghancurkannya. adapaun hasarat untuk menghancurkan islam dikalangan peneluk
islam sendiri,dalam sejarah, mu’tazilah timbul berkaitan dengan peristiwa
Washil bin Atha’ (80-131) dan temannya, amr bin ‘ubaid dan Hasan al-basri,
sekitar tahun 700 M. Washil termasuk orang-orang yang aktif mengikuti
kuliah-kuliah yang diberikan al-Hasan al-Basri di msjid Basrah. suatu hari,
salah seorang dari pengikut kuliah (kajian) bertanya kepada Al-Hasan tentang
kedudukan orang yang berbuat dosa besar (murtakib al-kabair). mengenai pelaku
dosa besar khawarij menyatakan kafir, sedangkan murjiah menyatakan mukmin.
ketika Al-hasan sedang berfikir, tiba-tiba Washil tidak setuju dengan kedua
pendapat itu, menurutnya pelaku dosa besar bukan mukmin dan bukan pula kafir,
tetapi berada diantara posisi keduanya (al manzilah baina al-manzilataini).
setelah itu dia berdiri dan meninggalkan al-hasan karena tidak setuju dengan
sang guru dan membentuk pengajian baru. atas peristiwa ini al-Hasan berkata,
“i’tazalna” (Washil menjauhkan dari kita). dan dari sinilah nama mu’tazilah
dikenakan kepada mereka.
Untuk mengetahui corak
rasional kaum mu’tazilah ini dapat dilihat dari ajaran-ajaran pokok yang
berasal darinya, yakni al-ushul al-khamsah. Ajaran ini berisi at-tauhid,
al-’adlu, al-wa’du dan al-wa’idu, al-manzilah baina al-manzilataini dan amar ma’ruf
nahyi munkar.
Dalam hal attauhid (kemahaesaan Tuhan), merupakan
jaran dasar terpenting bagi kaum mu’tazilah, bagi mereka, tuhan dikatakan Maha
Esa jika ia merupakan dzat yang unik, tiada sesuatupun yang serupa dengan Dia.
oleh karena itu, mu’tazilah menolak paham Antropomorphisme/al-tajassum, yaitu
paham yang menggambarkan tuhan menyerupai makhluknya, misalnya Tuhan Bertangan
dsb. untuk menghindari paham ini, mu’tazilah melakukan interpretasi metaforis
terhadap ayat-ayat al-Qur’an yang Dzonni : yadullah (Tangan Allah), berarti
kekuasaan Allah, Wajhullah (Wajah Allah), Berarti keridhaa-Nya Dsb.
Mereka juga menolak paham beatific vision, yaitu
pandangan bahwa tuhan dapat dilihat dai akhirat nanti (dengan mata kepala).
satu satunya sifat tuhan yang betul-betul tidak mungkin ada pada makhluk-Nya
adalah sifat qadim. paham ini mendorong mu’tazilah untuk meniadakan sifat-sifat
Tuhan yang mempunyai wujud sendiri diluar dzat Tuhan.
A. Munculnya
golongan atau kelompok Mu’tazilah
Sejarah munculnya aliran mu’tazilah oleh para kelompok
pemuja dan aliran mu’tazilah tersebut muncul di kota Bashrah (Iraq) pada abad
ke 2 Hijriyah, tahun 105 – 110 H, tepatnya pada masa pemerintahan khalifah
Abdul Malik Bin Marwan dan khalifah Hisyam Bin Abdul Malik. Pelopornya adalah seorang
penduduk Bashrah mantan murid Al-Hasan Al-Bashri yang bernama Washil bin Atha’
Al-Makhzumi Al-Ghozzal, kemunculan ini adalah karena Wasil bin Atha’
berpendapat bahwa muslim berdosa besar bukan mukmin dan bukan kafir yang
berarti ia fasik. Imam Hasan al-Bashri berpendapat mukmin berdosa besar masih
berstatus mukmin. Inilah awal kemunculan paham ini dikarenakan perselisihan
tersebut antar murid dan Guru, dan akhirnya golongan mu’tazilah pun dinisbahkan
kepadanya. Sehingga kelompok Mu’tazilah semakin berkembang dengan sekian banyak
sektenya. kemudian para dedengkot mereka mendalami buku-buku filsafat yang
banyak tersebar di masa khalifah Al-Makmun. Maka sejak saat itulah manhaj
mereka benar-benar diwarnai oleh manhaj ahli kalam (yang berorientasi pada akal
dan mencampakkan dalil-dalil dari Al Qur’an dan As Sunnah).
Secara harfiah kata Mu’tazilah berasal dari I’tazala
yang berarti berisah atau memisahkan diri, yang berarti juga menjauh atau
menjauhkan diri secara teknis, istilah Mu’tazilah menunjuk ada dua golongan.
Golongan pertama, (disebut Mu’tazilah I) muncul
sebagai respon politik murni. Golongan ini tumbuh sebahai kaum netral politik,
khususnya dalam arti bersikap lunak dalam menangani pertentangan antara Ali bin
Abi Thalib dan lawan-lawannya, terutama Muawiyah, Aisyah, dan Abdullah bin
Zubair. Menurut penulis, golongan inilah yang mula-mula disebut kaum Mu’tazilah
karena mereka menjauhkan diri dari pertikaian masalah khilafah. Kelompok ini
bersifat netral politik tanpa stigma teologis seperti yang ada pada kaum
Mu’tazilah yang tumbuh dikemudian hari.
Golongan kedua, (disebut Mu’tazilah II) muncul sebagai
respon persoalan teologis yang berkembang di kalangan Khawarij dan Mur’jiah
akibat adanya peristiwa tahkim. Golongan ini muncul karena mereka berbeda
pendapat dengan golongan Khawarij dan Mur’jiah tentang pemberian status kafir
kepada yang berbuat dosa besar. Mu’tazilah II inilah yang akan dikaji dalam bab
ini yang sejarah kemunculannya memiliki banyak versi.
B. Tokoh-Tokoh
Aliran Mu’Tazilah
1. Wasil bin
Atha.
Wasil bin Atha adalah orang pertama yang meletakkan
kerangka dasar ajaran Muktazilah. Adatiga ajaran pokok yang dicetuskannya,
yaitu paham al-manzilah bain al-manzilatain, paham Kadariyah (yang diambilnya
dari Ma’bad dan Gailan, dua tokoh aliran Kadariah), dan paham peniadaan
sifat-sifat Tuhan. Dua dari tiga ajaran itu kemudian menjadi doktrin ajaran
Muktazilah, yaitu al-manzilah bain al-manzilatain dan peniadaan sifat-sifat
Tuhan.
2. Abu
Huzail al-Allaf.
Abu Huzail al-‘Allaf (w. 235 H), seorang pengikut aliran
Wasil bin Atha, mendirikan sekolah Mu’tazilah pertama di kotaBashrah. Lewat
sekolah ini, pemikiran Mu’tazilah dikaji dan dikembangkan. Sekolah ini
menekankan pengajaran tentang rasionalisme dalam aspek pemikiran dan hukum
Islam.
Aliran teologis ini pernah berjaya pada masa Khalifah
Al-Makmun (Dinasti Abbasiyah). Mu’tazilah sempat menjadi madzhab resmi negara.
Dukungan politik dari pihak rezim makin mengokohkan dominasi mazhab teologi
ini. Tetapi sayang, tragedi mihnah telah mencoreng madzhab rasionalisme dalam
Islam ini.
Abu Huzail al-Allaf adalah seorang filosof Islam. Ia
mengetahui banyak falsafah yunani dan itu memudahkannya untuk menyusun
ajaran-ajaran Muktazilah yang bercorak filsafat. Ia antara lain membuat uraian
mengenai pengertian nafy as-sifat. Ia menjelaskan bahwa Tuhan Maha Mengetahui
dengan pengetahuan-Nya dan pengetahuan-Nya ini adalah Zat-Nya, bukan Sifat-Nya;
Tuhan Maha Kuasa dengan Kekuasaan-Nya dan Kekuasaan-Nya adalah Zat-Nya dan
seterusnya. Penjelasan dimaksudkan oleh Abu-Huzail untuk menghindari adanya
yang kadim selain Tuhan karena kalau dikatakan ada sifat (dalam arti sesuatu
yang melekat di luar zat Tuhan), berarti sifat-Nya itu kadim. Ini akan membawa
kepada kemusyrikan. Ajarannya yang lain adalah bahwa Tuhan menganugerahkan akal
kepada manusia agar digunakan untuk membedakan yang baik dan yang buruk,
manusia wajib mengerjakan perbuatan yang baik dan menjauhi perbuatan yang
buruk. Dengan akal itu pula menusia dapat sampai pada pengetahuan tentang
adanya Tuhan dan tentang kewajibannya berbuat baik kepada Tuhan. Selain itu ia
melahirkan dasar-dasar dari ajaran as-salãh wa al-aslah.
3. Al-Jubba’i.
Al-Jubba’I adalah guru Abu Hasan al-Asy’ari, pendiri
aliran Asy’ariah. Pendapatnya yang masyhur adalah mengenai kalam Allah SWT,
sifat Allah SWT, kewajiban manusia, dan daya akal. Mengenai sifat Allah SWT, ia
menerangkan bahwa Tuhan tidak mempunyai sifat; kalau dikatakan Tuhan berkuasa,
berkehendak, dan mengetahui, berarti Ia berkuasa, berkehendak, dan mengetahui
melalui esensi-Nya, bukan dengan sifat-Nya. Lalu tentang kewajiban manusia, ia
membaginya ke dalam dua kelompok, yakni kewajiban-kewajiban yang diketahui
manusia melalui akalnya (wãjibah ‘aqliah) dan kewajiban-kewajiban yang
diketahui melaui ajaran-ajaran yang dibawa para rasul dan nabi (wãjibah
syar’iah).
4. An-Nazzam
An-Nazzam : pendapatnya yang terpenting adalah
mengenai keadilan Tuhan. Karena Tuhan itu Maha Adil, Ia tidak berkuasa untuk
berlaku zalim. Dalam hal ini berpendapat lebih jauh dari gurunya, al-Allaf.
Kalau Al-Allaf mangatakan bahwa Tuhan mustahil berbuat zalim kepada hamba-Nya,
maka an-Nazzam menegaskan bahwa hal itu bukanlah hal yang mustahil, bahkan
Tuhan tidak mempunyai kemampuan untuk berbuat zalim. Ia berpendapat bahwa
pebuatan zalim hanya dikerjakan oleh orang yang bodoh dan tidak sempurna,
sedangkan Tuhan jauh dari keadaan yang demikian. Ia juga mengeluarkan pendapat
mengenai mukjizat al-Quran. Menurutnya, mukjizat al-quran terletak pada
kandungannya, bukan pada uslūb (gaya bahasa) dan balāgah (retorika)-Nya. Ia
juga memberi penjelasan tentang kalam Allah SWT. Kalam adalah segalanya sesuatu
yang tersusun dari huruf-huruf dan dapat didengar. Karena itu, kalam adalah
sesuatu yang bersifat baru dan tidak kadim. [1]
5. Al- jahiz
Al- jahiz : dalam tulisan-tulisan al-jahiz Abu Usman
bin Bahar dijumpai paham naturalism atau kepercayaan akan hukum alam yang oleh
kaum muktazilah disebut Sunnah Allah. Ia antara lain menjelaskan bahwa
perbuatan-perbuatan manusia tidaklah sepenuhnya diwujudkan oleh manusia itu
sendiri, malainkan ada pengaruh hukum alam.
6. Mu’ammar
bin Abbad
Mu’ammar bin Abbad : Mu’ammar bin Abbad adalah pendiri
muktazilah aliran Baghdad. pendapatnya tentang kepercayaan pada hukum alam.
Pendapatnya ini sama dengan pendapat al-jahiz. Ia mengatakan bahwa Tuhan hanya menciptakan
benda-benda materi. Adapun al-‘arad atau accidents (sesuatu yang datang pada
benda-benda) itu adalah hasil dari hukum alam. Misalnya, jika sebuah batu
dilemparkan ke dalam air, maka gelombang yang dihasilkan oleh lemparan batu itu
adalah hasil atau kreasi dari batu itu, bukan hasil ciptaan Tuhan.
7. Bisyr
al-Mu’tamir
Bisyr al-Mu’tamir : Ajarannya yang penting menyangkut
pertanggungjawaban perbuatan manusia. Anak kecil baginya tidak dimintai
pertanggungjawaban atas perbuatannya di akhirat kelak karena ia belum *mukalaf.
Seorang yang berdosa besar kemudian bertobat, lalu mengulangi lagi berbuat dosa
besar, akan mendapat siksa ganda, meskipun ia telah bertobat atas dosa besarnya
yang terdahulu.
8. Abu Musa
al-Mudrar
Abu Musa al-Mudrar : al-Mudrar dianggap sebagai
pemimpin muktazilah yang sangat ekstrim, karena pendapatnya yang mudah
mengafirkan orang lain.Menurut Syahristani,ia menuduh kafir semua orang yang
mempercayai kekadiman Al-Quran. Ia juga menolak pendapat bahwa di akhirat Allah
SWT dapat dilihat dengan mata kepala.
9. Hisyam
bin Amr al-Fuwati
Hisyam bin Amr al-Fuwati : Al-Fuwati berpendapat bahwa
apa yang dinamakan surga dan neraka hanyalah ilusi, belum ada wujudnya
sekarang. Alas$an yang dikemukakan adalah tidak ada gunanya menciptakan surga
dan neraka sekarang karena belum waktunya orang memasuki surga dan neraka.
C. Beberapa
Versi Tentang Nama Mu’tazilah
Beberapa versi tentang pemberian nama Mu’tazilah
kepada golongan kedua ini berpusat pada peristiwa yang terjadi antara wasil bin
ata serta temannya, Amr bin Ubaid, dan hasan Al-Basri di basrah. Ketika wasil
mengikuti pelajaran yang diberikan oleh Hasan Al Basri di masjid Basrah.,
datanglah seseorang yang bertanya mengenai pendapat Hasan Al Basri tentang
orang yang berdosa besar. Ketika Hasan Al Basri masih berpikir, hasil
mengemukakan pendapatnya dengan mengatakan “Saya berpendapat bahwa orang yang
berbuat dosa besar bukanlah mukmin dan bukan pula kafir, tetapi berada pada
posisi diantara keduanya, tidak mukmin dan tidak kafir.” Kemudian wasil menjauhkan
diri dari Hasan Al Basri dan pergi ke tempat lain di lingkungan mesjid. Di sana
wasil mengulangi pendapatnya di hadapan para pengikutnya. Dengan adanya
peristiwa ini, Hasan Al Basri berkata: “Wasil menjauhkan diri dari kita
(i’tazaala anna).” Menurut Asy-Syahrastani, kelompok yang memisahkan diri dari
peristiwa inilah yang disebut kaum Mu’tazilah.
Versi lain dikemukakan oleh Al-Baghdadi. Ia mengatakan
bahwa Wasil dan temannya, Amr bin Ubaid bin Bab, diusir oleh Hasan Al Basri
dari majelisnya karena adanya pertikaian diantara mereka tentang masalah qadar
dan orang yang berdosa besar. Keduanya menjauhkan diri dari Hasan Al Basri dan
berpendapat bahwa orang yang berdosa besar itu tidak mukmin dan tidak pula
kafir. Oleh karena itu golongan ini dinamakan Mu’tazilah.
Versi lain dikemukakan Tasy Kubra Zadah yang
menyatakan bahwa Qatadah bin Da’mah pada suatu hari masuk mesjid Basrah dan
bergabung dengan majelis Amr bin Ubaid yang disangkanya adalah majlis Hasan Al
Basri. Setelah mengetahuinya bahwa majelis tersebut bukan majelis Hasan Al
Basri, ia berdiri dan meninggalkan tempat sambil berkata, “ini kaum
Mu’tazilah.” Sejak itulah kaum tersebut dinamakan Mu’tazilah.
Al-Mas’udi memberikan keterangan tentang asal-usul
kemunculan Mu’tazilah tanpa menyangkut-pautkan dengan peristiwa antara Wasil
dan Hasan Al Basri. Mereka diberi nama Mu’tazilah, katanya, karena berpendapat
bahwa orang yang berdosa bukanlah mukmin dan bukan pula kafir, tetapi menduduki
tempat diantara kafir dan mukmin (al-manjilah bain al-manjilatain). Dalam
artian mereka member status orang yang berbuat dosa besar itu jauh dari
golongan mukmin dan kafir.
D. Ajaran
yang Diajarkan oleh Golongan Mu’tazilah
Ada beberapa ajaran yang di ajarkan oleh golongan
Mu’tazilah yaitu misalnya: Al – ‘adl (Keadilan). Yang mereka maksud dengan
keadilan adalah keyakinan bahwasanya kebaikan itu datang dari Allah, sedangkan.
Dalilnya kejelekan datang dari makhluk dan di luar kehendak (masyi’ah) Allah
adalah firman Allah : “Dan Allah tidak suka terhadap kerusakan.” (Al-Baqarah: 205)
“Dan Dia tidak meridhai kekafiran bagi hamba-Nya”. (Az-Zumar:7) Menurut mereka
kesukaan dan keinginan merupakan kesatuan yang tidak bisa dipisahkan. Sehingga
mustahil bila Allah tidak suka terhadap kejelekan, kemudian menghendaki atau
menginginkan untuk terjadi (mentaqdirkannya) oleh karena itu merekan menamakan
diri mereka dengan nama Ahlul ‘Adl atau Al – ‘Adliyyah. Al-Wa’du Wal-Wa’id.
Yang mereka maksud dengan landasan ini adalah bahwa wajib bagi Allah untuk
memenuhi janji-Nya (al-wa’d) bagi pelaku kebaikan agar dimasukkan ke dalam
Al-Jannah, dan melaksanakan ancaman-Nya (al-wa’id) bagi pelaku dosa besar
(walaupun di bawah syirik) agar dimasukkan ke dalam An-Naar, kekal abadi di
dalamnya, dan tidak boleh bagi Allah untuk menyelisihinya. Karena inilah mereka
disebut dengan Wa’idiyyah.
Kaum mu’tazilah adalah golongan yang membawa
persoalan-persoalan teologi yang lebih mendalam dan bersifat filosofis daripada
persoalan-persoalan yang dibawa kaum khawarij dan murji’ah. dalam pembahasan ,
mereka banyak memakai akal sehingga mereka mendapat nama “kaum rasionalis
Islam”.
Aliran mu’tazilah merupakan aliran teologi Islam yang
terbesar dan tertua, aliran ini telah memainkan peranan penting dalam sejarah
pemikiran dunia Islam. Orang yang ingin mempelajari filsafat Islam sesungguhnya
dan yang berhubungan dengan agama dan sejarah Islam, haruslah menggali
buku-buku yang dikarang oleh orang-orang mu’tazilah, bukan oleh mereka yang
lazim disebut filosof-filosof Islam.
Aliran Mu’tazilah lahir kurang lebih pada permulaan abad
pertama hijrah di kota Basrah (Irak), pusat ilmu dan peradaan dikala itu,
tempat peraduaan aneka kebudayaan asing dan pertemuan bermacam-macam agama.
Pada waktu itu banyak orang-orang yang menghancurkan Islam dari segi aqidah,
baik mereka yang menamakan dirinya Islam maupun tidak.
JABARIYAH DAN
QADARIYAH
A. Aliran Jabariyah
1.
Latar Belakang
Lahirnya Jabariyah
Secara bahasa Jabariyah berasal
dari kata jabara yang mengandung pengertian memaksa. Di dalam
kamus Munjid dijelaskan bahwa nama Jabariyah berasal dari
kata jabara yang mengandung arti memaksa dan mengharuskannya
melakukan sesuatu. Salah satu sifat dari Allah adalah al-Jabbar yang
berarti Allah Maha Memaksa. Sedangkan secara istilah Jabariyah adalah menolak
adanya perbuatan dari manusia dan menyandarkan semua perbuatan kepada Allah.
Dengan kata lain adalah manusia mengerjakan perbuatan dalam keadaan terpaksa (majbur). [3]
Menurut Harun Nasution Jabariyah
adalah paham yang menyebutkan bahwa segala perbuatan manusia telah ditentukan
dari semula oleh Qadha dan Qadar Allah. Maksudnya adalah bahwa setiap perbuatan
yang dikerjakan manusia tidak berdasarkan kehendak manusia, tapi diciptakan
oleh Tuhan dan dengan kehendak-Nya, di sini manusia tidak mempunyai kebebasan
dalam berbuat, karena tidak memiliki kemampuan. Ada yang mengistilahlkan bahwa
Jabariyah adalah aliran manusia menjadi wayang dan Tuhan sebagai dalangnya.[4]
Adapun mengenai latar belakang
lahirnya aliran Jabariyah tidak adanya penjelelasan yang sarih. Abu Zahra
menuturkan bahwa paham ini muncul sejak zaman sahabat dan masa Bani Umayyah.
Ketika itu para ulama membicarakan tentang masalah Qadar dan
kekuasaan manusia ketika berhadapan dengan kekuasaan mutlak Tuhan.[5] Adapaun
tokoh yang mendirikan aliran ini menurut Abu Zaharah dan al-Qasimi adalah Jahm
bin Safwan,[6] yang bersamaan dengan munculnya aliran Qadariayah.
Pendapat yang lain mengatakan bahwa
paham ini diduga telah muncul sejak sebelum agama Islam datang ke masyarakat
Arab. Kehidupan bangsa Arab yang diliputi oleh gurun pasir sahara telah
memberikan pengaruh besar dalam cara hidup mereka. Di tengah bumi yang disinari
terik matahari dengan air yang sangat sedikit dan udara yang panas ternyata
dapat tidak memberikan kesempatan bagi tumbuhnya pepohonan dan suburnya
tanaman, tapi yang tumbuh hanya rumput yang kering dan beberapa pohon kuat
untuk menghadapi panasnya musim serta keringnya udara.[7]
Harun Nasution menjelaskan bahwa
dalam situasi demikian masyatalkat arab tidak melihat jalan untuk mengubah
keadaan disekeliling mereka sesuai dengan kehidupan yang diinginkan. Mereka
merasa lemah dalam menghadapi kesukaran-kesukaran hidup. Artinya mereka banyak
tergantung dengan Alam, sehingga menyebabakan mereka kepada paham fatalisme.[8]
Terlepas dari perbedaan pendapat
tentang awal lahirnya aliran ini, dalam Alquran sendiri banyak terdapat
ayat-ayat yeng menunjukkan tentang latar belakang lahirnya paham jabariyah,
diantaranya:
a.
QS ash-Shaffat: 96
" Padahal
Allah-lah yang menciptakan kamu dan apa yang kamu perbuat itu".
b.
QS al-Anfal: 17
Dan bukan kamu yang melempar ketika kamu melempar, tetapi
Allah-lah yang melempar. (Allah berbuat demikian untuk membinasakan mereka
c.
QS al-Insan: 30
Dan kamu tidak mampu (menempuh jalan itu), kecuali
bila dikehendaki Allah. Sesungguhnya Allah adalah Maha mengetahui lagi Maha
Bijaksana.
Selain ayat-ayat Alquran di atas benih-benih faham al-Jabar juga dapat
dilihat dalam beberapa peristiwa sejarah:
a.
Suatu ketika Nabi menjumpai
sabahatnya yang sedang bertengkar dalam masalah Takdir Tuhan, Nabi melarang
mereka untuk memperdebatkan persoalan tersebut, agar terhindar dari kekeliruan
penafsiran tentang ayat-ayat Tuhan mengenai takdir.
b.
Khalifah Umar bin al-Khaththab
pernah menangkap seorang pencuri. Ketika ditntrogasi, pencuri itu berkata
"Tuhan telah menentukan aku mencuri". Mendengar itu Umar kemudian
marah sekali dan menganggap orang itu telah berdusta. Oleh karena itu Umar
memberikan dua jenis hukuman kepada orang itu, yaitu: hukuman potongan tangan
karena mencuri dan hukuman dera karena menggunakan dalil takdir Tuhan.
c.
Ketika Khalifah Ali bin Abu Thalib
ditanya tentang qadar Tuhan dalam kaitannya dengan siksa dan pahala. Orang tua
itu bertanya,"apabila perjalanan (menuju perang siffin) itu terjadi dengan
qadha dan qadar Tuhan, tidak ada pahala sebagai balasannya. Kemudian Ali
menjelaskannya bahwa Qadha dan Qadha Tuhan bukanlah sebuah paksaan. Pahala dan
siksa akan didapat berdasarkan atas amal perbuatan manusia. Kalau itu sebuah
paksaan, maka tidak ada pahala dan siksa, gugur pula janji dan ancaman Allah,
dan tidak pujian bagi orang yang baik dan tidak ada celaan bagi orang berbuat
dosa.
d.
Adanya paham Jabar telah mengemuka
kepermukaan pada masa Bani Umayyah yang tumbuh berkembang di Syiria.[9]
Di samping adanya bibit pengaruh faham jabar yang telah muncul dari
pemahaman terhadap ajaran Islam itu sendiri. Ada sebuah pandangan mengatakan
bahwa aliran Jabar muncul karena adanya pengaruh dari dari pemikriran asing,
yaitu pengaruh agama Yahudi bermazhab Qurra dan agama Kristen bermazhab
Yacobit.[10]
Adapun yang menjadi dasar munculnya paham ini adalah sebagai reaksi dari
tiga perkara: pertama, adanya paham Qadariyah, keduanya,
telalu tekstualnya pamahaman agama tanpa adanya keberanian menakwilkan
dan ketiga adalah adanya aliran salaf yang ditokohi Muqatil
bin Sulaiman yang berlebihan dalam menetapkan sifat-sifat Tuhan sehingga
membawa kepada Tasybih. [11]
2.
Ajaran-ajaran
Jabariyah
Adapun ajaran-ajaran Jabariyah dapat
dibedakan berdasarkan menjadi dua kelompok, yaitu ekstrim dan moderat.
Pertama, aliran ekstrim.
Di antara tokoh adalah Jahm bin Shofwan dengan pendaptnya adalah bahwa manusia
tidak mempu untuk berbuat apa-apa. Ia tidak mempunyai daya, tidak mempunyai
kehendak sendiri, dan tidak mempunyai pilihan. Pendapat Jahm tentang
keterpaksaan ini lebih dikenal dibandingkan dengan pendapatnya tentang surga
dan neraka, konsep iman, kalam Tuhan, meniadakan sifat Tuhan, dan melihat Tuhan
di akherat. Surga dan nerka tidak kekal, dan yang kekal hanya Allah. Sedangkan
iman dalam pengertianya adalah ma'rifat atau membenarkan dengan hati, dan hal
ini sama dengan konsep yang dikemukakan oleh kaum Murjiah. Kalam Tuhan adalah
makhluk. Allah tidak mempunyai keserupaan dengan manusia seperti berbicara,
mendengar, dan melihat, dan Tuhan juga tidak dapat dilihat dengan indera mata
di akherat kelak.[12] Aliran
ini dikenal juga dengan nama al-Jahmiyyah atau Jabariyah Khalisah.[13]
Ja'ad bin Dirham, menjelaskan tentang ajaran pokok dari Jabariyah adalah
Alquran adalah makhluk dan sesuatu yang baru dan tidak dapat disifatkan kepada
Allah. Allah tidak mempunyai sifat yang serupa dengan makhluk, seperti
berbicara, melihat dan mendengar. Manusia terpaksa oleh Allah dalam segala hal.[14]
Dengan demikian ajaran Jabariyah yang ekstrim mengatakan bahwa manusia
lemah, tidak berdaya, terikat dengan kekuasaan dan kehendak Tuhan, tidak
mempunyai kehendak dan kemauan bebas sebagaimana dimilki oleh paham Qadariyah.
Seluruh tindakan dan perbuatan manusia tidak boleh lepas dari scenario dan
kehendak Allah. Segala akibat, baik dan buruk yang diterima oleh manusia dalam
perjalanan hidupnya adalah merupakan ketentuan Allah.
Kedua, ajaran Jabariyah yang moderat adalah Tuhan menciptakan
perbuatan manusia, baik itu positif atau negatif, tetapi manusia mempunyai
bagian di dalamnya. Tenaga yang diciptakan dalam diri manusia mempunyai efek
untuk mewujudkan perbuatannya. Manusia juga tidak dipaksa, tidak seperti wayang
yang dikendalikan oleh dalang dan tidak pula menjadi pencipta perbuatan, tetapi
manusia memperoleh perbuatan yang diciptakan tuhan. Tokoh yang berpaham seperti
ini adalah Husain bin Muhammad an-Najjar yang mengatakan bahwa Tuhan
menciptakan segala perbuatan manusia, tetapi manusia mengambil bagian atau
peran dalam mewujudkan perbuatan-perbuatan itu dan Tuhan tidak dapat dilihat di
akherat. Sedangkan adh-Dhirar (tokoh jabariayah moderat lainnya) pendapat bahwa
Tuhan dapat saja dilihat dengan indera keenam dan perbuatan dapat ditimbulkan
oleh dua pihak.[15]
B. Aliran Qadariyah
1.
Latar Belakang
Lahirnya Aliran Qadariyah
Pengertian Qadariyah secara
etomologi, berasal dari bahasa Arab, yaitu qadara yang bemakna
kemampuan dan kekuatan. Adapun secara termenologi istilah adalah suatu aliran
yang percaya bahwa segala tindakan manusia tidak diinrvensi oleh Allah.
Aliran-aliran ini berpendapat bahwa tiap-tiap orang adalah pencipta bagi segala
perbuatannya, ia dapat berbuat sesuatu atau meninggalkannya atas kehendaknya
sendiri. Aliran ini lebih menekankan atas kebebasan dan kekuatan manusia dalam
mewujudkan perbutan-perbutannya. Harun Nasution menegaskan bahwa aliran ini
berasal dari pengertian bahwa manusia menusia mempunyai kekuatan untuk
melaksanakan kehendaknya, dan bukan berasal dari pengertian bahwa manusia
terpaksa tunduk pada qadar Tuhan.[16]
Menurut Ahmad Amin sebagaimana dikutip oleh Dr. Hadariansyah, orang-orang
yang berpaham Qadariyah adalah mereka yang mengatakan bahwa manusia memiliki
kebebasan berkehendak dan memiliki kemampuan dalam melakukan perbuatan. Manusia
mampu melakukan perbuatan, mencakup semua perbuatan, yakni baik dan buruk.[17]
Sejarah lahirnya aliran Qadariyah tidak dapat diketahui secara pasti dan
masih merupakan sebuah perdebatan. Akan tetepi menurut Ahmad Amin, ada sebagian
pakar teologi yang mengatakan bahwa Qadariyah pertama kali dimunculkan oleh
Ma’bad al-Jauhani dan Ghilan ad-Dimasyqi sekitar tahun 70 H/689M. [18]
Ibnu Nabatah menjelaskan dalam kitabnya, sebagaimana yang dikemukakan oleh
Ahmad Amin, aliran Qadariyah pertama kali dimunculkan oleh orang Irak yang pada
mulanya beragama Kristen, kemudian masuk Islam dan kembali lagi ke agama
Kristen. Namanya adalah Susan, demikian juga pendapat Muhammad Ibnu Syu’ib.
Sementara W. Montgomery Watt menemukan dokumen lain yang menyatakan bahwa paham
Qadariyah terdapat dalam kitab ar-Risalah dan ditulis untuk Khalifah Abdul
Malik oleh Hasan al-Basri sekitar tahun 700M.[19]
Ditinjau dari segi politik kehadiran mazhab Qadariyah sebagai isyarat
menentang politik Bani Umayyah, karena itu kehadiran Qadariyah dalam wilayah
kekuasaanya selalu mendapat tekanan, bahkan pada zaman Abdul Malik bin Marwan
pengaruh Qadariyah dapat dikatakan lenyap tapi hanya untuk sementara saja,
sebab dalam perkembangan selanjutnya ajaran Qadariyah itu tertampung dalam
Muktazilah.[20]
2. Ajaran-ajaran Qadariyah
Harun Nasution menjelaskan pendapat Ghalian tentang ajaran Qadariyah bahwa
manusia berkuasa atas perbuatan-perbutannya. Manusia sendirilah yang melakukan
baik atas kehendak dan kekuasaan sendiri dan manusia sendiri pula yang
melakukan atau menjauhi perbuatan-perbutan jahat atas kemauan dan dayanya
sendiri. Tokoh an-Nazzam menyatakan bahwa manusia hidup mempunyai daya, dan
dengan daya itu ia dapat berkuasa atas segala perbuatannya.[21]
Dengan demikian bahwa segala tingkah laku manusia dilakukan atas
kehendaknya sendiri. Manusia mempunyai kewenangan untuk melakukan segala
perbuatan atas kehendaknya sendiri, baik berbuat baik maupun berbuat jahat.
Oleh karena itu, ia berhak mendapatkan pahala atas kebaikan yang dilakukannya
dan juga berhak pula memperoleh hukuman atas kejahatan yang diperbuatnya.
Ganjaran kebaikan di sini disamakan dengan balasan surga kelak di akherat dan
ganjaran siksa dengan balasan neraka kelak di akherat, itu didasarkan atas
pilihan pribadinya sendiri, bukan oleh takdir Tuhan. Karena itu sangat pantas,
orang yang berbuat akan mendapatkan balasannya sesuai dengan tindakannya.[22]
Faham takdir yang dikembangkan oleh Qadariyah berbeda dengan konsep yang
umum yang dipakai oleh bangsa Arab ketika itu, yaitu paham yang mengatakan
bahwa nasib manusia telah ditentukan terlebih dahulu. Dalam perbuatannya,
manusia hanya bertindak menurut nasib yang telah ditentukan sejak azali
terhadap dirinya. Dengan demikian takdir adalah ketentuan Allah yang diciptakan-Nya
bagi alam semesta beserta seluruh isinya, sejak azali, yaitu hokum yang dalam
istilah Alquran adalah sunnatullah.
Secara alamiah sesungguhnya manusia telah memiliki takdir yang tidak dapat
diubah. Manusia dalam demensi fisiknya tidak dapat bebruat lain, kecuali
mengikuti hokum alam. Misalnya manusia ditakdirkan oleh Tuhan kecuali tidak
mempunyai sirip seperti ikan yang mampu berenang di lautan lepas. Demikian juga
manusia tidak mempunyai kekuatan seperti gajah yang mampu membawa barang
seratus kilogram.
Dengan pemahaman seperti ini tidak ada alasan untuk menyandarkan perbuatan
kepada Allah. Di antara dalil yang mereka gunakan adalah banyak ayat-ayat
Alquran yang berbicara dan mendukung paham itu
a.
QS al-Kahfi: 29
Maka barangsiapa yang ingin (beriman) hendaklah ia
beriman, dan barangsiapa yang ingin (kafir) Biarlah ia kafir".
b.
QS Ali Imran: 165
Dan Mengapa ketika kamu ditimpa musibah (pada
peperangan Uhud), padahal kamu Telah menimpakan kekalahan dua kali lipat kepada
musuh-musuhmu (pada peperangan Badar), kamu berkata: "Darimana datangnya
(kekalahan) ini?" Katakanlah: "Itu dari (kesalahan) dirimu
sendiri". Sesungguhnya Allah Maha Kuasa atas segala sesuatu.
c.
QS ar-Ra'd:11
Sesungguhnya Allah tidak merobah keadaan sesuatu kaum
sehingga mereka merobah keadaanyang ada pada diri mereka sendiri.
d.
QS. An-Nisa: 111
Barangsiapa yang mengerjakan dosa, Maka Sesungguhnya
ia mengerjakannya untuk (kemudharatan) dirinya sendiri.
C. Refleksi Faham Qadariyah dan Jabariyah: Sebuah Perbandingan tentang Musibah
Dalam paham Jabariyah, berkaitan dengan perbuatannya, manusia digambarkan
bagai kapas yang melayang di udara yang tidak memiliki sedikit pun daya untuk
menentukan gerakannya yang ditentukan dan digerakkan oleh arus angin. Sedang
yang berpaham Qadariyah akan menjawab, bahwa perbuatan manusia ditentukan dan
dikerjakan oleh manusia, bukan Allah. Dalam paham Qadariyah, berkaitan dengan
perbuatannya, manusia digambarkan sebagai berkuasa penuh untuk menentukan dan
mengerjakan perbuatannya.
Pada perkembangan selanjutnya, paham Jabariyah disebut juga sebagai paham
tradisional dan konservatif dalam Islam dan paham Qadariyah disebut juga
sebagai paham rasional dan liberal dalam Islam. Kedua paham teologi Islam
tersebut melandaskan diri di atas dalil-dalil naqli (agama) - sesuai pemahaman
masing-masing atas nash-nash agama (Alquran dan hadits-hadits Nabi Muhammad) -
dan aqli (argumen pikiran). Di negeri-negeri kaum Muslimin, seperti di
Indonesia, yang dominan adalah paham Jabariyah. Orang Muslim yang berpaham
Qadariyah merupakan kalangan yang terbatas atau hanya sedikit dari mereka.
Kedua paham itu dapat dicermati pada suatu peristiwa yang menimpa dan
berkaitan dengan perbuatan manusia, misalnya, kecelakaan pesawat terbang. Bagi
yang berpaham Jabariyah biasanya dengan enteng mengatakan bahwa kecelakaan itu
sudah kehendak dan perbuatan Allah. Sedang, yang berpaham Qadariyah condong
mencari tahu di mana letak peranan manusia pada kecelakaan itu.
Kedua paham teologi Islam tersebut membawa efek masing-masing. Pada paham Jabariyah semangat melakukan investigasi sangat kecil, karena semua peristiwa dipandang sudah kehendak dan dilakukan oleh Allah. Sedang, pada paham Qadariyah, semangat investigasi amat besar, karena semua peristiwa yang berkaitan dengan peranan (perbuatan) manusia harus dipertanggungjawabkan oleh manusia melalui suatu investigasi.
Kedua paham teologi Islam tersebut membawa efek masing-masing. Pada paham Jabariyah semangat melakukan investigasi sangat kecil, karena semua peristiwa dipandang sudah kehendak dan dilakukan oleh Allah. Sedang, pada paham Qadariyah, semangat investigasi amat besar, karena semua peristiwa yang berkaitan dengan peranan (perbuatan) manusia harus dipertanggungjawabkan oleh manusia melalui suatu investigasi.
Dengan demikian, dalam paham Qadariyah, selain manusia dinyatakan sebagai
makhluk yang merdeka, juga adalah makhluk yang harus bertanggung jawab atas
perbuatannya. Posisi manusia demikian tidak terdapat di dalam paham Jabariyah.
Akibat dari perbedaan sikap dan posisi itu, ilmu pengetahuan lebih pasti
berkembang di dalam paham Qadariyah ketimbang Jabariyah.
Dalam hal musibah gempa dan tsunami baru-baru ini, karena menyikapinya sebagai kehendak dan perbuatan Allah, bagi yang berpaham Jabariyah, sudah cukup bila tindakan membantu korban dan memetik "hikmat" sudah dilakukan.
Dalam hal musibah gempa dan tsunami baru-baru ini, karena menyikapinya sebagai kehendak dan perbuatan Allah, bagi yang berpaham Jabariyah, sudah cukup bila tindakan membantu korban dan memetik "hikmat" sudah dilakukan.
Sedang hikmat yang dimaksud hanya berupa pengakuan dosa-dosa dan hidup
selanjutnya tanpa mengulangi dosa-dosa. Sedang bagi yang berpaham Qadariyah,
meski gempa dan tsunami tidak secara langsung menunjuk perbuatan manusia, namun
mengajukan pertanyaan yang harus dijawab: adakah andil manusia di dalam
"mengganggu" ekosistem kehidupan yang menyebabkan alam
"marah" dalam bentuk gempa dan tsunami? Untuk itu, paham Qadariyah
membenarkan suatu investigasi (pencaritahuan), misalnya, dengan memotret lewat
satelit kawasan yang dilanda musibah.
AHLUSUNAH
KHALAF ASARIAH DAN MATURIDIAH
A. Al – Asy’ari
Kata Khalaf biasa
digunakan untuk merujuk pada para ulama yang lahir setelah abad ke – III dengan
karakteristik yang bertolak belakang dengan yang dimiliki salaf. Karakteristik
yang paling menonjol dari khalaf adalah penakwilan terhadap sifat – sifat tuhan
yang serupa denvgan makhluk pada pengertian yang sesuai dengan ketinggian dan
kesucian – Nya.[1]
Adapun ungkapan
ahlussunnah dapat dibedakan menjadi dua pengertian, yaitu umum dan khusus.[2]
Dalam pengertian ini, Mu’tazilah – sebagaimana dengan Asy’ariah – masuk dalam
barisan Sunni.[3] Adapun sunni dalam pengertian khusus adalah madzab yang
berada dalam barisan Asy’ariah dan merupakan lawan Mu’tazilah.[4]
Ahlussunnah banyak
digunakan sesudah timbunya aliran Asy’ariah dan Maturidiah, dua aliran yang
menentang ajaran – ajaran Mu’tazilah.[5] Dalam hubungan ini, Harun Nasution
dengan meminjam keterangan tasy kubra zadah menjelaskan bahwa aliran
Ahlussunnah muncul atas keberanian dan usaha Abu Al-Hasan Al-Asy’ari sekitar
tahun 300 H.[6]
1. Riwayat Hidup Singkat Al – Asy’ari
Nama lengkap Al-Asy’ari
adalah Abu Al-Hasan ‘Ali bin Ismail bin Ishaq bin Salim bin Ismail bin
‘Abdillah bin Musa bin Bilal bin Abu Burdah bin Abi Musa Al-Asy’ari.[7] Menurut
beberapa riwayat, Al-Asy’ari lahir di Bashrah pada tahun 260 H/875 M. Setelah
berusia lebih dari 40 tahun, ia hijrah ke kota Baghdad dan wafat di sana pada
tahun 324 H/935 M.[8]
Menurut Ibn ‘Asakir (w.
571 H), ayah Al-Asy’ari adalah seorang yang berpaham Ahlussunnah dan ahli
hadis. Ia wafat ketika Al-Asy’ari masih kecil. Sebelum wafat, ia sempat
berwasiat kepada seorang sahabatnya yang bernama Zakaria bIn Yahya As-Saji agar
mendidik Al-Asy’ari.[9] Ibunya menikah lagi dengan seorang tokoh Mu’tazilah
yang bernama Abu ‘Ali Al-Jubba’I (w. 303 H/9115 M), Ayah kandung Abu Hasyim Al
– Jubba’I (w.321 H/932 M).[10] Berkat didikan ayah tirinya, Al-Asy’ari kemudian
menjadi tokoh Mu’tazilah. Sebagai tokoh Mu’tazilah, ia sering menggantikan
Al-Jubba’I dalam perdebatan menentang lawan – lawan Mu’tazilah dan banyak
menulis buku yang membela alirannya.[11]
Al-Asy’ari menganut paham Mu’tazilah hanya sampai usia 40 tahun.
Setelah itu, secara tiba” ia mengumumkan dihadapan jama’ah Masjid Bashrah bahwa
dirinya telah meninggalkan paham Mu’tazilah dan akan menunjukkan keburukan –
keburukanya.[12] Menurut Ibnu Asakir, yang melatarbelakangi Al-Asy’ari
meninggalkan paham Mu’tazilah adalah pengakuan Al-Asy’ari telah bermimpi
bertemu dengan Rasulullah SAW,sebanyak tiga kali, yaitu pada malam ke – 10, ke
– 20, dank ke-30 bulan Ramadhan. Dalam tiga kali mimpinya, Rasulullah SAW.
Memperingatkanya agar segera meninggalkan paham Mu’tazilah dan segera membela
paham yang telah diriwayatkan dari beliau.[13]
Sumber lain mengatakan
bahwa sebabnya ialah pada bulan Ramadhan ia bermimpi melihat Nabi dan beliau
berkata kepadanya, “Wahai Ali, tolonglah madzhab-madzhab yang mengambil riwayat
dariku, karena itulah yang benar.” Kejadian ini terjadi beberapa kali, yang
pertama pada sepuluh hari pertama bulan Ramadhan, yang kedua pada sepuluh hari
yang kedua, dan yang ketika pada sepuluh hari yang ketiga pada bulan Ramadhan.
Dalam mengambil keputusan keluar dari Muktazilah, Al-Asy’ari menyendiri selama
15 hari. Lalu, ia keluar menemui manusia mengumumkan taubatnya. Hal itu terjadi
pada tahun 300 H.[14]
Setelah itu, Abu Hasan memposisikan dirinya sebagai pembela keyakinan-keyakinan
salaf dan menjelaskan sikap-sikap mereka. Pada fase ini, karya-karyanya
menunjukkan pada pendirian barunya. Dalam kitab Al-Ibanah, ia menjelaskan bahwa
ia berpegang pada madzhab Ahmad bin Hambal. Abul Hasan menjelaskan bahwa ia
menolak pemikirian Muktazilah, Qadariyah, Jahmiyah, Hururiyah, Rafidhah, dan
Murjiah. Dalam beragama ia berpegang pada Al-Qur’an, Sunnah Nabi, dan apa yang
diriwayatkan dari para shahabat, tabi’in, serta imam ahli hadits.[15]
2. Pemikiran Teologi Al – Asy’ari
Formulasi pemikiran Al –
Asy’ari, secara esensial menampilkan sebuah upaya sintesis antar formulasi
ortodoks ekstrem pada satu sisi dan Mu’tazilah pada sisi lain. Dari segi
etosnya, pergerakan tersebut memiliki semangat Ortodoks. Aktualitas
formulasinya jelas menampakan sifat yang reaksionis terhadap Mu’tazilah, sebuah
reaksi yang tidak bisa 100% menghindarinya.[16] Corak pemikiran yang sintesis
ini, menurut Watt dipengaruhi teologi kullabiah (teologi sunni yang dipelopori
Ibn Kullab)(w.854 M) [17]
Pemikiran – Pemikiran Al
– Asy’ari yang terpenting adalah sebagai berikut :
a. Tuhan
dan Sifat – Sifat – Nya
Perbedaan Pendapat di
kalangan mutakalimin mengenai sifat – sifat Allah tidak dapat dihindarkan
meskipun mereka setuju bahwa mengesakan Allah adalah wajib hukumnya. Al-Asy’ari
dihadapkan pada dua pandangan yang ekstrem. Pada satu pihak, ia berhadapan
dengan kelompok sifatiah (pemberi sifat), kelompok mujassimah (antropomosif),
dan kelompok musyabbihah yang berpendapat bahwa allah mempunyai semua sifat
yang disebutkan dalam al – quran dan sunnah bahwa sifat – sifat itu harus
dipahami menurut arti harfiahnya. Pada pihak lain, ia berhadapan dengan
kelompok Mu’tazilah yang berpendapat bahwa sifat – sifat allah tidak lain
selain esensi – Nya, dan tangan, kaki,telingan allah atau arsy atau kursi tidak
boleh diartikan secara harfiah, tetapi harus dijelaskan secara alegoris.
Menghadapi
dua kelompok yang berbeda tersebut, Al-Asy’ari berpendapat bahwa allah memiliki
sifat – sifat (bertentangan dengan Mu’tazilah) dan sifat – sifat itu, seperti
mempunyai tangan dan kaki, tidak boleh diartikan secara harfiah, tetapi secara
simbolis (berbeda dengan pendapat kelompok sifatiah). Selanjutnya, Al-Asy’ari
berpendapat bahwa sifat – sifat allah unik dan tidak dapat dibandingkan dengan
sifat – sifat manusia yang tampaknya mirip. Sifat – sifat Allah berbeda dengan
Allah,
tetapi sejauh menyangkut realitasnya tidak terpisah dari esensi – Nya. Dengan
demikian, tidak berbeda dengan Nya.[18]
b. Kebebasan
Dalam Berkehendak
Manusia memiliki
kemampuan untuk memilih dan menentukan serta mengaktualisasikan perbuatanya.
Al-Asy’ari mengambil pendapat menengah di antar dua pendapat yang ekstrem,
yaitu Jabariah yang fatalistic dan menganut paham pra – determinisme semata –
mata, dan Mu’tazilah yang menganut paham kebebasan mutlak dan berpendapat bahwa
manusia menciptakan perbuatanya sendiri.[19]
Untuk menengahi dua
pendapat diatas, Al-Asy’ari membedakan antara khaliq dan kasb. Menurutnya,
Allah adalah pencipta (khaliq) perbuatan manusia, sedangkan manusia adalah yang
mengupayakanya. Hanya Allah yang mampu menciptakan segala sesuatu.[20]
c. Akal
Dan Wahyu dan Kriteria baik dan buruk
Meskipun Al-Asy’ari dan
orang – orang Mu’tazlah mengakui pentingnya akal dan wahyu, tetapi berbeda
dalam menghadapi persoalanyang memperoleh penjelasan kontradiktif dari akal dan
wahyu. Al-Asy’ari mengutamakan wahyu, sementar mu’tazilah mengutamakan
akal.[21]
d. Qadimnya
Al-Qur’an
Mu’tazilah mengatakan
bahwa Al-Qur'an diciptakan (makhluk) sehingga tak qadim serta pandangan mazhab
Hambali dan Zahiriah yang mengatakan bahwa Al-Qur'an adalah kalam Allah (yang
qadim dan tidak diciptakan). Zahiriah bahkan berpendapat bahwa semua huruf,
kata dan bunyi Al-Qur'an adalah qadim[22].
Dalam rangka mendamaikan
kedua pandangan yang saling bertentangan itu Al-Asy’ari mengatakan bahwa
walaupun Al-Qur'an terdiri atas kata-kata, huruf dan bunyi, semua itu tidak
melekat pada esensi Allah dan karenanya tidak qadim.[23] Nasution mengatakan
bahwa Al-Qur’an bagi Al- Asy’ari tidaklah diciptakan sebab kalau ia diciptakan,
sesuai dengan ayat Q.S. An-Nahl:40 :[24]
Artinya: “Sesungguhnya
perkataan Kami terhadap sesuatu apabila Kami menghendakinya, Kami hanya
mengatakan kepadanya: "Kun (jadilah)", maka jadilah ia.
Q.S. An-Nahl:40 Artinya:
“Sesungguhnya perkataan Kami terhadap sesuatu apabila Kami menghendakinya, Kami
hanya mengatakan kepadanya: "Kun (jadilah)", maka jadilah ia.
e. Melihat
Allah
Al – Asy’ari tidak
sependapat dengan kelompok Otodoks ekstrem, terutama Zahiriah, yang menyatakan
bahwa Allah dapat dilihat di akhirat dan mempercayai bahwa Allah bersemayam di
‘Arsy. Selain itu, Al-Asy’ari tidak sependapat dengan Mu’tazilah yang
mengingkari ru’yatullahdi akhirat.[25] Al-Asy’ari yakin bahwa Allah dapat
dilihat di akhirat,[26] tetapi tidak digambarkan. Kemungkinan ru’yat dapat
terjadi ketika Allah menyebabkan dapat dilihat atau Ia menciptakan kemampuan
penglihatan manusia untuk melihat-Nya.[27]
f. Keadilan
Pada dasarnya Al-Asy’ari
dan Mu’tazilah setuju bahwa allah itu adil. Mereka hanya berbeda dalam cara
pandang makna keadilan. Al-Asy’ari tidak sependapat dengan ajaran Mu’tazilah
yang mengharuskan allah berbuat adil sehingga ia harus menyiksa orang yang
salah dan member pahala kepada orang yang berbuat baik. Al-Asy’ari berpendapat
bahwa allah tidak memiliki keharusan apapun karena ia adalah Penguasa Mutlak.
Jika Mu’tazilah mengartikan keadilan dari visi manusia yang memiliki dirinya,
sedangkan Al-Asy’ari dari visi bahwa allah adalah pemilik mutlak.
g. Kedudukan
Orang Berdosa
Al-Asy’ari menolak
ajaran posisi menengah yang dianut Mu’tazilah.[28] Mengingat kenyataan bahwa
iman merupakan lawan kufur, predikat bagi seorang harus satu diantaranya. Jika
tidak mukmin, ia kafir. Oleh karena itu, Al-Asy’ari berpendapat bahwa mukmin
yang berbuat dosa besar adalah mukmin yang fasik sebagai iman tidak mungkin
hilang karena dosa selain kufur.[29]
B. Al – Maturidi
Berdasarkan buku
Pengantar Teologi Islam, aliran Maturidiyah diambil dari nama pendirinya, yaitu
Abu Mansur Muhammad bin Muhammad. Di samping itu, dalam buku terjemahan oleh Abd.
Rahman Dahlan dan Ahmad Qarib menjelaskan bahwa pendiri aliran maturidiyah
yakni Abu Manshur al-Maturidi, kemudian namanya dijadikan sebagai nama aliran
ini.[30]
Maturidiyah adalah
aliran kalam yang dinisbatkan kepada Abu Mansur
al-Maturidi yang berpijak kepada penggunaan argumentasi dan dalil aqli
kalami dalam membantah penyelisihnya seperti Mu’tazilah, Jahmiyah dan lain-lain
untuk menetapkan hakikat agama dan akidah Islamiyyah. Sejalan dengan itu juga,
aliran Maturidiyah merupakan aliran teologi dalam Islam yang didirikan oleh Abu
Mansur Muhammad al-Maturidiyah dalam kelompok Ahli Sunnah Wal Jamaah yang merupakan ajaran teknologi
yang bercorak rasional.
Abu Manshur Muhammad ibn
Muhammad ibn Mahmud Al-Maturidi. Ia dilahirkan di sebuah kota kecil di daerah
Samarkan yang bernama Maturid, di wilayah Trmsoxiana di Asia Tengah, daerah
yang sekarang disebut Uzbekistan. Tahun kelahirannya tidak diketahui pasti,
hanya diperkirakan sekitar pertengahan abad ke-3 hijriyah. Ia wafat pada tahun
333 H/944 M[31]. gurunya dalam bidang fiqih dan teologi yang bernama Nasyr bin
Yahya Al-Balakhi, ia wafat pada tahun 268 H. al-Maturidi hidup pada masa
khalifah Al-Mutwakil yang memerintah pada tahun 232-274 H/847-861 M. Karir
pendidikan Al-Maturidi lebih dikonsentrasikan untuk menekuni bidang teologi
dari pada fiqih. Pemikiran-pemikirannya banyak dituangkan dalam bentuk karya
tulis, diantaranya adalah kitab Tauhid, Ta’wil Al-Qur'an Makhas Asy-Syara’I,
Al-jald, dll. Selain itu ada pula karangan-karangan yang diduga ditulis oleh
Al-Maturidi yaitu Al-aqaid dan sarah fiqih.
Al-Maturidiah
merupakan salah satu sekte Ahl-al-sunnah al-Jamaah, yang tampil dengan
Asy’ariyah.Maturidiah da Asy’ariyah di lahirkan oleh kondisi social dan
pemikiran yang sama.kedua aliran ini datang untuk memenuhi kebutuhan mendesak
yng menyerukan untuk menyelamatkan diri dari ekstriminasi kaum
rasionalis,dimana yang berada di paling depan adalah kaum mu’tazilah,maupun
ekstrimitas kaum tekstualitas di mana yang berada di barisan paling depan
adalah kaum Hanabilah.
1. Riwayat
Hidup Singkat Al-Maturidi
Abu Mashur Al-Maturidi
dilahirkan di Maturid, sebuah kota kecil di daerah Samarkand, wilayah
Trmsoxiana di asia tengah, daerah yang sekarang disebut Uzbekistan. Tahun
Kelahiranya tidak diketahui secara pasti, hanya diperkirakan sekitar
pertengahan abad ke-3 Hijriah. Ia wafat pada tahun 333 H/944 M.[29] Gurunya
dalam bidang fiqih dan teologi bernama Nasyr bin yahya Al-Balakhi. Ia wafat
pada tahun 268 H.[30] Ia hidup pada masa khalifah Al-Mutawakkil yang memerintah
pada tahun 232-274 H/847-861 M.
Paham-paham teologi yang
banyak berkembang dalam masyarakat islam, yang dipandangnya tidak sesuai dengan
kaidah yang benar menurut akal dan syara’. Pemikiran-pemikiranya sudah banyak
dituangkan dalam bentuk karya tulis, diantaranya adalah kitab tauhid, ta’wil
al-qur’an, ma’kaz asy-syara’I, al-jadl, ushul fi ushul ad-dinb, maqalatat fi
al-ahkam,radd awa’il al-adillah li al-ka’bi,radd al – ushul al-khamisah li abu
Muhammad al-bahili,radd al-imamah li al-ba’d ar-rawafidh, dan kitab radd ‘ala
al-qaramithah.[31] Selain itu, ada pula karangan- karangan yang dikatakan dan
diduga ditulis oleh Al- Maturidi, yaitu Risalah fi Al-Aqaid dan Syarh Fiqh Al-
Akbar.
2. Pemikiran
Teologi Al-Maturidi
a. Akal
dan wahyu
Dalam pemikiran
teologinya, Al-Maturidi mendasarkan pada Al-Qur'an dan akal dalam bab ini ia
sama dengan Al-asy’ari. Menurut
Al-Maturidi, mengetahui Tuhan dan kewajiban mengetahui Tuhan dapat diketahui
dengan akal. Kemampuan akal dalam mengetahui dua hal tersebut sesuai dengan
ayat-ayat Al-Qur'an yang memerintahkan agar manusia menggunakan akal dalam
usaha memperoleh pengetahuan dan keimanannya terhadap Allah melalui pengamatan
dan pemikiran yang mendalam tentang makhluk ciptaannya. Kalau akal tidak
mempunyai kemampuan memperoleh pengetahuan tersebut, tentunya Allah tidak akan
menyuruh manusia untuk melakukannya. Dan orang yang tidak mau menggunakan akal
untuk memperoleh iman dan pengetahuan mengenai Allah berarti meninggalkan
kewajiban yang diperintah ayat-ayat tersebut. Namun akal menurut Al-Maturidi,
tidak mampu mengetahui kewajiban-kewajiban lainnya.
Dalam masalah baik dan
buruk, Al-Maturidi berpendapat bahwa penentu baik dan buruk sesuatu itu
terletak pada suatu itu sendiri, sedangkan perintah atau larangan syari’ah
hanyalah mengikuti ketentuan akal mengenai baik dan buruknya sesuatu. Dalam
kondisi demikian, wahyu diperoleh untuk dijadikan sebagai pembimbing
Al-Maturidi membagi
kaitan sesuatu dengan akal pada tiga macam, yaitu:
1) Akal
dengan sendirinya hanya mengetahui kebaikan sesuatu itu.
2) Akal
dengan sendirinya hanya mengetahui kebutuhan sesuatu itu
3) Akal
tidak mengetahui kebaikan dan keburukan sesuatu, kecuali dengan petunjuk ajaran
wahyu.[35]
Jadi,
yang baik itu baik karena diperintah Allah, dan yang buruk itu buruk karena
larangan Allah. Pada korteks ini, Al-Maturidi berada pada posisi tengah dari
Mutazilah dan Al-Asy’ari.
b. Perbuatan
manusia
Menurut Al-Maturidi
perbuatan manusia adalah ciptaan Tuhan karena segala sesuatu dalam wujud ini
adalah ciptaannya. Dalam hal ini, Al-Maturidi mempertemukan antara ikhtiar
sebagai perbuatan manusia dan qudrat Tuhan sebagai pencipta perbuatan manusia.
Dengan demikian tidak
ada peretentangan antara qudrat tuhan yang menciptakan perbuatan manusia dan
ikhtiar yang ada pada manusia. Kemudian karena daya di ciptakan dalam diri
manusia dan perbuatan yang di lakukan adalah perbuatan manusia sendiri dalam
arti yang sebenarnya, maka tentu daya itu juga daya manusia.[36]
Dalam masaslah pemakaian
daya, Al-Maturidi membawa paham Abu Hanifah, yaitu adanya masyi’ah dan rida.
Kebebasan manusia dalam melakukan baik atau buruk tetap dalam kehendak
tuhan,tetapi memilih yang diridhai-Nya atau yang tidak diridhai-Nya. Manusia
berbuat baik ats kehendak dan kerelaan tuhan, dan berbuat buruk juga atas
kehendak tuhan, tetapi tidak atas kerelaan-Nya. Dengan demikian, manusia dalam
paham Al-Maturidi tidak sebebas manusia dalam paham Mu’tazilah.
c. Kekuasaan
dan kehendak mutlak Tuhan
Menurut Al-Maturidi
qudrat Tuhan tidak sewenang-wenang (absolut), tetapi perbuatan dan kehendaknya
itu berlangsung sesuai dengan hikmah dan keadilan yang sudah ditetapkannya
sendiri.
d. Sifat
Tuhan
Dalam hal ini faham
Al-Maturidi cenderung mendekati faham mutzilah. Perbedaan keduanya terletak
pada pengakuan Al-Maturidi tentang adanya sifat-sifat Tuhan, sedangkan
mutazilah menolak adanya sifat-sifat Tuhan.
Berkaitan dengan masalah
sifat tuhan, dapat ditemukan persamaan antara pemikiran Al-Maturidi dengan
Al-Asy’ari. Seperti halnya Al-Asy’ari,Ia berpendapat bahwa tuhan mempunyai
sifat-sifat, seperti sama’, basyar, dan sebagainya.[40] Walaupun begitu,
pengertian Al-Maturidi berbeda dengan Al-Asy’ari. Al-Asy’ari mengartikan sifat
tuhan sebagai sesuatu yang bukan dzat, melainkan melekat pada dzat. Menrut
Al-Maturidi, sifat tidak dikatakan sebagai esensi-Nya dan bukan pula lain dari
esensi-Nya. Sifat-sifat tuhan itu mulazamah (ada bersama, baca : inheren) dzat
tanpa terpisah, (innaha lam takun’ ain adz-dzat wa la hiya ghairuhu).
Menetapkan sifat bagi allah tidak harus membawa pada pengertian antropomorfisme karna sifat tidak berwujud yang tersendiri
dari dzat, sehingga berbilang sifat tidak akan membawa pada berbilangnya yang
qadim.
Tampaknya, paham
Al-Maturidi tentang makna sifat tuhan cenderung mendekati paham Mu’tazilah.
Perbedaan keduanya terletak pada pengakuan Al-Maturidi tentang adanya
sifat-sifat tuhan, sedangkan mu’tazilah menolak adanya sifat – sifat tuhan.
e. Melihat
Tuhan
Al-Maturidi mengatakan
bahwa manusia dapat melihat Tuhan. Hal ini diberitahukan oleh Al-Qur'an, antara
lain firman Allah dalam surat Al-Qiyamah ayat 22dan 23. namun melihat Tuhan,
kelak di akherat tidak dalam bentuknya (bila kaifa), karena keadaan di akherat
tidak sama dengan keadaan di dunia.
f. Kalam
Tuhan
Al-Maturidi membedakan
antara kalam yang tersusun dengan huruf dan bersuara dengan kalam nafsi (sabda
yang sebenarnya atau kalam abstrak). Kalam nafsi adalah sifat qadim bagi Allah,
sedangkan kalam yang tersusun dari huruf dan suara adalah baharu (hadist).
Kalam nafsi tidak dapat kita ketahui
hakikatnya bagaimana allah bersifat dengannya (bila kaifa) tidak di ketahui,
kecuali dengan suatu perantara.[37]
g. Perbuatan
manusia
Menurut Al-Maturidi,
tidak ada sesuatu yang terdapat dalam wujud ini, kecuali semuanya atas kehendak
Tuhan, dan tidak ada yang memaksa atau membatasi kehendak Tuhan kecuali karena
ada hikmah dan keadilan yang ditentukan oleh kehendak-Nya sendiri. Oleh karena
itu, tuhan tidak wjib beerbuat ash-shalah wa-al ashlah (yang baik dan terbaik
bagi manusia). setiap perbuatan tuhan yang
bersifat mencipta atau kewajiban-kewajiban yang di bebankan kepada manusia
tidak lepas dari hikmah dan keadilan yang di kehendaki-Nya. Kewajiban-kewajiban
tersebut adalah :
1) Tuhan
tidak akan membebankan kewajiban-kewajiban kepada manusia di luar kemampuannya
karena hal tersebut tidak sesuai dengan keadilan, dan manusioa juga di beri
kemerdekaan oleh tuhan dalam kemampuan dan perbuatannya.
2) Hukuman
atau ancaman dan janji terjadi karena merupakan tuntunan keadilan yang sudah di
tetapkan-Nya.
h. Pelaku
dosa besar
Al-Maturidi berpendapat
bahwa orang yang berdosa besar tidak kafir dan tidak kekal di dalam neraka
walaupun ia mati sebelum bertobat. Hal ini karena tuhan sudah menjanjikan akan
memberikan balasan kepada manusia sesuai dengan perbuatannya.kekal di dalam
neraka adalah balasan untuk orang yang berbuat dosa syirik.dengan demikian,
berbuat dosa besar selain syirik tidak akan menyebabkan pelakunya kekal di
dalam neraka. Oleh karena itu, perbuatan dosa besar (selain syirik) tidaklah
menjadikan seseorang kafir atau murtad.[38]
i. Pengutusan
Rasul
Pandangan Al-Maturidi
tidak jauh beda dengan pandangan mutazilah yang berpendapat bahwa pengutusan
Rasul ke tengah-tengah umatnya adalah kewajiban Tuhan agar manusia dapat
berbuat baik dan terbaik dalam kehidupannya.
Pengutusan rasul
berfungsi sebagai sumber informasi. Tanpa mengikuti ajarannya wahyu yang di
sampaikan rasul berarti mansia telah membebankan sesuatu yang berada di luar
kemampuannya kepada akalnya.[39]
Akal tidak selamanya
mampu mengetahui kewajiban – kewajiban yang dibebankan kepada manusia, seperti
kewajiban mengetahui baik dan buruk serta kewajiban lainnya dari syariat yang
dibebankan kepada manusia. Al-Maturidi berpendapat bahwa akal memerlukan
bimbingan ajaran wahyu untuk dapat mengetahui kewajiban-kewajiban tersebut.
Jadi, pengutusan rosul adalah hal niscaya yang berfungsi sebagai sumber
informasi. Tanpa mengikuti jaran wahyu yang disampaikan rosul, berarti manusia
membebankan akalnya pada sesuatu yang berada diluar kemampuanya.[40]
0 komentar:
Posting Komentar