SEKOLAH TINGGI AGAMA ISLAM ( STAI )
DR. KHEZ MUTTAQIEN PURWAKARTA
Status Terakreditasi BAN-PT. Depdiknas RI
Program Studi : Pendidikan Agama Islam – Ahwal Al-Syakhsiyyah –
Ekonomi Syariah – Komunikasi & Penyiaran Islam – Pendidikan Bahasa
Arab
Jl. Baru Maracang No. 35 Purwakarta Telp./Fax. (0264)
200092
MODUL
FILSAFAT PENDIDIKAN ISLAM
( FPI )
SMESTER 2
BAB I
PENGERTIAN, HAKIKAT, DAN SUMBER FILSAFAT PENDIDIKAN
ISLAM
Filsafat Pendidikan Islam merupakan cabang disiplin
ilmu filsafat pendidikan atau cabang dari filsafat islam, tetapi dalam tinjauan
Islam, Filsafat merupakan disiplin yang debatable antara bagian dari islam atau
ia sesuatu lain di luar Islam dan masuk diadopsi menjadi bagian dari Islam.
Dalam beberapa literature Filsafat Pendidikan Islam merupakan bagian Filsafat
Umum dan di yang lain ia bagian dari Filsafat Islam. Lebih khusus lagi bagian
dari Filsafat Pendidikan.
A. Pengertian Filsafat Pendidikan Dan Islam
Filsafat Pendidikan Islam adalah suatu aktifitas
befikir menyeluruh dan mendalam dalam rangka merumuskan konsep dasar
penyelenggaraan bimbingan, arahan dan pembinaan peserta didik agar menjadi
manusia dewasa sesuai tuntunan ajaran islam, dengan mengkaji kandungan makna
dan nilai-nilai dalam Al-Qur’an dan Al-Hadis.
Sedangkan Abuddin Nata (1997) mendefinisikan Filsafat
Pendidikan Islam sebagai suatu kajian filosofis mengenai berbagai masalah yang terdapat
dalam kegiatan pendidikan yang didasarkan pada al-Qur’an dan al-Hadis sebagai
sumber primer, dan pendapat para ahli khususnya filosof muslim sebagai sumber
sekunder. Selain itu, Filsafat Pendidikan Islam dikatakan Abuddin Nata suatu
upaya menggunakan jasa filosofis, yakni berfikir secara mendalam, sistematik,
radikal dan universal tentang masalah-masalah pendidikan, seperti masalah
manusia (anak didik), guru, kurikulum, metode dan lingkungan dengan menggunakan
al-Qur’an dan al-Hadis sebagai dasar acuannya..
B. Hakikat Filsafat Pendidikan Islam
Pendapat para ahli yang mencoba merumuskan pengertian
filsafat pendidikan Islam, Muzayyin Arifin mengatakan pada
hakikatnya adalah konsep berpikir tentang kependidikan yang bersumberkan atau
berlandaskan pada ajaran-ajaran agama Islam tentang hakekat kemampuan manusia
untuk dapat dibina dan dikembangkan serta dibimbing menjadi manusia (Muslim)
yang seluruh pribadinya dijiwai oleh ajaran Islam. Secara sistematikanya
menyangkut subyek-obyek pendidikan, kurikulum, metode, lingkungan, guru dan
sebagainya. Mengenai dasar-dasar filsafat yang meliputi pemikiran radikal dan
universal menurut Ahmad D Marimba mengatakan bahwa filsafat pendidikan Islam
bukanlah filsafat pendidikan tanpa batas. Adapun komentar mengenai radikal dan
universal bukan berarti tanpa batas, tidak ada di dunia ini yang disebut tanpa
batas, dan bukankah dengan menyatakan sesuatu itu tanpa batas, kita telah
membatasi sesuatu itu. Dalam artian, apabila seorang Islam yang telah meyakini
isi keimanannya, akan mengetahui di mana batas-batas pikiran (akal) dapat
dipergunakan.
C. Fungsi Filsafat Pendidikan Islam
Bila dilihat dari fungsinya, maka filsafat pendidikan
Islam merupakan pemikiran mendasar yang melandasi dan mengarahkan proses
pelaksanaan pendidikan Islam. Oleh karana itu filsafat ini juga memberikan
gambaran tentang sampai dimana proses tersebut direncanakan dan dalam ruang
lingkup serta dimensi bagaimana proses tersebut dilaksanakan. Masih dalam
fungsinalnya, filsafat pendidikan Islam juga bertugas melakukan kitik-kritik
tentang metode-metode yang digunakan dalam proses pendidikan Islam itu serta
sekaligus memberikan pengarahan mendasar tentang bagaimana metode tersebut
harus didayagunakan atau diciptakan agar efektif untuk mencapai tujuan. Dengan demikian,
filsafat pendidikan Islam seharusnya bertugas dalam tiga dimensi yakni:
1.
Memberikan landasan dan sekaligus mengarahkan kepada
proses pelaksanan pendidikan yang berdasarkan ajaran Islam.
2.
Melakukan kritik dan koreksi terhadap proses
pelaksaaan tersebut.
3.
Melakukan evaluasi terhadap metode dari proses
pendidikan tersebut.
Filasfat pendidikan Islam, menunjukkan problema yang
di hadapi oleh pendidikan Islam, sebagai dari hasil yang mendalam, dan berusaha
untuk memahami duduk masalahnya. Dengan analisa filsafat, maka filsfat
pendidikan Islam bisa menunjukkan alternative-alternatif pemecahan maslah
tersebut. Setelah melalui proses seleksi terhadap alternative-alternatif
tersaebut, yang mana yang paling efektif, maka dilaksanakan alternative
tersebut dalam praktek kependidikan.
Filsafat pendidikan Islam menunjukkan bahwa potensi
pembawaan manusia tidak lain adalah sifat-sifat Tuhan, atau Al asma’ al husna,
dan dalam mengembangkan sifat-sifat Tuhan tersebut dalam kehidupan kongkret,
tidak boleh mengarah kepada menodai dan merendahkan nama dan sifat Tuhan
tersebut. Hal ini akan memberikan petunjuk pembinaan kurikulum yang sesuai dan
peangaturan lingkungan yang diperlukan.
D. Ruang Lingkup Filsafat Pendidikan Islam
Secara spesifik ruang lingkup yang mengindikasikan
bahwa filsafat pendidikan Islam adalah sebagai sebuah disiplin ilmu. Pendapat
Muzayyin Arifin yang berkenaan dengan hal ini menyatakan bahwa mempelajari
filsafat pendidikan Islam berarti memasuki arena pemikiran yang serba mendasar,
sistematik, terpadu, logis dan menyeluruh (universal) tentang pendidikan, yang
tidak hanya dilatar belakangi oleh pengetahuan agama Islam saja, juga
berdasarkan mempelajari ilmu-ilmu lain yang relevan. Konsep-konsep tersebut
mulai dari perumusan tujuan pendidikan, kurikulum, guru, metode, lingkungan dan
seterusnya.
E. Kegunaan Filsafat Pendidikan Islam
Semestinya, bahwa setiap ilmu mempunyai kegunaan,
menurut Omar Mohammad al-Toumy al-Syaibani misalnya mengemukakan tiga manfaat
dari mempelajari filsafat pendidikan Islam, antaralain:
1.
Filsafat pendidikan itu dapat menolong para
perancang pendidikan dan yang melaksanakannya dalam suatu negara untuk
membentuk pemikiran sehat terhadap proses pendidikan;
2.
Filsafat pendidikan dapat menjadi asas yang
terbaik untuk penilaian pendidikan dalam arti menyeluruh; dan,
3.
Filsafat pendidikan Islam akan menolong
dalam memberikan pendalaman pikiran bagi factor-faktor spiritual, kebudayaan,
social, ekonomi dan politik di negara kita.
F. Metode Pengembangan Dan Sumber Filsafat
Pendidikan Islam
Tentang metode pengembangan filsafat pendidikan Islam
paling tidak bersumber pada 4 hal, yakni:
1.
Bahan tertulis (tekstual) al-Qur’an,
al-Hadits dan pendapat pendahulu yang baik “salafus saleh”– bahan empiris,
yakni dalam praktek kependidikan (kontekstual);
2.
Metode pencarian bahan; khusus untuk bahan
dari al-Qur’an dan al-Hadits bisa melalui “Mu’jam al-Mufahros li Alfazh
al-Karim” karya Muhammad Fuad Abd al-Baqi atau “Mu’jam al-Mufahros li Alfazh
al-Hadits” karya Weinsink, dan bahan teoritis kepustakaan serta bahan teoritis lapangan;
3.
Metode pembahasan (penyajian); bisa dengan
cara berpikir yang menganalisa fakta-fakta yang bersifat khusus terlebihdahulu
selanjutnya dipakai untuk bahan penarikan kesimpulan yang bersifat umum
(induktif); atau cara berpikir dengan menggunakan premis-premis dari fakta yang
bersifat umum menuju ke arah yang bersifat khusus (deduksi); dan
4.
Pendekatan (approach); pendekatan sangat
diperlukan dalam sebuah analisa, yang bisa dikategorikan sebagai cara pandang
(paradigm) yang akan digunakan untuk menjelaskan suatu fenomena.
BAB II
ONTOLOGI, EPISTEMOLOGI DAN AKSIOLOGI
A.
PEMBAHASAN
1.
Ontologi Pendidikan
Islam
Ontologi pendidikan Islam membahas hakikat substansi
dan pola organisasi pendidikan Islam. Secara ontologis, Pendidikan Islam adalah
hakikat dari kehidupan manusia sebagai makhluk berakal dan berfikir. Jika
manusia bukan makluk berfikir, tidak ada pendidikan. Selanjutnya pendidikan
sebagai usaha pengembangan diri manusia, dijadikan alat untuk mendidik.[1]
Kajian ontologi ini tidak dapat dipisahkan dengan Sang
Pencipta. Allah telah membekalkan beberapa potensi kepada kita untuk berfikir.
Pertanyaan selanjutnya apakah sebenarnya hakekat pendidikan Islam itu?
3 Kata kunci tentang
pendidikan Islam yaitu :
a.
Ta’lim, kata ini telah
digunakan sejak periode awal pelaksanaan pendidikan Islam. Mengacu pada
pengetahuan, berupa pengenalan dan pemahaman terhadap segenap nama-nama atau
benda ciptaan Allah. Rasyid Ridha, mengartikan ta’lim sebagai proses transmisi
berbagai Ilmu pengetahuan pada jiwa individu tanpa adanya batasan dan ketentuan
tertentu.[2]
b.
Tarbiyah, kata ini berasal dari kata Rabb,
mengandung arti memelihara, membesarkan dan mendidik yang kedalamannya sudah
termasuk makna mengajar.[3]
c.
Ta’dib, Syed Muhammad Naquib
al-Attas mengungkapkan istilah yang paling tepat untuk menunjukan
pendidikan Islam adalah al-Ta’dib, kata ini berarti pengenalalan
dan pengakuan yang secara berangsur-angsur ditanamkan ke dalam diri manusia
(peserta didik) tentang tempat-tempat yang tepat dari segala sesuatu di dalam
tatanan penciptaan.[4]
Dari ketiga kata kunci di atas, berbagai pakar telah
merumuskan tentang pendidikan Islam, sebagai berikut:
a.
Ahmad. D. Marimba mengatakan bahwa
pendidikan Islam adalah bimbingan jasmani dan rohani menuju terbentuknya
kepribadian utama menurut ukuran-ukuran Islam.[5]
b.
M. Yusuf al Qardawi mengatakan bahwa
pendidikan Islam adalah pendidikan manusia seutuhnya akal dan hatinya, rohani
dan jasmaninya, akhlak dan keterampilannya.[7]
Dari pendapat di atas, dapat disimpulkan bahwa
pendidikan Islam adalah suatu sistem yang dapat mengarahkan kehidupan peserta
didik sesuai dengan ideologi Islam.
Dengan demikian secara ontologis pemahaman terhadap
pendidikan Islam tidak dapat dipisahkan dengan Allah selaku Pencipta manusia.
Karena pendidikan Islam ditujukan pada terbentuknya kepribadian Muslim yang
dapat memenuhi hakikat penciptaannya, yakni menjadi Pengabdi Allah.
2.
Epistemologi Pendidikan
Islam
Epistemologi pendidikan Islam membahas seluk beluk dan
sumber-sumber pendidikan Islam. Pendidikan Islam bersumber dari Allah SWT, Yang
Maha Mengetahui Sesuatu. Hukum-hukum yang diciptakan Allahpun dapat dipahami
dengan berbagai metode dan pendekatan. Pendidikan Islam merujuk pada
nilai-nilai Al-Qur’an yang universal dan abadi. Serta didukung oleh hadist Nabi
Muhammad SAW yang dapat dikembangkan dengan ijtihad, mashlahah
al-mursalah, istihsan, qiyas dan sebagainya
(Zakiyah Drajat, 1996: 20-21).
Ketiga kata kunci tentang Pendidikan Islam di atas
disebutkan dalam Al-Qur’an dan hadist berikut ini:
“Dan Dia mengajarkan kepada Adam
nama-nama benda-benda seluruhnya, kemudian mengemukakannya kepada Malaikat,
lalu berfirman : “Sebutkanlah kepada-Ku jika kamu memang orang-orang yang
benar” (Al-Baqarah ayat: 31)
“Wahai Tuhanku kasihilah mereka berdua, sebagaimana
mereka berdua telah mendidik aku di masa kecil.”(Al-Isra’ ayat 24).
Hadist Nabi Muhammad SAW “Aku dididik oleh
Tuhanku (addabani Rabbi), maka dia memberikan kepadaku sebaik-baik pendidikan
(fa ahsana ta’dibi).
Selanjutnya objek material Filsafat Pendidikan Islam
yaitu segala hal yang berkaitan dengan usaha manusia untuk menciptakan kondisi
yang memberi peluang berkembangnya kecerdasan dan kepribadian melalui
pendidikan. Objek formal: Usaha yang rasional, mendasar, general, dan
sistematis dalam mengembangkan kecerdasan dan kepribadian melalui pendidikan.
Untuk lebih jelasnya, objek materi ilmu pendidikan
Islam yaitu anak didik. Sedangkan objek formalnya ialah perbuatan mendidik yang
membawa anak, ke arah tujuan pendidikan Islam. Sehingga secara epistemologi,
Kurikulum pendidikan Islam harus merujuk pada Al-Qur’an dan hadist.
Sumber-sumber yang menunjukkan bahwa manusia sebagai
makhluk yang dapat menerima pelajaran dari Tuhan tentang apa yang tidak
diketahuinya ada pada surat Al-Alaq, 96: ayat 1-5: “Bacalah dengan
(menyebut) nama Tuhanmu Yang menciptakan. Dia telah menciptakan manusia dari
segumpal darah. Bacalah, dan Tuhanmulah Yang Maha Pemurah, Yang mengajar
(manusia) dengan perantaran kalam, Dia mengajar kepada manusia apa yang
tidak diketahuinya.”
Manusia sebagai makhluk yang memiliki kemampuan
mengatur waktu (QS. Al-Ashr, 103 :1-3, “Demi masa, Sesungguhnya
manusia itu benar-benar dalam kerugian, kecuali orang-orang yang beriman dan
mengerjakan amal saleh dan nasehat menasehati supaya mentaati
kebenaran dan nasehat menasehati supaya menetapi kesabaran.
Manusia mendapatkan bagian dari apa yang telah
dikerjakannya, (QS an-Najm, 53-39). “Dan bahwasanya seorang manusia
tiada memperoleh selain apa yang telah diusahakannya”
Manusia sebagai makhluk yang memiliki keterikatan
dengan moral atau sopan santun (QS. Al Ankabut 29:8).
“Dan Kami wajibkan manusia (berbuat) kebaikan kepada
dua orang ibu-bapaknya. Dan jika keduanya memaksamu untuk mempersekutukan Aku
dengan sesuatu yang tidak ada pengetahuanmu tentang itu, maka janganlah kamu
mengikuti keduanya. Hanya kepada-Ku-lah kembalimu, lalu Aku kabarkan kepadamu
apa yang telah kamu kerjakan.”
Dari sebagian ayat di atas, jelaslah bahwa
sumber-sumber pendidikan Islam berasal dari Allah SWT, Sang Maha Pencipta.
Al-Qur’an sebagai pedoman hidup manusia.
3.
Aksiologi Pendidikan
Islam
Aksiologi Pendidikan Islam berkaitan
dengan nilai-nilai, tujuan, dan target yang akan dicapai dalam
pendidikan Islam. Nilai-nilai tersebut harus dimuat dalam kurikulum
pendidikan Islam, diantaranya:
1)
Mengandung petunjuk Akhlak
2)
Mengandung upaya meningkatkan kesejahteraan
hidup manusia dibumi dan kebahagiaan di akherat.
3)
Mengandung usaha keras untuk meraih
kehidupan yang baik.
4)
Mengandung nilai yang dapat memadukan
antara kepentingan kehidupan dunia dan akhirat.
Menurut Abuddin Nata tujuan pendidikan Islam, untuk
mewujudkan manusia yang shaleh, taat beribadah dan gemar beramal untuk tujuan
akherat.[9]
Muhammad Athiyah al-Abrasy mengatakan “the
fist and highest goal of Islamic is moral refinment and spiritual, training”
(tujuan pertama dan tertinggi dari pendidikan Islam adalah kehalusan budi
pekerti dan pendidikan jiwa)”[10]
Menurut Abdul Fatah Jalal, tujuan umum pendidikan
Islam ialah terwujudnya manusia sebagai hamba Allah. Jadi menurut Islam,
pendidikan haruslah menjadikan seluruh manusia yang menghambakan kepada Allah.
Yang dimaksud menghambakan diri ialah beribadah kepada Allah.
Dari beberapa pendapat di atas, dapat kami
simpulkan tujuan utama pendidikan Islam adalah untuk mendapatkan Ridha
Allah SWT. Dengan pendidikan Islam, diharapkan lahir
individu-indidivu yang baik, bermoral, berkualitas, sehingga
bermanfaat bagi diri, keluaga, masyarakat, negara dan ummat manusia
secara keseluruhan. Meraih kebahagiaan dunia dan akherat.
BAB IV
HAKIKAT ALAM SEMESTA
1.
Alam Semesta dalam
perspektif Falsafah Pendidikan Islam
Alam dalam pandangan Filsafat Pendidikan Islam dapat dijelaskan
sebagai berikut. Kata alam berasal dari bahasa Arab ’alam (عالم ) yang seakar dengan ’ilmu (علم,
pengetahuan) dan alamat (مة علا, pertanda).
Ketiga istilah tersebut mempunyai korelasi makna. Alam sebagai ciptaan Tuhan
merupakan identitas yang penuh hikmah. Dengan memahami alam, seseorang akan
memperoleh pengetahuan. Dengan pengetahuan itu, orang akan mengetahui
tanda-tanda atau alamat akan adanya Tuhan.[1] Dalam bahasa Yunani, alam disebut
dengan istilah cosmos yang berarti serasi, harmonis. Karena alam itu diciptakan
dalam keadaan teratur dan tidak kacau. Alam atau cosmos disebut sebagai salah
satu bukti keberadaaan Tuhan, yang tertuang dalam keterangan Al-qur`an sebagai
sumber pokok dan menjadi sumber pelajaran dan ajaran bagi manusia.[2]
Dari satu sisi alam semesta dapat didefenisikan
sebagai kumpulan jauhar yang tersusun dari maddah (materi) dan shurah (bentuk),
yang dapat diklasifikasikan ke dalam wujud konkrit (syahadah) dan wujud Abstrak
(ghaib). Kemudian, dari sisi lain, alam semesta bisa juga dibagi ke dalam
beberapa jenis seperti benda-benda padat (jamadat), tumbuh-tumbuhan (nabatat),
hewan (hayyawanat), dan manusia.[5]
Menurut Shihab sebagaimana yang dikutip oleh
Al-rasyidin dalam bukunya falsafah pendidikan Islam Kata `alam terambil dari
akar kata yang sama dengan `ilm dan `alamah, yaitu sesuatu yang menjelaskan
sesuatu selainnya. Oleh karena itu dalam konteks ini, alam semesta adalah
alamat, alat atau sarana yang sangat jelas untuk mengetahui wujud tuhan,
pencipta yang Maha Esa, Maha Kuasa, dan Maha Mengetahui. Dari sisi ini dapat
dipahami bahwa keberadaaan alam semesta merupakan tanda-tanda yang menjadi alat
atau sarana bagi manusia untuk mengetahui wujud dan membuktikan keberadaan
serta kemahakuasaan Allah Swt.[7]
Di dalam Al Qur'an pengertian alam semesta dalam arti
jagat raya dapat dipahami dengan istilah "assamaawaat wa al-ardh wa maa
baynahumaa"[8]. Istilah ini ditemui didalam beberapa surat Al Qur'an
yaitu: Dalam surat maryam ayat 64 dan 65
Dan tidaklah kami (Jibril) turun, kecuali dengan
perintah Tuhanmu. kepunyaan-Nya-lah apa-apa yang ada di hadapan kita, apa-apa
yang ada di belakang kita dan apa-apa yang ada di antara keduanya, dan tidaklah
Tuhanmu lupa (64). Tuhan (yang menguasai) langit dan bumi dan apa-apa yang ada
di antara keduanya, Maka sembahlah dia dan berteguh hatilah dalam beribadat
kepada-Nya. apakah kamu mengetahui ada seorang yang sama dengan dia (yang patut
disembah)?(65)
Dalam surat ar-rum ayat 22
Dan di antara tanda-tanda kekuasaan-Nya ialah
menciptakan langit dan bumi dan berlain-lainan bahasamu dan warna kulitmu.
Sesungguhnya pada yang demikan itu benar-benar terdapat tanda-tanda bagi
orang-orang yang Mengetahui.
Dalam surat al-anbiya ayat 16
Dan tidaklah kami ciptakan Iangit dan bumi dan segala
yang ada di antara keduanya dengan bermain-main.
Dapat ditarik kesimpulan bahwa alam semesta bermakna sesuatu selain Allah Swt, maka apa-apa yang terdapat di dalamnya baik dalam bentuk konkrit (nyata) maupun dalam bentuk abstrak (ghaib) merupakan bahagian dari alam semesta yang berkaitan satu dengan lainnya.
Dapat ditarik kesimpulan bahwa alam semesta bermakna sesuatu selain Allah Swt, maka apa-apa yang terdapat di dalamnya baik dalam bentuk konkrit (nyata) maupun dalam bentuk abstrak (ghaib) merupakan bahagian dari alam semesta yang berkaitan satu dengan lainnya.
2.
Proses penciptaan alam
semesta
Mengenai proses penciptaan alam semesta,
Al-Qur'an telah menyebutkan secara gamblang mengenai hal tersebut, dan dapat
dipahami bahwa proses penciptaan alam semesta menurut al-Qur`an adalah secara
bertahap. Hal ini dapat diketahui melalui firman Allah Swt dalam Surat Al
Anbiya ayat 30:
"Dan apakah orang-orang yang kafir
tidak mengetahui bahwasanya langit dan bumi itu keduanya dahulu adalah sesuatu
yang padu, kemudian Kami pisahkan antara keduanya. Dan daripada air Kami
jadikan segala sesuatu yang hidup. Maka mengapakah mereka tiada juga yang
beriman?"
Apabila dikaitkan dengan sejumlah teori
seputar terjadinya kosmos menurut sains modern, maka konsep penciptaan semesta
yang tertera dalam Al-Qur'an tidak dapat disangkal lagi kebenarannya.
Adanya kumpulan kabut gas dan terjadinya
pemisahan-pemisahan kabut gas tersebut atau dikenal dengan proses evolusi
terbentuknya alam semesta, sudah dipaparkan secara jelas oleh Al-Qur'an jauh
sebelum sains modern mengemukakannya[10]. Berkenaan Ayat tentang asal mula alam
semesta dari kabut/nebula terdapat dalam surat fushilat ayat 9 sampai 12
yaitu:
Katakanlah: "Sesungguhnya patutkah
kamu kafir kepada yang menciptakan bumi dalam dua masa dan kamu adakan
sekutu-sekutu bagiNya? (yang bersifat) demikian itu adalah Rabb semesta alam".(9)
Dan dia menciptakan di bumi itu gunung-gunung yang kokoh di atasnya. dia
memberkahinya dan dia menentukan padanya kadar makanan-makanan (penghuni)nya
dalam empat masa. (Penjelasan itu sebagai jawaban) bagi orang-orang yang
bertanya.(10) Kemudian dia menuju kepada penciptaan langit dan langit itu masih
merupakan asap, lalu dia Berkata kepadanya dan kepada bumi: "Datanglah
kamu keduanya menurut perintah-Ku dengan suka hati atau terpaksa".
keduanya menjawab: "Kami datang dengan suka hati".(11) Maka dia menjadikannya
tujuh langit dalam dua masa. dia mewahyukan pada tiap-tiap langit urusannya.
dan kami hiasi langit yang dekat dengan bintang-bintang yang cemerlang dan kami
memeliharanya dengan sebaik-baiknya. Demikianlah ketentuan yang Maha Perkasa
lagi Maha Mengetahui.(12)
Dapat ditarik kesimpulan melalui ayat-ayat
diatas, yaitu: Disebutkan bahwa antara langit dan bumi (kosmos) semula
merupakan satu kesatuan lalu mengalami proses pemisahan. Disebutkan adanya
kabut gas (dukhan) sebagai materi penciptaan kosmos. Disebutkan pula bahwa
penciptaan kosmos (alam semesta) tidak terjadi sekaligus, tetapi secara
bertahap.
Al-Rasyidin mengungkapkan bahwa Allah Swt
menciptakan alam semesta ini tidak sekaligus atau sekali jadi, akan tetapi
melalui beberapa tahapan, masa atau proses. Dalam sejumlah surah, al-Qur`an
selalu menggunakan istilah fi sittah ayyam, yang dapat diterjemahkan dalam arti
enam hari, enam masa atau enam periode.[11] Adapun ayat yang menceritakan
tentang penciptaan alam dalam enam masa terdapat pada surat yunus ayat 3 dan
surat Al-Araf ayat 54 adalah:
Sesungguhnya Tuhan kamu
ialah Allah yang menciptakan langit dan bumi dalam enam masa, Kemudian dia
bersemayam di atas 'Arsy untuk mengatur segala urusan. tiada seorangpun yang
akan memberi syafa'at kecuali sesudah ada izin-Nya. (Dzat) yang demikian Itulah
Allah , Tuhan kamu, Maka sembahlah Dia. Maka apakah kamu tidak mengambil
pelajaran?
Sesungguhnya Tuhan kamu
ialah Allah yang Telah menciptakan langit dan bumi dalam enam masa, lalu dia
bersemayam di atas 'Arsy. dia menutupkan malam kepada siang yang mengikutinya
dengan cepat, dan (diciptakan-Nya pula) matahari, bulan dan bintang-bintang
(masing-masing) tunduk kepada perintah-Nya. Ingatlah, menciptakan dan
memerintah hanyalah hak Allah . Maha Suci Allah , Tuhan semesta alam.
Dalam surat An-Naaziat ayat 27-33
menerangkan proses penciptaan bumi dan alam semesta.
Apakah kamu lebih sulit
penciptaanya ataukah langit? Allah Telah membinanya(27), Dia meninggikan
bangunannya lalu menyempurnakannya (28), Dan dia menjadikan malamnya gelap
gulita, dan menjadikan siangnya terang benderang (29), Dan bumi sesudah itu
dihamparkan-Nya (30), Ia memancarkan daripadanya mata airnya, dan (menumbuhkan)
tumbuh-tumbuhannya (31), Dan gunung-gunung dipancangkan-Nya dengan teguh (32),
(semua itu) untuk kesenanganmu dan untuk binatang-binatang ternakmu (33).
Proses penciptaan alam semesta diungkapkan
dengan menggunakan istilah yang beragam seperti Khalaqa, sawwa, Fatara,
Sakhara, Ja`ala, dan Bada`a. semua sebutan untuk penciptaan ini mengandung
makna mengadakan, membuat, mencipta, atau menjadikan, dengan tidak meniscayakan
waktu dan tempat penciptaan. Dengan kata lain, bahwa penciptaan alam semesta
tidak mesti harus di dahului oleh ruang dan waktu.[12]
Dalam diskursus keagamaan dan kefilsafatan,
hakikat penciptaan telah terjadi perdebatan panjang yang bermuara pada adanya
perbedaan interpretasi etimologis terhadap terma-terma yang digunakan oleh
AlQur`an. Para teolog muslim berpendapat bahwa ala mini diciptakan dari
ketiadaaan (al-khalq min `adam) atau creation ex nihillo. Bagi mereka, karena
Allah maha kuasa, maka dalam menciptakan sesuatu dari ketiadaaan bukanlah suatu
kemustahilan.[13] Di pihak lain, dengan berdasarkan logika dan ilmu serta
dengan pengamatan terhadap fenomena alam secara alamiah, para filosof
berpendapat bahwa penciptaan terjadi atas dasar pengubahan bahan dari bentuk
yang satu ke bentuk yang lain.[14]
Terlepas dari perdebatan panjang mengenai
penciptaan alam semesta ini, maka Al-Qur`an telah menerangkan bahwa alam diciptakan
oleh Allah Swt melalui tahapan dan proses, dan tidak terjadi sekaligus. Dalam
hal ini pemakalah mengambil kesimpulan bahwa:
a.
Alam semesta diciptakan oleh Allah secara
bertahap dan berproses
b.
Asal mula penciptaan alam semesta berasal
dari asap
c.
Penciptaan alam semesta terbentuk melalui
enam masa atau enam hari atau enam periode
Dari keterangan di atas pemakalah mengindikasikan
bahwa keterkaitan tentang proses penciptaan alam semesta bagi manusia dalam
pendidikan, adalah manusia yang sudah mempunyai potensi dari Allah Swt dalam
mengembangkan potensi tersebut tidak dapat dilakukan secara spontan, namun
harus dilakukan dengan proses dan tahapan panjang melalui alam ini, sebagai
sarana dan fasilitas yang menghantarkan manusia untuk memperoleh ilmu pengetahuan
yang seluas-luasnya.
3.
Tujuan dan Fungsi
Penciptaan Alam Semesta
Dalam perspektif Islam, tujuan penciptaan
alam semesta pada dasarnya adalah sarana untuk menghantarkan manusia pada
pengetahuan dan pembuktian tentang keberadaan dan kemahakuasaan Allah Swt.[15]
Keberadaaan alam semesta merupakan petunjuk yang jelas tentang keberadaaan
Allah Swt. Oleh karena itu dalam mempelajari alam semesta, manusia akan sampai
pada pengetahuan bahwa Allah Swt adalah Zat yang menciptakan alam semesta.
Alam semesta merupakan ladang ilmu bagi
manusia yang darinya dapat diperoleh berbagai manfaat dalam memenuhi segala
kebutuhan manusia yang pada akhirnya manusia itu akan dituntut untuk dapat
mensyukuri atas apa-apa yang mereka peroleh dan mereka nikmati dari pemberian Allah
swt. Hal ini terlihat dari firman Allah swt dalam surat an-nahl:14 yaitu:
Dan Dia-lah, Allah yang
menundukkan lautan (untukmu), agar kamu dapat memakan daripadanya daging yang
segar (ikan), dan kamu mengeluarkan dari lautan itu perhiasan yang kamu pakai;
dan kamu melihat bahtera berlayar padanya, dan supaya kamu mencari (keuntungan)
dari karunia-Nya, dan supaya kamu bersyukur.
Keterkaitan alam terhadap pendidikan Islam
adalah alam semesta tercipta sebagai sesuatu yang khusus bagi manusia untuk
mengemban amanah dari Allah Swt sebagai khalifah yang akan memimpin,
memelihara, menjaga serta menjadikan alam ini sebagai sarana dalam berkehidupan
dengan meraih berbagai wawasan ilmu pengetahuan. Dengan memamfaatkan
sebaik-baiknya apa saja yang terkandung dari penciptaan alam ini. Dari itulah
manusia akan tahu apa hakikat tujuan diciptakannya alam semesta bagi mereka
yang pada intinya akan menghantarkan manusia menjadi hamba yang beriman dan
bertaqwa kepada Allah Swt.
4.
Implikasi penciptaan
alam semesta terhadap pendidikan islam
Alam semesta adalah media pendidikan
sekaligus sebagai sarana yang digunakan oleh manusia untuk melangsungkan proses
pendidikan. Didalam alam semesta ini manusia tidak dapat hidup dan “mandiri”
dengan sesungguhnya. Karena antara manusia dan alam semesta saling membutuhkan
dan saling melengkapi antara satu dengan yang lainnya. Dimana alam semesta ini
butuh manusia untuk merawat dan memeliharanya sedangkan manusia butuh alam
semesta sebagai sarana berinteraksi dengan manusia lainnya.[25]
Omar[26] berpendapat bahwa makhluk, benda
dan apa yang ada di sekelilignya adalah bahagian alam luas dan insan itu
sendiri dianggap sebagai sebahagian dari alam ini. Sebab itu proses pendidikan
manusia dan peningkatan mutu akhlaknya bukan sekedar nyata terbentuk dari alam
yang bersifat sosial, akan tetapi dapat juga terbentuk melalui alam alamiah
yang bersifat material.
Dari keterangan di atas mengindikasikan
bahwa alam juga dapat memberikan pengaruh besar bagi setiap individu atau
kelompok manusia yang berbeda-beda melalui tempat tinggal, daerah atau iklim.
Sehingga secara tidak langsung akan membentuk sebuah watak dan sifat yang
berbeda-beda.
Meskipun alam diciptakan dan ditundukan
Allah Swt untuk manusia, bukan berarti manusia dapat mengetahui dan memahami
apa-apa yang terdapat dari padanya, karena sampai sekarang pun fenomena alam
dengan segala kerahasiaan Allah Swt dalam menciptakannya masih menjadi misteri
yang belum terpecahkan secara tuntas. Oleh dasar inilah Al-Quran mengajurkan
kepada manusia untuk terus menggali khazanah yang terdapat dari penciptaan alam
semesta ini. Anjuran dan kemungkinan untuk mempelajari alam semesta tertuang di
berbagai ayat-ayat al-quran yang di antaranya:
Surat Yunus ayat 101
Katakanlah:
"Perhatikanlah apa yaag ada di langit dan di bumi. tidaklah bermanfaat
tanda kekuasaan Allah dan rasul-rasul yang memberi peringatan bagi orang-orang
yang tidak beriman".
Dalam perspektif Islam, manusia harus
merealisasikan tujuan kemanusiaanya di alam semesta, baik sebagai Syahid Allah
, `abd Allah maupun Khalifah Allah . Dalam konteks ini menurut Al-Rasyidin
bahwa Allah Swt menjadikan alam semesta sebagai wahana bagi manusia untuk bersyahadah
akan keberadaaan dan kemahakuasaan-Nya. Wujud nyata yang menandai syahadah itu
adalah penuaian sebagai makhluk `ibadah dan pelaksanaan tugas-tugas sebagai
khalifah. Beliau juga menjelaskan bahwa alam semesta merupakan institusi
pendidikan, yakni tempat di mana manusia dididik, dibina, dilatih, dan
dibimbing agar berkemampuan merealisasikan atau mewujudkan fungsi dan tugasnya
sebagai `abd Allah dan khalifah dalam menerapkan amal ibadah dan amal shalih
kepada Allah Swt. Melalui proses pendidikan di alam semesta inilah, kelak Allah
Swt akan menilai siapa diantara hamban-Nya yang mampu meraih markah atau
prestasi terbaik.[29]
Wilayah studi objek pendidikan islam tidak
saja berkaitan dengan hal-hal yang dapat diamati oleh indera manusia (
fenomena) saja, tetapi mencakup segala sesuatu yang tidak dapat diamati oleh
indera manusia (noumena). Yang berhubungan dengan hal-hal yang konkrit, maka
keberadaaan alam syahadah sebagai objek kajian pendidikan islam menghendaki
aktivitas pengamatan inderawi, penalaran rasional, dan eksperimentasi ilmiah.
Sementara itu, yang berkaitan dengan hal-hal yang ghaib, untuk dapat memahami
dan mengetahuinya dibutuhkan aktivitas supra inderawi dan supra rasional.
Karenaya dalam pendidikan islam , ilmu-ilmu pengetahuan yang akan ditransformasikan
ke dalam diri peserta didik tidak hanya terbatas pada pengetahuan inderawi dan
rasional, tetapi juga mengenai ilmu-ilmu laduny, isyraqi, ilumunasi, dan
kewahyuan[30].
Proses pendidikan menghantarkan manusia
untuk dapat memahami dengan benar tentang keberadaaan alam semesta bersamaan
dengan apa yang terkandung di dalamnya, bagaimana manusia mampu menggunakan
alam sebagai institusi dan objek dalam mengembangkan potensi yang sudah ada.
BAB IV
A. Hakikat Hereditas, Lingkungan, dan Kebebasan Manusia
1.
Hakikat Hereditas
Menurut Morris L. Bigge (1982) bahwa sifat
dasar/bawaan dasar moral adalah baik, jelek, atau netral sedangkan
hubungan manusia dengan lingkungannya bersifat aktif, pasif, dan
interaktif. Dari konsep ini berlanjut dengan lahirnya hukum empirisme,
nativisme, dan konvergensi. [1]
a.
Teori (hukum) Empirisme
Teori empirisme ini mengatakan bahwa perkembangan dan
pembentukan manusia itu ditentukan oleh faktor-faktor lingkungan, termasuk pendidikan. Sebagai
pelopor empirisme ialah John Locke (1632-1704) yang dikenal dengan teori
“tabularasa” atau empirisme. Menurut teori tabularasa, bahwa tiap individu
lahir sebagai kertas putih, dan lingkungan itulah yang memberi corak
atau tulisan dalam kertas putih tersebut. Bagi John Locke pengalaman yang
berasal dari lingkungan itulah yang menentukan pribadi seesorang.
b.
Teori (hukum) Nativisme
Teori ini dipelopori oleh Athur Schopenhauer
(1788-1860) mengatakan bahwa perkembangan pribadi hanya ditentukan oleh bawaan
(kemampuan dasar), bakat serta faktor-faktor endogen yang bersifat kodrati.
c.
Teori (hukum)
Konvergensi
Teori konvergensi yang dipelopori oleh William Stern
(1871-1938) ini, mengatakan bahwa perkembangan manusia itu berlangsung atas
peengaruh dari faktor-faktor bakat/kemampuan dasar (endogen/bawaan) dan
faktor alam sekitar (eksogen/ajar) termasuk pendidikan dan sosial
budaya. Karena dalam kenyataan bahwa kemampuan dasar yang baik saja, tanpa
dibina oleh alam lingkungan terutama lingkungan sosial termasuk peendidikan
tidak akan dapat mencontek pribadi yang ideal. Sebaliknya, lingkungan yang baik
terutama pendidikan, tetapi tidak didukung oleh kemampuan dasar tadi, tidak
akan menghasilkan kepribadian yang ideal. Oleh karena itu, perkembangan
pribadi sesungguhnya adalah hasil persenyawaan antara faktor endogen dan
eksogen.[2]
Hereditas merupakan kecenderungan alami cabang-cabang
untuk meniru sumber mulanya dalam komposisi fisik dan psikologi. Ahli hereditas
lainnya menggambarkan sebagai penyalinan cabang-cabang dari sumbernya (Baqir
sharif al-qarashi, 2003). Paling tidak ada tiga teori tentang hereditas yakni
hereditas partiality, coalition, dan association. Hereditas
dengan (1). Pernikahan (partiality) yakni anak yang lahir mewarisi salah satu
dari dua sumber aslinya secara keseluruhan atau sebagian besar sifat-sifatnya.
(2). Cara penyatuan (coalition) yakni sifat anak tidak menyalin
cabang-cabang dari sumber aslinya. Anaknya tidak menanggung sifat-sifat fisik
yang sama dengan kedua orangtua mereka dan mungkin anak menyalin sifat dari
pihak ibu maupun kakeknya. Baik dari pihak ibu maupun ayahnya. (3). cara
penggabungan (association) yakni anak menyalin salah satu sifat tertentu dari
sumber aslinya, seperti dari ayah dan menyalin sifat lain dari sang ibu.[3]
Prinsip-prinsip hereditas seperti ditulis oleh Ki RBS.
Fudyartanto (2002) ada empat, yakni prinsip reproduksi, prinsip konformitas,
prinsip variasi, dan prinsip filial.
1.
Prinsip Reproduksi
Hereditas
yang diturunkan kepada anak oleh orangtuanya menurut prisip ini adalah berbeda
satu dengan yang lain. Bakat yang diperoleh anak berasal dari belajar bukan
dari sel-sel benih yang diturunkan oleh kedua orangtuanya.
2.
Prinsip Konformitas
Berdasarkan
prinsip konformitas setiap jenis atau golongan (spesies) akan menghasilkan
jenisnya sendiri bukan jenis yang lain. Contohnya jenis manusia pasti akan
menghasilkan jenis manusia bukan yang lain.
3.
Prinsip Variasi
Prinsip
ini memberikan landasan berpikir bahwa sel-sel benih (germsel) berisi
banyak determinan yang mempunyai mekanisme percampuran atau perpaduan sehingga
menghasilkan perbedaan-perbedaan individual.
4.
Prinsip Regresi Filial
Prinsip
regresi filial adalah bahwa sifat-sifat dari orangtuanya akan menghasilkan
keturunan dengan kecenderungan pada sifat rata-rata pada umumnya.[4]
Perkembangan manusia dipengaruhi oleh hereditas dan
lingkungan tempat tinggal. Hereditas merupakan kekuatan yang terbawa atau
diturunkan dari generasi tua kepada generasi muda melalui perantaraan sel-sel
benih, bukan melalui sel-sel somatis atau sel-sel badan.[5]
Dalam sehari-hari sering dikacaukan arti kedua kata
yakni pembawaan dan keturunan. Kedua kata itu seolah sama, namun jika
dipahami lebih dalam kedua kata tersebut berbeda makna.
a.
Keturunan
Kita dapat mengatakan bahwa sifat-sifat atau ciri-ciri
yang terdapat dari seseorang anak adalah keturunan, jika sifat atau ciri
tersebut diwariskan atau diturunkan melalui sel-sel kelamin dari generasi yang
lain.
Dengan demikian kita harus berhati-hati dalam
menentukan sesuatu itu merupakan keturunan ataukah bukan. Bisa saja sifat
atau ciri-ciri tersebut merupakan pengaruh lingkungan. Besarnya
perbedaan antara dua individu atau lebih selalu bergantung pada suatu faktor,
yakni pembawaan-keturunan dan pengaruh lingkungan. Disamping itu lebih sukar
lagi apabila akan menentukan keturunan mengenai sifat-sifat kejiwaan. Sebab,
sifat-sifat kejiwaan itu lebih sulit daripada sifat-sifat kejasmanian dan lebih
mudah berubah atau terpengaruh oleh keadaan lingkungannya selama berkembang.[6]
b.
Pembawaan
Pembawaan ialah seluruh kemungkinan-kemungkinan atau
kesanggupan-kesanggupan (potensi) yang terdapat pada suatu individu dan yang
selama masa perkembangannya benar-benar dapat diwujudkan (direalisasikan).
Demikianlah kita dapat mengatakan bahwa anak atau manusia itu sejak dilahirkan
telah meempunyai kesanggupan untuk dapat berjalan, potensi untuk berkata-kata
dan lain-lain. Potensi yang bermacam-macam itu tidak begitu saja
direalisasikan, namun perlu pelatihan-pelatihan khusus. Juga tiap-tiap potensi
memiliki kematangan masing-masing. Kesanggupan seorang anak untuk berjalan dan
bercakap-cakap yang telah ada dalam pembawaannya akan berkembang, dan karena
lingkungan serta kematangannya pada suatu saat tertentu anak dapat
berjalan dan berkata-kata. Pendeknya dapat kita simpulkan bahwa pembawaan ialah
semua kesanggupan-kesanggupan yang dapat diwujudkan. kesanggupan-kesanggupan
(potential ability) itu sendiri yang sebenarnya sudah ada dalam pembawaan,
tidak dapat kita amati. Hanya dengan mengamati prestasi-prestasi (actual
ability), bentuk wataknya dan tingkah laku suatu individu sajalah kita dapat
mengambil kesimpulan tentang sesuatu pembawaan tertentu dari individu.
Pembawaan atau bakat terkandung dalam sel-benih (kiem-cel), yaitu : keseluruhan
kemungkinan-kemungkinan yang ditentukan oleh keturunan, inilah yang dalam arti
terbatas kita namakan pembawaan.[9]
2. Hakikat Lingkungan
Lingkungan
dalam arti luas mencakup iklim dan geografis, tempat tinggal, adat istiadat,
dan alam. Dengan kata lain, lingkungan adalah segala sesuatu yang tampak dan
terdapat dalam alam kehidupan. Ia adalah seluruh yang ada, baik berupa manusia
maupun benda alam yang bergerak ataupun tidak bergerak.[10] Dengan demikian,
lingkungan adalah sesuatu yang melingkupi hidup dan kehidupan manusia.
Lingkungan merupakan salah satu faktor pendidikan yang
ikut serta menentukan corak pendidikan, termasuk pendidikan Islam, yang tidak
sedikit pengaruhnya terhadap anak didik. Lingkungan yang dimaksud di sini
adalah lingkungan yang berupa keadaan sekitar yang memengaruhi anak didik.[11]
Adapun lingkungan pendidikan secara sederhana berarti
lingkungan tempat terjadinya pendidikan. M. Arifin menyebut lingkungan
pendidikan dengan istilah lembaga pendidikan. Menurutnya, salah satu faktor
yang memungkinkan terjadinya proses pendidikan Islam secara konsisten dan
berkesinambungan adalah Institusi atau lembaga pendidikan Islam.[12] Dari sini Abudin
Nata memahami lingkungan pendidikan Islam sebagai suatu Institusi atau lembaga
tempat pendidikan itu berlangsung. Di dalamnya terdapat ciri-ciri keislaman
yang memungkinkan terselenggaranya pendidikan Islam dengan baik. Lingkungan
pendidikan berfungsi sebagai penunjang terjadinya proses kegiatan belajar
mengajar secara aman, tertib, dan berkelanjutan.[13]
1. Keluarga
2. Sekolah
3. Masyarakat
Dari beberapa prinsip Filsafat Pendidikan Islam
tentang alam telah disebutkan bahwa alam semesta merupakan penentu keberhasilan
proses pendidikan. Adanya interaksi antara peserta didik dengan benda atau
lingkungan alam sekitar tempat mereka hidup merupakan prinsip Filsafat
Pendidikan Islam yang perlu diperhatikan. Prinsip ini menekankan bahwa proses
pendidikan manusia dan peningkatan mutu akhlaknya bukan sekedar terjadi dalam
lingkungan sosial semata, melainkan juga dalam lingkungan alam yang bersifat
material. Jadi, alam semesta merupakan tempat dan wahana yang memungkinkan
proses pendidikan berhasil. Semboyan “kembali ke alam” merupakan salah satu
filsafat pendidikan yang menghendaki alam sebagai lingkungan pendidikan.[26]
1. Hakikat
Kebebasan Manusia
Pada umumnya, kata
“kebebasan” berarti ketiadaan paksaan. Ada bermacam-macam paksaan dan
kebebasan. Kebebasan fisik adalah ketiadaan paksaan fisik. Kebebasan moral
adalah ketiadaan paksaan moral hukum atau kewajiban. Misalnya, di Inggris orang
bebas secara moral untuk mengkritik pemerintah. Tidak ada paksaan, hukum atau
keharusan apa pun yang melarang hal itu.
Kebebasan
psikologi adalah ketiadaan paksaan psikologis. Suatu paksaan psikologis berupa
kecendurangan-kecenderungan yang memaksa seseorang untuk melakukan
perbuatan-perbuatan tertentu atau sebaliknya tidak mungkin melakukan beberapa
tindakan tertentu. Demikianlah, seekor binatang yang lapar dipaksa oleh
kelaparannya untuk memakan makanan yang diberikan kepadanya, kelinci dipaksa
oleh ketakutannya untuk melarikan diri. Binatang binatang tidak dipaksa untuk
melakukan hal itu oleh suatu ketakutan luar atau suatu keharusan moril. Mereka
dipaksa berbuat demikian oleh pengaruh yang menekan dari
kecenderungan-kecenderungan mereka. Secara psikologis, mereka tidak bebas.
Sebaliknya, manusia yang lapar dapat menahan diri untuk tidak makan, dan
seorang prajurit yang ditakutkan oleh bom-bom mempunyai kesanggupan untuk tetap
berada diposnya. Manusia secara psikologis bebas.
Kebebasan
psikologis disebut juga kebebasan untuk memilih, karena kebebasan itulah yang
memungkinkan subyek memilih antara berbagai tindakan yang mungkin. Orang
menyebutnya juga sebagai kualitas kehendak, yang dapat berbuat atau tidak
berbuat, atau berbuat dengan cara begini atau begitu.
Alasan-alasan yang membenarkan adanya kebebasan
1. Argumen
persetujuan umum
Sebagian besar manusia percaya bahwa mereka
diperlengkapi dengan kehendak bebas. Dan keyakinan itu sangat penting bagi
keseluruhan hidup manusia maka dari itu, seandainya ada keteraturan dalam
dunia, pandangan sebagian besar umat manusia itu tidak mungkin keliru. Jadi
orang dapat menyimpulkan bahwa kehendak manusia adalah bebas. Tetapi orang
dapat mengajukan keberatan bahwa dalam hal ilmu pengetahuan dan filsafat
hendaknya orang lebih baik mengikuti pendapat mereka yang telah mempelajari
persoalannya, walaupun mereka merupakan minoritas, daripada secara membuta
menyetujui pendapat mayoritas yang kurang kompetensi.
2. Argumen
psikologis
Kita baru saja menggarisbawahi bahwa sebagian besar
manusia secara spontan mengakui kebebasan. Dari manakah datangnya keyakinan
semacam itu? Itu adalah hasil dari pengalaman. Tiap hari kita mengalami bahwa
kita bebas, paling tidak sampai batas tertentu. Secara langsung atau tidak
langsung kita menyadari hal itu. Pertama secara langsung persis dalam tindakan
untuk memutuskan sesuatu. Lalu secara tidak langsung berdasarkan berbagai
keadaan yang mengiringi tingkah laku kita dan yang tak bisa dimengerti tanpa
adanya kebebasan.
3. Argumen etis
Seandainya tidak ada kebebasan, tidak akan ada juga
tanggung jawab moral, kebajikan, jasa, keharusan moral, kewajiban. Hubungan
yang kuat antara kebebasan dengan realitas-realitas spiritual itu jelas, dan
salah satu tugas dari etika adalah memperlihatkannya. Alasan itu sangat kuat,
karena rasa kewajiban moral adalah sangat wajar pada manusia. Kahn, yang
mengatakan bahwa kebebasan itu tidak dapat dibuktikan oleh akal teoritis, namun
mengakui bahwa manusia itu bebas, berdasarkan keyakinannya atas rasa kewajiban
yang dianggapnya sebagai suatu hal yang eviden dari pihak akal prektek.[27]
B. Hubungan
Hereditas, Lingkungan, dan Kebebasan Manusia dalam Pendidikan Islam.
Manusia sebagai hamba Allah SWT sekaligus khalifah di
bumi, dianugerahi Allah SWT berupa kelengkapan jasmaniah (fisiologis) dan
rahaniah (mental psikologis) yang dapat ditumbuhkembangkan dengan optimal,
sehingga dapat melaksanakan tugasnya dengan baik dan maksimal. Untuk
menumbuh kembangkan kemampuan dasar manusia baik jasmani maupun rohani,
pendidikan merupakan sarana dalam menentukan sampai mana titik optimal
kemampuan-kemampuan tersebut dapat dicapai.[31]
Lingkungan atau alam sekitar punya peranan penting
dalam pendidikan Islam. Lingkungan adalah elemen yang signifikan dalam
membentuk personalitas serta pencapaian keinginan-keinginan individu dalam
kerangka umum peradaban. Individu-individu di masyarakat mengikuti kebiasaan
yang ada disekitarnya sadar atau tidak sadar. Lingkungan yang dimaksud disini
mencakup segala materiil dan stimuli didalam dan diluar individu yang meliputi
sifat-sifat sebagai berikut:[32]
a. Fisiologis
Secara fisiologis lingkungan meliputi segala kondisi
dan materi jasmani di dalam tubuh seperti gizi, vitamin, air, zat asam, suhu,
sistem saraf, peredaran darah, pernafasan, pencernaan makanan, kelenjar
indoktrin sel-sel pertubuhan dan kesehatan jasmani.
b. Psikologis
Secara psikologis lingkungan mencakup segala stimulasi
yang diterima oleh individu mulai sejak dikandungan, kehidupannya dan kematiannya.
c. Sosio
kultural
Secara sosio-kultural berarti lingkungan mencakup
segala stimulasi interaksi dan kondisi eksternal dalam hubungannya dengan
perlakuan atau karya orang lain, pola hidup keluarga, pendidikan, tradisi, dan
ilmu-ilmu sosial.
Pendapat lain mengatakan bahwa yang dimaksud dengan
lingkungan fisik adalah lingkungan alam, seperti keadaan geografis, iklim,
kondisi ekologi dan lain sebagainya. Sedangkan lingkungan sosial adalah
lingkungan yang berupa manusia manusia yang ada disekitar individu, yang
berinteraksi dengan mereka, seperti orangtuanya, saudara-saudaranya,
tetangganya dan lain-lain.[33]
BAB V
A.
Pengertian
Paradigma Pendidikan Islam
Paradigma adalah kumpulan tata nilai yang
membentuk pola pikir seseorang sebagai titik tolak pandangannya sehingga akan
membentuk citra subyektif seseorang—mengenai realita—dan akhirnya akan
menentukan bagaimana seseorang menanggapi realita itu. Paradigma merupakan
istilah yang dipopulerkan Thomas Khun dalam karyanya The Structure of
Scientific Revolution (Chicago: The Univesity of Chicago Prerss, 1970).
Paradigma di sini diartikan Khun sebagai kerangka referensi atau pandangan
dunia yang menjadi dasar keyakinan atau pijakan suatu teori.
Menurut Muhammad Iqbal, pendidikan bukan hanya
proses belajar mengajar belaka untuk mentransformasikan pengetahuan dan
berlangsung secara sederhana dan mekanistik. Melainkan, pendidikan adalah
keseluruhan yang mempengaruhi kehidupan perseorangan maupun kelompok
masyarakat, yang seharusnya menjamin kelangsungan kehidupan budaya dan
kehidupan bersama memantapkan pembinaan secara intelegen dan kreatif. Proses
pendidikan ini mencakup pembinaan diri secara integral untuk mengantarkan
manusia pada kesempurnaan kemanusiannya tanpa mesti terbatasi oleh sistem
transformasi pengetahuan secara formal dalam lingkungan akademis. Pada
akhirnya, pendidikan dalam arti luas mencakup penyelesaian masalah-masalah
manusia secara umum dan mengantarkan manusia tersebut pada tujuan hidupnya yang
mulia.
Menurut Freire, pendidikan ialah tindakan cinta
kasih dan keberanian. Pendidikan tidak boleh membuat orang yang
akan menganalisis realitas menjadi takut.
Kualitas yang dihasilkan dari output pendidikan
sangat ditentukan oleh proses yang terjadi dalam interaksi pendidikan.
Keseluruhan proses dan metode dalam pendidikan didasarkan pada tujuan yang
ingin dicapai dari pendidikan tersebut. Sedangkan tujuan pendidikan ditentukan
berdasarkan pilihan paradigma yang dijadikan dasar dalam pendidikan.
B.
Macam-macam
Paradigma
Henry Giroux dan Arronnawitz membagi paradigma
pendidikan ke dalam tiga aliran utama, yaitu :
1.
Paradigma konservatif
Yaitu paradigma pendidikan yang lebih
berorientasi pada pelestarian dan penerusan pola-pola kemapanan sosial serta
tradisi. Paradigma pendidikan konservatif sangat mengidealkan masa silam (past
oriented) sebagai patron ideal dalam pendidikan. Paradigma konservatif
melahirkan jenis kesadaran sebagaimana yang disebutkan oleh Paulo Freire,
sebagai kesadaran magis. Yaitu jenis kesadaran yang tak mampu mengkaitkan
antara satu faktor dengan faktor lainnya sebagai hal yang berkaitan. Kesadaran
magis lebih melihat faktor diluar kesadaran manusia sebagai penyebab dari
segala kejadian.
2. Paradigma pendidikan liberal
yaitu paradigma pendidikan yang berorientasi
mengarahkan peserta didik pada prilaku-prilaku personal yang efektif, dengan
mengejar prestasi individual. Sehingga yang terjadi adalah persaingan
individual yang akan mengarahkan peserta didik pada individualisme dan tidak
melihat pendidikan sebagai proses pengembangan diri secara kolektif. Paradigma
pendidikan liberal melahirkan bentuk kesadaran naif. Yaitu jenis kesadaran ini
menganggap aspek manusia secara individulah yang menjadi penyebab dari akar
permasalahan.
3. Paradigma pendidikan kritis
Yaitu paradigma pendidikan yang menganut bahwa
pendidikan adalah diorientasikan pada refleksi kritis terhadap sistem dan
struktur sosial yang menyebabkan terjadinya berbagai ketimpangan. Paradigma
pendidikan kritis mengarahkan peserta didik pada kesadaran kritis, yaitu jenis
kesadaran yang melihat realitas sebagai satu kesatuan yang kompleks dan saling
terkait satu sama lain.
Paradigma pendidikan sangat berimplikasi terhadap pendekatan dan metodologi pendidikan dan pengajaran. Salah satu bentuk implikasi tersebut adalah perbedaan bentuk dalam pola belajar mengajar antara pola paedagogy dengan pola andragogy.
Paradigma pendidikan sangat berimplikasi terhadap pendekatan dan metodologi pendidikan dan pengajaran. Salah satu bentuk implikasi tersebut adalah perbedaan bentuk dalam pola belajar mengajar antara pola paedagogy dengan pola andragogy.
Untuk memahami pendidikan Islam tidak bisa
dilakukan hanya dengan melihat sepotong apa yang ditemukan dalam realitas
penyelenggaraan pendidikan Islam, tapi mesti melihatnya dari sistem nilai yang
menjadi landasan paradigmanya. Hasan Langgulung menyatakan sangat keliru jika
mengkaji pendidikan Islam hanya dari lembaga-lembaga pendidikan yang muncul
dalam sejarah Islam, dari kurikulum, apalagi hanya dari metode mengajar, dan
melepaskan masalah idiologi Islam. Idiologi atau paradigma pendidikan Islam
merupakan gambaran utuh tentang ketuhanan, alam semesta, dan tentang manusia yang
dikaitkan dengan semua teori pendidikan Islam sehingga semuanya merupakan satu
kesatuan yang utuh dan menyeluruh. Sehingga diperlukan suatu paya untuk
menegaskan kembali paradigma yang diperlukan untuk mengembangkan pendidikan
Islam.
Dalam pelaksanaan pendidikan sebagai proses
timbal balik antara pendidik dengan anak didik melibatkan faktor-faktor
pendidikan guna mencapai tujuan tujuan pendidikan dengan didasari nilai-nilai
tertentu. Nilai-nilai tertentu itulah kemudian disebut sebagai dasar paradigma pendidikan.
Istilah dasar paradigma pendidikan dimaksudkan sebagai landasan tempet berpijak
atau pondasi berdirinya suatu sistem pendidikan.
Dasar paradigma pendidikan Islam identik dengan
dasar Islam itu sendiri. Keduanya berasal dari sumber yang sama yaitu Al-quran
dan al-Hadis. Dari kedua sumber inilah kemudian muncul sejumlah pemikiran
mengenai masalah umat Islam yang meliputi berbagai aspek, termasuk di antaranya
masalah pendidikan Islam. (Muhaimin, Filsafat Pendidikan Islam Konsep dan
pemikirannya). Sebagai dasar pendidikan Islam Al-Quran dan Al-Hadis adalah
rujukan untuk mencari, membuat dan mengembangkan paradigma, konsep, prinsip,
teori, dan teknik pendidikan Islam.
Ahmad Tafsir (1994) menyatakan bahwa pendidikan
dalam Islam merupakan sebuah rangkaian proses pemberdayaan manusia menuju
kedewasaan, baik secara akal, mental maupun moral, untuk menjalankan fungsi
kemanusiaan yang diemban sebagai hamba Allah dan sebagai khalifah di bumi.
Karena fungsi pendidikan adalah mempersiapkan peserta didik dengan kemampuan
dan keahlian yang diperlukan agar memiliki kemampuan dan kesiapan untuk terjun
ke tengah masyarakat. Dalam lintasan sejarah peradapan Islam peran pendidikan
ini benar-benar mampu membentuk peradaban sehingga peradaban Islam menjadi
peradaban terdepan sekaligus peradaban yang mewarnai sepanjang Jazirah Arab
hingga Eropa Timur. Untuk itu adanya sebuah paradigma pendidikan yang
memberdayakan peserta didik erupakan sebuah keniscayaan. Kemajuan peradaban dan
kebudayaan Islam tidak lepas dari adanya sistem dan paradigma pendidikan yang
dilaksanakan pada masa itu.
Cikal bakal pendidikan Islam dimulai ketika
Umar bin Khatab mengirimkan petugas khusus ke berbagai wilayah Islam untuk
menjadi nara sumber bagi masyarakat Islam di wilayah tersebut. Mereka biasanya
bermukim di masjid dan mengajarkan tentang Islam kepada Umat Islam melalui
khalaqoh-khalaqoh majlis khusus untuk mempelajari agama dan mengkaji disiplin
dan persoalan lain sesuai dengan apa yang diperlukan masyarakat.
Istitusi pendidikan Islam yang modern baru
muncul pada akhir abad X M. Dengan didirikannya perguruan (universitas)
Al-Azhar di Kairo. Selain dilengkapi oleh perpustakaan dan laboratorium juga
sudah diberlakukan kurikulum pengajaran yang berisi disiplin-disiplin ilmu yang
harus diajarkan kepada peserta didik. Kurikulum yang diajarkan adalah kurikulum
yang berimbang. Makdunya selain ilmu-ilmu agama juga diajarkan ilmu-ilmu akal
sepertilogika, kedokteran, geografi, matematika dsb.
Istitusi pendidikan Islam yang ideal pada masa itu yang lainnya adalah madrasah Nizamiyah. Perguruan ini sudah menggunakan sistem sekolah. Arinya telah ditentukan waktu penerimaan siswa, tes kenaikan, ujian akhir sekolah, pengelolaan dana sendiri, kelengkapan fasilitas, perekrutan tenaga pengajar yang selektif, dan pemberian bea siswa untuk siswa berprestasi.
Istitusi pendidikan Islam yang ideal pada masa itu yang lainnya adalah madrasah Nizamiyah. Perguruan ini sudah menggunakan sistem sekolah. Arinya telah ditentukan waktu penerimaan siswa, tes kenaikan, ujian akhir sekolah, pengelolaan dana sendiri, kelengkapan fasilitas, perekrutan tenaga pengajar yang selektif, dan pemberian bea siswa untuk siswa berprestasi.
Selain adanya institusi pendidikan yang
memiliki kapabilitas yang tinggi, pada masa kejayaan Islam, kegiatan keilmuan
benar-benar mendapat perhatian serius dari pemerintah. Sehingga kebebasan
akademik benar-benar dapat dilaksanakan, kebebasan berpendapat benar-benar
dihargai, kalangan akademis selalu didorong untuk senantiasa mengembangkan ilmu
melalui forum-forum diskusi, perpustakaan selalu terbuka untuk umum, bahkan
perpustakaan istana pun terbuka untuk umum. (Ahmad Warid Khan Okt 1998). Namun
setelah kejatuhan Bagdad pada tahun 1258 M, dunia pendidikan Islam pun
mengalami kemunduran. Paradigma pendidikan Islam pun mengalami perubahan besar
dari sebuah paradigma yang progresif dengan dilandasi keinginan menegakkan agama
Allah menjadi paradigma yang sekedar mempertahankan apa yang telah ada.
Tujuan akhir pendidikan dalam Islam adalah
proses pembentukan diri anak didik agar sesuai dengan fitrah keberadaannya
(al-Attas,1984). Hal ini meniscayakan adanya kebebasan gerak bagi setiap elemen
dalam dunia pendidikan terutama peserta didik untuk mengembangkan diri dan
potensi yang dimilikinya secara maksimak. Pada kejayaan Islam, pendidikan telah
mampu menjalankan perannya sebagai wadah pemberdayaan peserta didik. Namun seiring
dengan kemunduran dunia Islam, dunia pendidikan Islam pun turut mengalami
kemundurun.
Dari gambaran kejayaan dunia pendidikan Islam
terdapat beberapa hal yang dapat digunakan untuk kembali membangkitkan dan
menempatkan dunia pendidikan Islam pada peran yang semestinya sekaligus menata
ulang paradigma pendidikan Islam dari pasif-defensif menjadi aktif-progre
intelektual senantiasa dilandasi oleh, Pertama, menempatkan kembali seluruh
aktifatas pendidikan di bawah frame work agama. Artinya, seluruh aktifitas
intelektual senantiasa dilandasi oleh nilai-nilai agama, di mana tujuan akhir
dari seluruh aktifitas adalah upaya menegakan agama dan mencari ridlo Allah.
Kedua, adanya perimbangan antara disiplin ilmu agama dan pengembangan
intelektualitas dalam kurikulum pendidikan. Salah satu faktor utama dari
marginalisasi dalam dunia pendidikan adalah kecenderungan untuk lebih
menitikberatkan pada pengembangan ilmu non-agama, bahkan menolak kajian-kajian
non-agama. Oleh karena itu, penyeimbangan antara materi agama dan non agama
dalam dunia Islam adalah sebuah keniscayaan jika ingin dunia pendidikan Islam
kembali survive di tengah masyarakat.
BAB VI
KOMPONEN DASAR PENDIDIKAN ISLAM
A.
Pengertian
Pendidikan Islam
Untuk mengetahui pendidikan lebih jelas, maka
kita uraikan terlebih dahulu pendidikan definisi secara umum.
Dalam Dictionary of Education dijelaskan bahwa pendidikan adalah:
Dalam Dictionary of Education dijelaskan bahwa pendidikan adalah:
1.
Proses di mana seseorang mengembangkan
kemampuan sikap dan bentuk-bentuk tingkah lainnya dalam masyarakat di mana dia
hidup.
2.
Suatu proses sosial di mana orang dihadapkan
pada pengaruh lingkungan yang terpilih dan terkontrol, sehingga seseorang dapat
memperoleh dan mengalami perkembangan kemampuan individual dan sosial secara
optimal.
Pengertian pendidikan menurut para ahli :
1.
Langeveled
Pendidikan adalah usaha, pengaruh dan perlindungan yang diberikan
kepada anak tertuju pada pendewasaan anak supaya cakap di dalam melaksanakan
tugas hidupnya.
2.
J.J. Rousseau
Pendidikan adalah memberi kita pembekalan uang tidak ada pada masa
anak-anak, akan tetapi dibutuhkan pada waktu dewasa.
3.
Ki Hajar Dewantara
Pendidikan adalah tuntunan di dalam hidup tumbuhnya anak-anak agar
mereka sehingga anggota masyarakat dapat mencapai keselamatan adan kebahagiaan
yang setinggi-tingginya.
4.
Dwikara
Pendidikan adalah pemanusiaan manusia/mengangkat manusia ke taraf insani.
Pendidikan adalah pemanusiaan manusia/mengangkat manusia ke taraf insani.
5.
Pengertian pendidikan menurut UU
UU Sisdiknas tahun 1989 " Pendidikan adalah usaha sadar
untuk menyiapkan peserta didik melalui kegiatan bimbingan, pengajaran, latihan
bagi peranannya di masa akan datang"
UU No. 20 tahun 2003 " Pendidikan adalah usaha sadar dan
terencana untuk mewujudkan suasana belajar dan proses pembelajaran agar peserta
didik secara aktif mengembangkan potensi dirinya untuk memiliki kekuatan
spiritual, pengendalian diri, kecerdasan, akhlak mulia, serta ketrampilan yang
diperlukan dirinya untuk masyarakat, bangsa, bangsa dan negara.
Dari definisi di atas, dapat disimpulkan bahwa
pendidikan adalah suatu upaya atau proses mempercepat perkembangan manusia
untuk kemampuan mengemban tugas dan beban hidup, sebagai kodrat manusia yang
memiliki pikiran, yakni manusia yang dapat terdidik dan mendidik.
Pengertian
Pendidikan Islam
1.
Haidar Putar Daulay
Pendidikan Islam adalah pendidikan yang bertujuan untuk membentuk
pribadi muslim seutuhnya, mengembangkan seluruh potensi manusia baik yang
berbentuk jasmani maupun rohani
2.
Marimba
Pendidikan Islam adalah adalah bimbingan jasmani-rohani berdasarkan
hukum-hukum agama Islam, menuju terbentuknya kepribadian utama menurut
ukuran-ukuran Islam.
Dari pengertian pendidikan maupun pendidikan
Islam di atas, maka dapat diambil kesimpulan bahwa pendidian Islam adalah usaha
sadar untuk mengarahkan peserta didik menjadi pribadi muslim yang kamil dan
berasaskan Islam.
Pendidikan Islam merupakan hal yang terintegrasi dan tak dapat dipisahkan dari ajaran Islam sendiri. Konsep ilmu dalam Islam-sebagai salah satu unsur pendidikan-hendaknya mengacu kepada lingkungan dan kebutuhan masyarakat . Karena itu harus bersifat applicable.
Pendidikan Islam merupakan hal yang terintegrasi dan tak dapat dipisahkan dari ajaran Islam sendiri. Konsep ilmu dalam Islam-sebagai salah satu unsur pendidikan-hendaknya mengacu kepada lingkungan dan kebutuhan masyarakat . Karena itu harus bersifat applicable.
B.
KOMPONEN
DASAR PENDIDIKAN ISLAM
Komponen merupakan bagian dari suatu sistem
yang meiliki peran dalam keseluruhan berlangsungnya suatu proses untuk mencapai
tujuan sistem. Komponen pendidikan berarti bagian-bagian dari sistem proses
pendidikan, yang menentukan berhasil dan tidaknya atau ada dan tidaknya proses
pendidikan. Bahkan dapat diaktan bahwa untuk berlangsungnya proses kerja
pendidikan diperlukan keberadaan komponen-komponen tersebut.
Komponen-komponen yang memungkinkan terjadinya proses pendidikan atau terlaksananya proses mendidik minimal terdiri dari 4 komponen.. Berikut akan diuraikan satu persatu komponen-komponen tersebut.
Komponen-komponen yang memungkinkan terjadinya proses pendidikan atau terlaksananya proses mendidik minimal terdiri dari 4 komponen.. Berikut akan diuraikan satu persatu komponen-komponen tersebut.
1.
Tujuan Pendidikan
Sebagai ilmu pengetahuan praktis, tugas
pendidikan dan atau pendidik maupun guru ialah menanamkam sistem-sistem norma
tingkah-laku perbuatan yang didasarkan kepada dasar-dasar filsafat yang
dijunjung oleh lembaga pendidikan danpendidik dalam suatu masyarakat. Adapun
tujuan pendidikan Islam itu sendiri identik dengan tujuan Islam sendiri. Tujuan
pendidikan Islam adalah memebentuk manusia yang berpribadi muslim kamil serta
berdasarkan ajaran Islam. Hal ini dapat dilihat dalam firman Allah QS. Ali
Imran ayat 102.
2.
Peserta Didik
Sehubungan dengan persoalan anak didik
disekolah Amstrong 1981 mengemukakan beberapa persoalan anak didik yang harus dipertimbangkan
dalam pendidikan. Persoalan tersebut mencakup apakah latar belakang budaya
masyarakat peserta didik ? bagaimanakah tingkat kemampuan anak didik ?
hambatan-hambatan apakah yang dirasakan oleh anak didik disekolah ? dan
bagaimanakah penguasaan bahasa anak di sekolah ?
Berdasarkan persoalan tersebut perlu diciptakan pendidikan yang memperhatikan perbedaan individual, perhatian khusus pada anak yang memiliki kelainan, dan penanaman sikap dan tangggung jawab pada anak dididk.
Berdasarkan persoalan tersebut perlu diciptakan pendidikan yang memperhatikan perbedaan individual, perhatian khusus pada anak yang memiliki kelainan, dan penanaman sikap dan tangggung jawab pada anak dididk.
3.
Pendidik
Salah satu komponen penting dalam pendidikan
adalah pendidik. Terdapat beberapa jenis pendidik dalam konsep pendidikan
sebagai gejala kebudayaan, yang tidak terbatas pada pendidikan sekolah saja..
Guru sebagai pendidik dalam lembaga sekolah, orang tua sebagai pendidik dalam
lingkungan keluarga, dan pimpinan masyarakat baik formal maupun informal
sebagai pendidik dilingkungan masyarakat.
Sehubungan dengan hal tersebut diatas Syaifullah (1982) mendasarkan pada konsep pendidikan sebagai gejala kebudayaan, yang termasuk kategori pendidik adalah :
Sehubungan dengan hal tersebut diatas Syaifullah (1982) mendasarkan pada konsep pendidikan sebagai gejala kebudayaan, yang termasuk kategori pendidik adalah :
a.
Orang Dewasa
Orang dewasa sebagai pendidik dilandasi oleh
sifat umum kepribadian orang dewasa , yakni: (1) manusia yang memiliki
pandangan hidup prinsip hidup yang pasti dan tetap, (2) manusia yang telah
memiliki tujuan hidup atau cita-cita hidup tertentu, termasuk cita-cita untuk
mendidik, (3) manusia yang cakap mengambil keputusan batin sendiri atau
perbuatannya sendiri dan yang akan dipertanggungjawabkan sendiri, (4) manusia
yang telah cakap menjadi anggota masyarakat secara konstruktif dan aktif penuh
inisiatif, (5) manusia yang telah mencapai umur kronologs paling rendah 18 th,
(6) manusia berbudi luhur dan berbadan sehat, (7) manusia yang berani dan cakap
hidup berkeluarga, dan (8) manusia yang berkepribadian yang utuh dan bulat.
b.
Orang Tua
Kedudukan orang tua sebgai pendidik, merupakan
pendidik yang kodrati dalam lingkungan keluarga. Artinya orang tua sebagai
pedidik utama dan yang pertama dan berlandaskan pada hubungan cinta-kasih bagi
keluarga atau anak yang lahir di lingkungan keluarga mereka.
c.
Guru/Pendidik di Sekolah
Guru sebagai pendidik disekolah yang secara
lagsung maupun tidak langsung mendapat tugas dari orang tua atau masyarakat
untuk melaksanakan pendidikan. Karena itu kedudukan guru sebagai pendidik
dituntut memenuhi persyaratan-persyaratan baik persyaratan pribadi maupun
persyaratan jabatan. Persyaratan pribadi didasrkan pada ketentuan yang terkait
dengan nilai dari tingkah laku yang dianut, kemampuan intelektual, sikap dan
emosional. Persyaratan jabatan (profesi) terkait dengan pengetahuan yang
dimiliki baik yang berhubungan dengan pesan yangingin disampaikan maupun cara
penyampainannya, dan memiliki filsafat pendidikan yang dapat
dipertanggungjawabkan.
d.
Pemimpin Masyarakat dan Pemimpin Keagamaan
Selain orang dewasa, orang uta dan guru,
pemimpin masyarakat dan pemimpin keagamaan merupakan pendidik juga. Peran
pemimpin masyarakat menjadi pendidik didasarkan pada aktifitas pemimpin dalam
mengadakan pembinaan atau bimbingan kepada anggota yang dipimpin. Pemimpin keagaam
sebagai pendidik, tampak pada aktifitas pembinaan atau pengembangan sifat
kerokhanian manusia, yang didasarkan pada nilai-nilai keagamaan.
4.
Isi Pendidikan
Isi pendidikan memiliki kaitan yang erat dengan
tujuan pendidikan. Untuk mencapai tujuan pendidikan perlu disampaikan kepada
peserta didik isi/bahan yang biasanya disebut kurikulum dalam pendidikan
formal. Isi pendidikan berkaitan dengan tujuan pendidikan, dan berkaitan dengan
manusia ideal yang dicita-citakan.
Untuk mencapai manusia yang ideal yang berkembang keseluruhan sosial, susila dan individu sebagai hakikat manusia perlu diisi dengan bahan pendidikan. Macam-macam isi pendidikan tersebut terdiri dari pendidikan agama., pendidikan moril, pendidikan estetis, pendidikan sosial, pendidikan civic, pendidikan intelektual, pendidikan keterampilan dan peindidikan jasmani.
Untuk mencapai manusia yang ideal yang berkembang keseluruhan sosial, susila dan individu sebagai hakikat manusia perlu diisi dengan bahan pendidikan. Macam-macam isi pendidikan tersebut terdiri dari pendidikan agama., pendidikan moril, pendidikan estetis, pendidikan sosial, pendidikan civic, pendidikan intelektual, pendidikan keterampilan dan peindidikan jasmani.
5.
Konteks yang Memepengaruhi Suasana Pendidikan Lingkungan
Lingkungan pendidikan meliputi segala
segi kehidupan atau kebudayaan. Hal ini didasarkan pada pendapat bahwa
pendidikan sebagai gejala kebudayaan, yang tidak membatasi pendidikan pada
sekolah saja. Lingkungan pendidikan dapat dikelompokkan berdasarkan lingkungan
kebudayaan yang terdiri dari lingkungan kurtural ideologis, lingkungan sosial
politis, lingkungan sosial.
6.
Sarana
Sarana atau media pendidikan berguna untuk
membantu dalam proses pendidikan sehingga sesuai dengan apa yang diharapkan.
7.
Metode
Metode dimaksudkan sebagai jalan dalam sebuah
transfer nilai pendidikan oleh pendidik kepada peserta didik. Oleh karena itu
pemakaian metode dalam pendidikan Islam mutlak dibutuhkan.
8.
Sistem/Kurikulum
Sistem pembelajaran yang baik akan semakin
menambah peluang untuk berhasilnya sebuah pendidikan.
Keseluruhan komponen-komponen tersebut merupakan satu kesatuan yang saling berkaitan dalam proses pendidikan untuk mencapai tujuan pendidikan.
Keseluruhan komponen-komponen tersebut merupakan satu kesatuan yang saling berkaitan dalam proses pendidikan untuk mencapai tujuan pendidikan.
BAB VII
PENDIDIKAN ISLAM DALAM
KELUARGA
A. Pengertian Pendidikan
Islam
Menurut
H.M. Chalib Thoha pendidikan islam adalah pendidikan yang falsafah dan tujuan
serta teori-teori dibangun untuk melaksanakan praktek pendidikan yang
didasarkan nilai-nilai dasar islam yang terkandung dalam al-quran dan hadits
nabi.
Menurut
prof. Dr. Oemar Muhammad At-Toumy Al-Syaebani, pendidikan islam diartikan
sebagai usaha merubah tingkah laku individu didalam kehidupan pribadinya atau
kehidupan kemasyarakatannya dan kehidupan dalam alam sekitar melalui proses
pendidikan.
B.
Pengertian Keluarga
Dalam
islam, keluarga dikenal dengan istilah “usrah”. sedangkan menurut pandangan
antropologi keluarga adalah suatu kesatuan sosial terkecil yang dimiliki oleh
manusia sebagai makhluk sosial yang memiliki tempat tinggal untuk berlindung,
mendidik, berkembang, dan lain sebagainya. Inti sebuah keluarga adalah ayah,
ibu dan anak.
Keluarga
muslim adalah keluarga yang mendasarkan aktivitasnya pada pembentukan keluarga
yang sesuai dengan syariat islam, menurut Abdurrahman An-Nahlawi, tujuan
terpenting dari pembentukan keluarga adalah sebagai berikut:
1.
Mendirikan syariat allah dalam segala permasalahan
rumah tangga.
2.
Mewujudkan ketenteraman dan ketenangan psikologi.
3.
Mewujudkan sunnah rasul dengan melahirkan anak-anak
saleh sehingga rasul merasa bangga dengan kehadiran kita.
4.
Memenuhi kebutuhan cinta kasih anak.
5.
Menjaga fitrah anak agar tidak melakukan
peyimpangan-penyimpangan.
Dalam lingkungan
keluarga terletak dasar-dasar pendidikan. di sini pendidikan berlangsung dengan
sendirinya sesuai tatanan pergaulan yang berlaku didalamnya, artinya tanpa
harus diumumkan atau ditulis terlebih dahulu agar diketahui dan diikuti oleh
seluruh anggota keluarga . di sini diletakkan dasar-dasar pengalaman melalui
rasa kasih sayang dan penuh kecintaan, kebutuhan akan kewibawaan dan nilai-nilai
kepatuhan. justru karena pergaulan yang demikian itu berlangsung dalam hubungan
yang bersifat pribadi dan wajar, maka penghayatan terhadapnya mempunyai arti
yang amat penting.
Jadi, pendidikan Islam
dalam keluarga yaitu pendidikan yang diberikan anggota kelurga terutama orang
tua kepada anaknya dalam lingkungan keluarga itu sendiri untuk membentuk
kepribadian anak menjadi muslim dengan adanya perubahan sikap dan tingkah laku
yang sesuai dengan ajaran Islam.
C. Aspek-Aspek Pendidikan
Islam Dalam Keluarga
Sebagai
realisasi tanggung jawab orang tua dalam mendidik anak, ada beberapa aspek yang
sangat penting untuk diperhatikan orang tua, yaitu:
1.
Pendidikan ibadah.
2.
Pokok-pokok ajaran islam dan membaca Al-Quran.
3.
Pendidikan akhlakul karimah.
4.
Pendidikan akidah islamiyah.
D.
Tanggung Jawab Orang Tua Dalam Pendidikan
Islam
Motivasi
pengabdian keluarga (ayah-ibu) dalam mendidik anak-anaknya semata-mata demi
cinta kasih yang kodrati, sehingga dalam suasana cinta kasih dan kemesraan
inilah proses pendidikan ini berlangsung dengan baik seumur anak dalam
tanggungan utama keluarga. Kewajiban ayan-ibu dalam memendidik anak-anaknya
tidak menuntut untuk memiliki profesionalitas yang tinggi, karena kewajiban
tersebut berjalan dengan sendirinya sebagai adat atau tradisi. Sehingga tidak
hanya orang tua yang berdap dan berilmu tinggi saja yang dapat mendidik, tetapi
juga orangtua yang masih memiliki taraf pendidikan yang minim. Hal tersebut
karena kewajiban mendidik anak merupakan naluri pedagogis bagi setiap individu
yang menginginkan anaknya menjadi lebih baik dari pada keadaan dirinya.
Dalam penanaman pandangan hidup beragama, fase kanak-kanak merupakan fase yang paling baik untuk meresapkan dasar-dasar hidup beragama. Teknik yang paling tepat dalam proses pendidikan adalah dengan teknik imitasi, yaitu proses pembinaan anak secara tidak langsung, yaitu ayah dan ibu membiasakan hidup rukun, istiqamah melakukan ibadah baik di rumah, di masjid, atau di tempat-tempat lainnya sambil mengajak anak-anaknya, sehingga sekaligus membina anak-anaknya untuk mengikuti dan meniru hal-hal yang dilakukan orang tuanya.
Sebagai pendidik anak-anaknya, ayah dan ibu mempunyai kewajiban dan memiliki bentuk yang berbeda karena keduanya berbeda kodrat. Berikut ini ada beberapa kewajiban dari ayah dan ibu dalam mendidik anak-anaknya:
Dalam penanaman pandangan hidup beragama, fase kanak-kanak merupakan fase yang paling baik untuk meresapkan dasar-dasar hidup beragama. Teknik yang paling tepat dalam proses pendidikan adalah dengan teknik imitasi, yaitu proses pembinaan anak secara tidak langsung, yaitu ayah dan ibu membiasakan hidup rukun, istiqamah melakukan ibadah baik di rumah, di masjid, atau di tempat-tempat lainnya sambil mengajak anak-anaknya, sehingga sekaligus membina anak-anaknya untuk mengikuti dan meniru hal-hal yang dilakukan orang tuanya.
Sebagai pendidik anak-anaknya, ayah dan ibu mempunyai kewajiban dan memiliki bentuk yang berbeda karena keduanya berbeda kodrat. Berikut ini ada beberapa kewajiban dari ayah dan ibu dalam mendidik anak-anaknya:
1.
Ayah
a)
Ayah merupakan sumber kekuasaan memberikan pendidikan
anaknya tentang manajemen dan kepemimpinan
b)
Sebagai penghubung antara keluarga dan masyarakat
dengan memberikan pendidikan anaknya komunikasi terhadap sesamanya
c)
Memberi rasa aman dan perlindungan, sehingga ayah
memberikam pendidikan sikap yang bertanggung jawab dan waspada.
d)
Di samping itu, ayah sebagai hakim dan pengadilan
dalam perselisihan yang memberikan pendidikan anaknya berupa sikap tegas,
menjunjung keadilan tanpa memihak yang salah, dan berlaku rasional dalam
memberi pendidikan anaknya dan menjadi dasar-dasar pengembangan daya nalar
serta daya intelek, sehingga menghasilkan kecerdasan intelektual.
Dalam Al-Qur’an disebutkan bahwa ayah
berkewajiban mencari nafkah untuk mecukupi kebutuhan keluarganya melalui
pemanfaatan karunia allah swt di muka bumi dan selanjutnya dinafkahkan pada
anak-istrinya.
Apabila telah ditunaikan shalat, maka
bertebaranlah kamu di muka bumi; dan carilah karunia allah dan ingatlah allah
banyak-banyak supaya kamu beruntung. (QS. Al Jumu’ah: 10)
2.
Ibu
Ibu berkewajiban
sebagai:
a)
Sumber kasih sayang yang memberikan pendidikan sifat
ramah tamah, asah, asih, dan asuh kepada anak-anaknya.
b)
Pengasuh dan pemelihara keluarga yang memberikan pendidikan
berupa kesetiaan kepada tanggung jawab.
c)
Sebagai tempat pencurahan isi hati yang memberikan
pendidikan berupa sikap keterusterangan, terbuka, dan tidak suka menyimpan
derita atau rasa pribadi.
d)
Sebagai pengatur kehidupan rumah tangga yang memberikan
pendidikan berupa keterampilan-keterampilan khusus anaknya berupa hidup rukun,
gotong royong, ukhuwah, toleransi, serta menciptakan suasana dinamis, harmonis
dan kreatif.
e)
Serta sebagai pendidik di bidang emosi anak yang dapat
mendidik anaknya berupa kepekaan daya rasa dalam memandang sesuatu, yang
melahirkan kecerdasan emosional.
Menurut Abdul Mujib
dalam bukunya menyebutkan bahwa ada enam dasar-dasar pendidikan yang diberikan
kepada anak dari orang tuanya:
1.
Dasar pendidikan budi pekerti; memberi norma pandangan
hidup tertentu walaupun masih dalam bentuk yang sederhana kepada anak
2.
Dasar pendidikan sosial; melatih anak dalam tata cara
bergaul yang baik terhadap lingkungan sekitar.
3.
Dasar pendidikan intelek; anak diajarkan kaidah pokok
dalam percakapan, bertutur bahasa yang baik, kesenian yang disajikan dalam
bentuk permainan.
4.
Dasar pembentukan kebiasaan; pembinaan kepribadian
yang baik dan wajar, yaitu membiasakan kepada anak untuk hidup yang teratur,
bersih, tertib, disiplin, rajin yang dilakukan secara berangsur-angsur tanpa
unsur paksaan.
5.
Dasar pendidikan kewarganegaraan; memberikan norma
nasionalisme dan patriotisme, cinta tanah air dan berperikemanusiaan yang
tinggi.
6.
Dasar pendidikan agama; melatih dan membiasakan ibadah
kepada Allah SWT, sembari meningkatkan aspek keimanan dan ketakwaan anaknya
kepada-Nya.
Dalam pandangan islam,
anak adalah amanat yang dibebankan oleh allah swt kepada orang tuanya. Oleh
karena itu, harus menjaga, memelihara, dan mendidik serta menyampaikan amanah
itu kepada yang berhak menerimanya. Karena manusia adalah milik allah swt
mereka harus mengantarkan anaknya untuk mengenal dan menghadapkan diri kepada
allah swt.
Dalam kaitan ini pula
menurut abdurahman an-nahlawi orang tua pendidik berkewajiban melakukan dua
langkah yaitu:
1.
Membiasakan anak untuk mengingat kebesaran dan nikmat
allah, serta semangat mencari dalil dalam mengesakan allah swt melalui tanda
kebesaran-nya.
2.
Membiasakan anak-anak unttuk mewaspadai penyimpangan-
penyimpangan yang kerap membiasakan dampak negatif terhadap diri anak.
E.
Tujuan Pendidikan Islam
Pendidikan
islam sebagai suatu proses pengembangan potensi kreatifitas peserta didik,
bertujuan untuk mewujudkan manusia yang beriman dan bertaqwa kepada allah swt.,
cerdas, terampil, memiliki etos kerja yang tinggi, berbudi pekerti luhur,
mandiri dan bertanggung jawab terhadap dirinya, bangsa dan negara serta agama.
Proses itu sendiri sudah berlangsung sepanjang sejarah kehidupan manusia.
Menurut
hasan langgulung, tujuan pendidikan islam adalah suatu istilah untuk mencari
fadilah, kurikulum pendidikan islam berintikan akhlak yang mulia dan mendidik
jiwa manusia berkelakuan dalam hidupnya sesuai dengan sifat-sifat kemanusiaan
yakni kedudukan yang mulia yang diberikan allah swt melebihi makhluk-makhluk
lain dan dia diangkat sebagai khalifah.
Senada
dengan pendapat tersebut abdurrahman an-nahlawi berpendapat bahwa tujuan
pendidikan islam adalah merealisasikan penghambaan kepada allah dalam kehidupan
manusia baik secara individual maupun secara kelompok.
Menurut pendapat prof. H. Abuddin Nata, ma., bahwa tujuan pendidikan islam memiliki ciri-ciri sebagai berikut:
Menurut pendapat prof. H. Abuddin Nata, ma., bahwa tujuan pendidikan islam memiliki ciri-ciri sebagai berikut:
1.
Mengarahkan manusia agar menjadi khalifah tuhan di
muka bumi dengan sebaik-baiknya, yaitu melaksanakan tugas-tugas memakmurkan dan
mengolah bumi sesuai dengan kehendak tuhan.
2.
Mengarahkan manusia agar seluruh pelaksanaan tugas
kekhalifahannya di muka bumi dilaksanakan dalam rangka beribadah kepada allah
swt, sehingga tugas tersebut terasa ringan dilaksanakan.
3.
Mengarahkan manusia agar berakhlak mulia, sehingga ia
tidak menyalahgunakan fungsi kekhalifahannya.
4.
Membina dan mengarahkan potensi akal, jiwa dan
jasmaninya, sehingga ia memiliki ilmu, akhlak, dan keterampilan yang semua ini
dapat digunakan guna mendukung tugas pengabdian dan kekhalifahannya.
5.
Mengarahkan manusia agar dapat mencapai kebahagiaan
hidup di dunia dan di akhirat.
Apabila perumusan
tersebut dikaitkan dengan ayat-ayat al-quran dan hadits maka tujuan pendidikan
islam adalah sebagai berikut:
1.
Menumbuhkan dan mengembangkan ketakwaan kepada allah
swt.
2.
Menumbuhkan sikap dan jiwa yang selalu beribadah
kepada allah swt.
3.
Membina dan memupuk akhlakul karimah.
Kunci pendidikan dalam
rumah tangga sebenarnya terletak pada pendidikan agama. Karena pendidikan
agamalah yang berperan penting dalam membentuk pandangan hidup seseorang. Ada
dua arah mengenai kegunaan pendidikan agama dalam keluarga, yaitu
1.
Menanamkan nilai pengetahuan pada anak
2.
Pendidikan jasmani dan akal yang diberikan di sekolah
sekarang mempunyai banyak teori. Belum tentu semua teori itu sesuai dengan
ajaran agama. Bila anak sudah memiliki basis nilai agama yang dibawa dari
rumah, secara sederhana ia dapat memberikan nilai terhadap teori-teori yang
diajarkan di sekolah. Misalnya, saat guru mengajarkan bahwa materialisme itu
menolak tuhan dan itu baik, maka murid akan segera bereaksi kalau teori itu
salah. Dari mana ia tahu kalau itu salah? Ia tahu dari nilai agama yang telah
diperolehnya di rumah atau dari guru agamanya di sekolah. Kemampuan menyaring
dan memberi nilai teori pengetahuan seperti ini sangat penting artinya bagi
anak itu dalam perkembangan pengetahuannya di kemudian hari.
3.
Penanaman sikap menghargai guru dan apa yang
dididikannya.
4.
Keberhasilan pendidikan di sekolah bisa di dapat jika
murid bisa menghormati guru dan menghargai pengetahuan gurunya. Untuk
menanamkan sikap itu sebenarnya pendidikan agama (islam)-lah yang merupakan
kunci utama. Pendidikan agama islam itu dilakukan di rumah sebagai lembaga
pertama dan utama.
BAB VIII
PEMIKIRAN AL-ZARNUJI
DALAM KITAB TA’LI AL-MUTA’ALLIM TENTANG PENDIDIKAN ISLAM
( Telaah Dalam
Perpektif Filsafat Pendidikan)
A.
Sketsa Pengarang Kitab Ta’lim
al-Muta’allim
Pengarang kitab Ta’lim al-Muta’llim
Tariq al-Ta’allum ialah al-Zarnuji, yang nama lengkapnya
adalah Syekh Tajuddin Nu’man bin Ibrahim bin al-Khalil Zarnuji.[3] Dalam
Kamus Islam terdapat dua sebutan yang ditujukan kepadanya, yakni al-Zarnuji
ialah Burhanuddin al-Zarnuji, yang hidup pada abad ke-6 H/ 13-14 M dan Tajuddin
al-Zarnuji, ia adalah Nu’man bin Ibrahim yang wafat pada tahun 645H.[4] Al-Zarnuji
adalah seorang sastrawan dari Bukhara,[5] dan
termasuk ulama yang hidup pada abad ke-7 H, atau sekitar abad ke-13-14 M, ia
dapat dikenal pada tahun 593 H dengan kitab Ta’lim al-Muta’lim.[6] Kitab
ini telah diberi syarah (komentar) oleh Al-‘Allamah al-Jalil
al-Syekh Ibrahim bin Ismail, dengan nama, al-Syarh Ta’lim al-Muta’llim
T}ari>q al-Ta’allum dan oleh Syekh Yahya bin Ali bin Nashuh (1007
H/ 1598M) ahli syair Turki dan Imam Abdul Wahab al-Sya’rani ahli tasauf dan
al-Qadli Zakaria al-Anshari.[7]
Tentunya kitab ini tidak asing lagi bagi
dunia pendidikan Islam di Indonesia, khususnya di pondok pesantren Salafiyah,
karena kitab ini telah dijadikan referensi utama bagi santri dalam menuntut
ilmu. Menurut Mahmud Yunus bahwa dalam kitab itu disimpulkan pendapat para ahli
pendidikan Islam dan dikuatkan secara khusus pendapat Imam al-Ghazali. Kitab
ini khusus dalam ilmu pendidikan dan berpengaruh sekali dalam alam Islami
sebagai pegangan bagi guru untuk mendidik anak-anak.[8] Al-Zarnuji
tinggal di Zarnuq atau Zarnuj, seperti kata itulah yang dibangsakan kepadanya.
Seperti disebutkan dalam Qamus Islami[9],
bahwa Zarnuq atau Zarnuji adalah nama negeri yang masyhur yang terletak di
kawasan sungai Tigris (ma wara’a al-nahr) yakni Turtkistan
Timur.
Dalam kitabnya seacra implisit, al-Zarnuji
tidak menentukan di mana dia tinggal, namun secara umun ia hidup pada akhir
periode Abbasiyah, sebab khafilah Abbasiyah terakhir ialah al-Mu’tashim (wafat
tahun 1258 M/656 H). Ada kemungkinan pula ia tinggal di kawasan Irak-Iran sebab
beliau juga mengetahui syair Persi di samping banyaknya contoh-scontoh
peristiwa pada masa Abbasiyah yang beliau tuturkan dalam kitabnya.[10]
B.
Tujuan Pendidikan/Tujuan Memperoleh Ilmu
Pendidikan merupakan upaya belajar dengan
bantuan orang lain untuk mencapi tujuannya. Maksud tujuan pendidikan atau
belajar/ memperoleh ilmu di sini ialah suatu kondisi tertentu yang dijadikan
acuan untuk menentukan keberhasilan belajar/pendidikan. Dengan kata lain tujuan
pendidikan/belajar dalam arti pendidikan mikro ialah kondisi yang diinginkan
setelah individu-individu melakukan kegiatan belajar. Tujuan adalah apa yang
dicanangkan oleh manusia, diletakkannya sebagai pusat perhatian, dan demi
merealisasikannya dia menata tingkah lakunya. Tujuan itu sangat penting artinya
karena dia berfungsi sebagai pengakhir segala kegiatan, mengarahkan
segala aktivitas pendidikan, merupakan titik pangkal untuk mencapai
tujuan-tujuan lanjutan dari pertama, tolok ukur keberhasilan suatu proses
belajar mengajar, dan memberi nilai (sifat) pada semua kegiatan tersebut.
Kualitas dari tujuan itu sendiri bersifat dinamis dan berkembang sesuai dengan
perkembangan kualitas kehidupan manusia. Sebagai contoh, tujuan pendidikan di
Sekolah Dasar ialah cerdas. Makna cerdas sepuluh tahun yang lalu berbeda dengan
cerdas tahun sekarang (2007). Lebih-lebih tujuan pendidikan yang di dalamnya
syarat dengan nilai-nilai yang bersifta fundamental, seperti nilai moral dan
nilai agama. Kualitas takwa pada anak-anak-anak berbeda dengan kutalitas takwa
pada orang dewasa, demikian juga setelah manusia menjelang usia lanjut. Tujuan
pendidikan atau belajar suatu bangsa atau seseorang pada dasarnya bersumber
pada filsafat hidup suatu bangsa itu dan keyakinan dalam beragama. Maka dengan
perbedaan filsafat hidup dan kualitas keagamaan antar ahli pendidikan, menjadikan
lahirnya perbedaan dalam menetapkan tujuan belajar. Secara makro tentu tujuan
pendidikan suatu bangsa akan berbeda dengan tujuan pendidikan bangsa
lain, disamping adanya persamaan-persamaan.
Menurut al-Jamaliy, tujuan pendidikan Islam
antara ialah (1) agar seseorang mengenal statusnya di antara makhluk dan
tangung jawab masing-masing individu di dalam hidup mereka di dunia, (2) agar
mengenal interaksinya di dalam masyarakat dan tanggung jawab mereka di
tengah-tengah sistem kemasyarakatan, (3) supaya manusia kenal alam semesta dan
membimbingnya untuk mencapai hikmat Allah di dalam menciptakan alam semesta dan
memungkinkan manusia menggunakannya, (4) supaya manusia kenal akan Tuhan
Pencipta alam ini dan mendorongnya untuk beribadah kepadanya.[11] Menurut
Syed Muhammad Naqueib bahwa tujuan pendidikan itu supaya menjadikan manusia itu
orang yang baik (the aims of Education in Islam is to produce a good man).[12] Sedangkan
menurut al-Abrasy, bahwa tujuan umum yang asasi bagi pendidikan Islam yaitu (1)
untuk membantu pembentukan akhlak yang mulia, (2) untuk persiapan
kehidupan dunia dan akhirat, (3) untuk persiapan mencapai rezeki dan
pemeliharaan segi-segi kemanfaatan. Pendidikan Islam tidaklah semuanya
bersifat akhlak, atau spritual semata, tetapi menaruh perhatian pada segi
kemanfaatan pada tujuan-tujuan, kurikulum, dan aktivitasnya. Para pendidik
muslim memandang kesempurnaan manusia tidak akan tercapai kecuali dengan
memadukan antara ilmu agama dan pengetahuan, atau menaruh perhatian pada
segi-segi spritual, akhlak dan segi-segi kemanfaatan. (4) Untuk menumbuhkan
jiwa ilmiah dan memuaskan keinginan diri untuk mengetahui dan memungkinkan ia
mengkaji ilmu sekedar sabagai ilmu, (5) untuk menyiapkan pembelajar dari
segi profesional, teknis, dan perusahaan supaya ia dapat menguasai profesi,
teknis dan perusahaan tertentu, supaya ia dapat mencari rizki dalam hidup
dengan mulia disamping memelihara segi spritual dan keagamaan.[13] Menurut
al-Zarnuji tujuan belajar/pendidikan Islam berikut ini:[14]
وينبغى أن ينوي المتعلم يطلب العلم رضا الله تعالى
والدار الآخرة وازلة الجهل من نفسه وعن سائر الجهال وإحياء الدين و إبقاء الإسلام
فأن بقاء الإسلام بالعلم. ولايصح الزهد والتقوى مع الجهل. والنشد الشيخ الإمام
الأجل برهان الدين صاحب الهداية شعرا لبعضهم:
فساد كبير عالم
متهتك *
وأكبر منه جاهل متنسك
هما فتنة في العالمين عظيمة * لمن بهما فى دينه يتمسك.
Maksudnya: Seseorang yang menuntut ilmu
harus bertujuan mengharap rida Allah, mencari kebahagiaan di akhirat,
menghilangkan kebodohan baik dari dirinya sendiri maupun dari orang lain,
menghidupkan agama, dan melestarikan Islam. Karena Islam itu dapat lestari,
kalau pemeluknya berilmu. Zuhud dan takwa tidak sah tanpa disertai ilmu. Syekh
Burhanuddin menukil perkataan ulama sebuah syair: “orang alim yang durhaka
bahayanya besar, tetapi orang bodoh yang tekun beribadah justru lebih besar
bahayanya dibandingkan orang alim tadi. Keduanya adalah penyebab fitnah di
kalangan umat, dan tidak layak dijadikan panutan.
وينوي به الشكر على نعمة العقل وصحة البدن ولا ينوى به
اقبال الناس ولا استجلاب حطام الدنيا والكرامة عند السلطان وغيره. قال محمد ابن
الحسن رحمه الله تعالى لو كان الناس كلهم عبيدى لاعتقتهم و تبرأت عن ولآئهم.
Maksudnya: Seseorang
yang menuntut ilmu haruslah didasari atas mensyukuri nikmat akal dan kesehatan
badan. Dan dia tidak boleh bertujuan supaya dihormati manusia dan tidak pula
untuk mendapatkan harta dunia dan mendapatkan kehormatan di hadapan pejabat dan
yang lainnya.
Sebagai akibat dari
seseorang yang merasakan lezatnya ilmu dan mengamalkannya, maka bagi para
pembelajar akan berpaling halnya dari sesuatu yang dimiliki oleh orang
lain. Demikian pendapat al-Zarnuji, seperti statemen berikut ini[16]:
ومن وجد لذة العلم والعمل به قلما فيما عند الناس. انشد الشيخ
الإمام الآجل الأستاذ قوام الدين حمادالدين ابراهم بن اسماعيل الصفار الأنصاري
املآء لابي حنيفة رحمه الله تعالى شعرا :
من طلب العلم للمعاد * فاز بفضل من الرشاد
فيالخسران طالبه * لنيل فضل من
العباد.
Maksudnya: Barangsiapa
dapat merasakan lezat ilmu dan nikmat mengamalkannya, maka dia tidak akan
begitu tertarik dengan harta yang dimiliki orang lain. Syekh Imam Hammad bin
Ibrahim bin Ismail Assyafar al-Anshari membacakan syair Abu Hanifah: Siapa yang
menuntut ilmu untuk akhirat, tentu ia akan memperoleh anugerah
kebenaran/petunjuk. Dan kerugian bagi orang yang mencari ilmu hanya karena mencari
kedudukan di masyarakat.
Tujuan pendidikan
menurut al-Zarnuji sebenarnya tidak hanya untuk akhirat (ideal), tetapi juga
tujuan keduniaan (praktis), asalkan tujuan keduniaan ini sebagai instrumen
pendukung tujuan-tujuan keagamaan. Seperti pendapat al-Zarnuji berikut ini[17]:
اللهم الا اذا طلب الجاه للأمر بالمعروف والنهى عن
المنكر وتنفيذ الحق واعزاز الدين لا لنفسه وهواه فيجوز ذلك بقدر مايقيم به الأمر
بالمعروف والنهى عن المنكر. وينبغى لطالب العلم أن يتفكر في ذلك فإنه يتعلم العلم
بجهد كثير فلا يصرفه الى الدنيا الحقيرة القليلة الفانية شعر:
هي الدنيا اقل من القليل
* وعاشقها اذلّ من الذليل
تصم بسحرها قوما و تعمي * فهم متحيرون بلا دليل.
Maksudnya: Seseorang boleh memperoleh ilmu
dengan tujuan untuk memperoleh kedudukan, kalau kedudukan tersebut
digunakan untuk amar makruf nahi munkar, untuk melaksanakan kebenaran dan
untuk menegakkan agama Allah. Bukan mencari keuntungan untuk dirinya sendiri,
dan tidak pula karena memperturutkan nafsu. Seharusnyalah bagi pembelajar untuk
merenungkannya, supaya ilmu yang dia cari dengan susah payah tidak menjadi
sia-sia. Oleh karena itu, bagi pembelajar janganlah mencari ilmu untuk
memperoleh keuntungan dunia yang hina, sedikit dan tidak kekal. Seperti
kata sebuah syair: Dunia ini lebih sedikit dari yang sedikit, orang
yang terpesona padanya adalah orang yang paling hina. Dunia dan isinya adalah
sihir yang dapat menipu orang tuli dan buta. Mereka adalah orang-orang bingung
yang tak tentu arah, karena jauh dari petunjuk.
Menurut al-Syaibani bahwa ada tiga bidang
perubahan yang diinginkan dari tujuan pendidikan yaitu tujuan-tujuan yang
bersifat individual; tujuan-tujuan sosial dan tujuan-tujuan professional.[18] Kalau
dilihat dari tujuan-tujuan pembelajar dalam konsep al-Zarnuji, maka
menghilangkan kebodohan dari diri pembelajar, mencerdaskan akal, mensyukuri
atas nikmat akal dan kesehatan badan, merupakan tujuan-tujuan yang bersifat
individual. Karena dengan tiga hal tersebut akan dapat mempengaruhi perubahan
tingkah laku, aktivitas dan akan dapat menikmati kehidupan dunia dan menuju
akhirat. Tujuan pembelajar mencari ilmu untuk menghilangkan kebodohan
dari anggota masyarakat (mencerdaskan masyarakat), menghidupkan nilai-nilai
agama, dan melestarikan Agama Islam adalah merupakan tujuan-tujuan sosial. Karena
dengan tiga tujuan tersebut berkaitan dengan kehidupan masyarakat sebagai
keseluruhan, dengan tingkah laku masyarakat pada umumnya. Dari tujuan-tujuan
sosial ini, al-Zarnuji melihat bahwa kesalehan dan kecerdasan itu tidak hanya
saleh dan cerdas untuk diri sendiri, tetapi juga harus mampu
mentransformasikannya ke dalam kehidupan bermasyarakat. Sedangkan tujuan
professional, berhubungan dengan tujuan seseorang mencapai ilmu itu ialah
menguasai ilmu yang berimplikasi pada pencapaian kedudukan. Namun kedudukan yang
telah dicapai itu adalah dengan tujuan-tujuan kemaslahatan umat secara
keseluruhan. Memperoleh kedudukan di masyarakat tidak lain haruslah dengan
ilmu, dan menguasainya. Baik tujuan individual, sosial dan professional
haruslah atas dasar memperoleh keridaan Allah dan kebahagiaan akhirat. Untuk
itulah nampaknya al-Zarnuji menempatkan mencari rida Allah dan kebahagiaan
akhirat menjadi awal dari segala tujuan (nilai sentral) bagi
pembelajar. Jika tujuan memperoleh ilmu dibagi kepada empat yakni (1) ilmu untuk
ilmu (kegemaran dan hobi), (2) sebagai penghubung memperoleh kesenangan materi,
(3) sebagai penghubung memajukan kebudayaan dan peradaban mausia, (4) mencari
rida Allah dan kebagiaan akhirat, maka yang terakhir ini sebagai tujuan
sentral, sedangkan tujuan lainnya sebagai tujuan instrumental. Lebih jelasnya
dapat diliat dalam gambar berikut:
Dari gambar diatas jelas terlihat bahwa
tujuan pendidikan/memperoleh ilmu sebagai penghubung mencari rida Allah dan
kebahagiaan akhirat sebagai nilai sentral yang akan menyinari dan membingkai
tiga tujuan di bawahnya. Artinya seseorang boleh saja memperoleh ilmu untuk
kegemaran, peroleh materi atau kemajuan kebudayaan dan peradaban asalkan saja
dibingkai dan disinari oleh nilai-nilai keagamaan. Ini dapat dimengerti karena
tujuan dalam pendidikan sangat penting artinya. Karena tujuan haruslah
diletakkan sebagai pusat perhatian, dan demi merealisasikannya, pembelajar
menata tingkah lakunya. Tujuan juga berfungsi sebagai pengakhir segala
kegiatan, mengarahkan segala aktivitas, merupakan titik pangkal untuk mencapai
tujuan-tujuan lanjutan dari pertama, tolok ukur keberhasilan suatu proses
belajar mengajar, dan memberi nilai (sifat) pada semua kegiatan tersebut.
Tujuan seperti ini diistilahkan oleh Ali Abdul Azim sebagai tujuan yang paling
agung. Seperti dia katakan berikut ini:[19]
وكان الهداف الأكثر للمعرفة في الإسلام هو الإتصال بالله سبحانه وتعالى هو
المثل الأعلى للحق والخير والجمال.
Maksudnya: Tujuan
memperoleh ilmu pengetahuan yang paling penting dan agung dalam Islam, ialah
pembelajar dapat berhubungan dengan Allah SWT. Tujuan ini merupakan hal yang
paling utama untuk menuju kepada kebenaran, kebaikan dan keindahan.
Dari gambaran di atas
dapat dilihat bahwa tujuan-tujuan tersebut baik yang bersifat ideal maupun yang
bersifat praktis, mencakup kepada nilai-nilai ideal Islami, yaitu pertama, dimensi
yang mengandung nilai untuk meningkatkan kesejahteraan di dunia. Nilai ini
mendorong seseorang untuk bekerja keras dan professional agar keuntungan dan
kenikmatan dunia dapat diperoleh sebesar-besarnya. Kedua, dimensi
yang mengandung nilal-nilai ruhani dan keakhiratan. Dimensi ini menuntut
pembelajar untuk tidak terbelenggu oleh mata rantai kehidupan yang
materealistis di dunia, tetapi ada tujaun-tujuan yang lebih jauh dan mulia
yaitu kehidupan sesudah mati. Penghayatan terhadap nilai ini, menjadikan
pembelajar terkontrol dari syahwat kenikmatan dunia/materi. Ketiga,
dimensi yang mengandung nilai yang dapat mengintegrasikan antara kehidupan
dunia (praktis) dan ukhrawi (ideal). Menurut Arifin, keseimbangan dan keserasian
antara kedua kepentingan ini menjadi daya tangkal terhadap pengaruh-pengaruh
negative dari berbagai gejolak kehidupan yang menggoda ketenangan hidup
manusia, baik yang bersifat spritual, sosial, kultural, ekonomis, maupun
ideologis dalam hidup pribadi manusia.[20]
Tujuan pembelajar memperoleh
ilmu yang dikemukakan oleh al-Zarnuji jika dilihat dari aliran pendidikan Islam
yang dikemukakan oleh Ridha, maka al-Zarnuji termasuk dalam aliran Konservatif
Religius. Ridha mengatakan, disamping lahirnya teori pendidikan berdasar
pada hakikat fitrah dalam Alquran, juga orientasi keagamaan dan filsafat
negara dalam menafsirkan realitas dunia, fenomena dan eksistensi manusia
melahirkan pemikiran pendidikan Islam terutama menentukan (1) tujuan, (2) ruang
lingkup dan (3) pembagian ilmu. Maka berdasar tiga ini, Ridha
membagi aliran utama pemikiran pendidikan Islam menjadi tiga; al-muhafiz (religius
konservatif); al-diniy al-‘aqlaniy (religius rasional)
dan al-zarai’iy (pragmatis instrumental).[21] Aliran
konservatif religius, menafsirkan realitas jagad raya berpangkal dari ajaran
agama sehingga semua yang menyangkut tujuan belajar, pembagian ilmu, etika guru
dan murid dan komponen pendidikan lainnya harus berpangkal dari ajaran agama.
Tujuan keagamaan adalah sebagai tujuan belajar. Aliran religius rasional, tidak
jauh berbeda dengan aliran pertama dalam hal kaitan antara pendidikan dan
tujuan belajar adalah tujuan agama. Bedanya, ketika aliran ini membicarakan
persoalan pendidikan cenderung lebih rasional dan filosufis. Mereka membangun
prinsip-prinsip dasar pemikiran pendidikan dari pemikiran tentang manusia,
pengetahuan dan pendidikan. Aliran pragmatis instrumental, memandang tujuan
pendidikan lebih banyak sisi pragmatis dan lebih berorientasi pada tataran
aplikatif praktis. Ilmu diklasifikasikan berdasar tujuan kegunaan dan fungsinya
dalam hidup.
Menempatkan al-Zarnuji
dalam aliran religius konservatif, karena ia menafsirkan realitas jagad raya
berpangkal dari ajaran agama sehingga semua yang menyangkut tujuan belajar
harus berpangkal dari ajaran agama. Tujuan keagamaan adalah sebagai tujuan
belajar. Bingkai agama harus menyinari seluruh aktivitas pembelajar dalam
memperoleh ilmu. Sehingga boleh saja pembelajar bertujuan mencari
kedudukan dalam memperoleh ilmu, tetapi kedudukan itu harus difungsikan untuk
tujuan-tujuan keagamaan yakni amar makruf nahi munkar, menegakkan kebenaran,
dan untuk menegakkan agama Allah. Implikasi dari pemikiran ini sangat jauh.
Pembelajar yang semata-mata mencari rida Allah dalam menuntut ilmu baik dikontrol
oleh aturan-aturan yang dibuat manusia ataupun tidak, dia tetap dalam bingkai
kebenaran. Berbeda dengan pembelajar yang menuntut ilmu karena mencari materi,
sewaktu materi tidak di dapat atau berkurang maka dia akan patah semangat dan
pasimis serta tidak menjalankan tugasnya sebagaimana mestinya.
Sebagai implikasi dari
pandangan al-Zarnuji mengenai tujuan pendidikan/memperoleh ilmu tentu terdapat
dampak positif edukatif sebagai kelebihan darinya dan juga terdapat dampak
negatif edukatif sebagai kekurangannya. Dampak edukatif positifnya ialah rasa
tanggung jawab yang sangat kuat telah menghujam pada pemikiran pendidikannya,
dan mengukuhkan rasa tanggung jawab moral itu. Penghargaannya terhadap
persoalan pendidikan Islam sangat tinggi, bahkan menilainya sebagai wujud
tanggang jawab keagamaan yang sangat luhur. Tugas mengajar dan belajar tidak
sekedar sebagai tugas-tugas profesi kerja dan tugas-tugas kemanusiaan tetapi
lebih jauh dari itu yakni sebagai tuntutan kewajiban agama. Tanggung jawab
keagamaan sebagai titik sentral dalam pendidikan Islam, di samping
tanggung jawab kemanusiaan baik dalam konstruksi tataran konsep maupun tataran
aplikasi pendidikan. Tuntutan insaniyah (kemanusian) tidak
sejalan dengan tuntutan ilahiyah (keagamaan), maka yang harus
didahulukan dan dimenangkan ialah tuntutan keagamaan. Dampak negatif
edukatifnya menjadikan term al-ilm (ilmu) yang
dalam Alquran dan Hadis bersifat mutlak tanpa batas menjadi bersifat terbatas
hanya pada ilmu-ilmu keagamaan, dan kecenderungan pencapaian spritual
yang lebih menonjol, mendorong pemikiran pendidikan Islam ke arah pengabaian
urusan dunia dengan segala kemanfaatan dan amal usaha yang sebenarnya boleh
dinikmati dan bisa dikerjakan. Oleh karena pemikiran pendidikannya terpusat
pada bingkai agama, maka pengaturan kehidupan dunia akan diambil oleh
orang-orang non Muslim. Hal ini pula menunjukkan sekaligus ketidak berdayaan
umat Muslim untuk melaksanakan amar makruf dan nahi munkar dalam reformasi dan
transformasi solial yang bermoral.
Bagaimana menurut al-Zarnuji
sifat dasar moral manusia dan aksinya terhadap dunia luar? Sebelum dibahas ada
baiknya terlebih dahulu dikemukakan berbagai pendapat para ahli. Menurut Morris
L. Bigge, bahwa sifat dasar moral manusia dan aksinya terhadap dunia luar
bermacam-macam. Seperti sifat moral manusia itu jelek, baik dan netral (tidak
baik dan tidak pula jelek). Sedangkan aksinya terhadap dunia luar terdiri dari;
aktif, pasif, dan interaktif.[22] Aliran
yang berpendapat bahwa sifat moral sifat dasar manusia dan aksinya bad-active ialah
seperti aliran Theistic Mental Discipline,[23] yang
mengatakan bahwa manusia itu pada dasar bawaannya jelek, yang tidak ada harapan
baik dari mereka. Sekiranya manusia dibiarkan tumbuh berkembang maka yang
tampil adalah kejelekannya saja. Maka fungsi pendidikan adalah mengusahakan
pengekangan terhadap sifat dasar ini dan melatih bagian-bagian jiwa ke arah
yang baik. Jika percaya bahwa sifat dasar manusia dan aksinya bersifat good-active,
maka tanpa mereka dipengaruhi oleh dunia luar, maka akan tampil sifat-sifat
baiknya. Implikasinya dalam pendidikan ialah orang-orang yang terlibat dalam
pendidikan menyiapkan sedemikian rupa agar dapat mengoptimalisasikan perkembangan
individu-indivivu tersebut.
Yang berpandangan bahwa
sifat dasar manusia dan aksinya neutral-passive, berarti pada
dasarnya manusia itu bersifat netral yang berpotensi untuk tidak baik dan
tidak pula buruk. Aksinya terhadap dunia luar adalah pasif, dalam arti dunia
luar termasuk pendidikan, yang membentuk kepribadian seseorang. Karakter
seseorang apakah baik atau tidak, sangat tergantung pada polesan alam lingkungannya.
Bagi yang berpendpat
bahwa sifat dasar manusia dan aksinya terhadap dunia luar bersifat neutral-interactive,
adalah hampir sama dengan neutral-passive, hanya saja aksinya
terhadap dunia luar ada proses kerjasama atau interaktif. Berarti pendidikan,
tidak akan dapat seratus persen mencetak anak didik sesuai dengan yang
dikehendaki, karena pembelajar dapat memberi respon atau dialektis terhadap
pengaruh luar. Hasil proses antara sifat dasar dan dunia luar, akan menampilkan
model kepribadian seseorang. Sebagai kelanjutan dari berbagai teori di atas
muncullah teori-teori yang dikenal dengan Emprirsme, Nativisme dan Konvergensi.
Dalam Filsafat
Empirisme disebutkan bahwa perkembangan dan pembentukan manusia itu ditentukan
oleh faktor-faktor lingkungan, termasuk pendidikan. Sebagai pelopor aliran ini
ialah Joshn Locke ( 1632-1704) yang dikenal denga teoriTabularasa atau
Empirisme yaitu bahwa tiap individu lahir sebagai kertas putih, dan lingkungan
itulah yang memberi corak atau tulisan pada kertas putih tersebut. Bagi John
Locke pengalaman yang berasal dari lingkungan itulah yang menentukan pribadi
seseorang. Nampak dari teori ini bersifat optimis, karena bagaimanpun juga
lingkungan dapat diusahakan dan diatur sedemikian rupa sehingga sesuai dengan
tujuan yang diharapkan.
Berbeda dengan
Nativisme yang lebih pesimis dibanding dengan Empirisme. Aliran ini
dipelopori oleh Athur Schonpenhauer (1788-1860). Ajaran dari filsafat ini
mengatakan bahwa perkembangan pribadi hanya ditentukan oleh bawaan (kemampuan
dasar), bakat serta faktor dalam yang bersifat kodrati. Proses pembentukan dan
perkembangan pribadi ditentukan faktor pembawaan ini, yang tidak dapat diubah
oleh pengaruh alam sekitar atau pendidikan. Potensi-potensi bawaan inilah
sebagai kepribadian manusia, bukan hasil binaan lingkungan pengalaman dan
pendidikan. Bagaimanapun usaha pendidikan untuk membentuk pribadi manusia atau
tingkatan yang dikehendaki, tanpa didukung oleh potensi dasar tersebut, harapan
tersebut tidak akan tercapai. Menurut Muhammad Noor Syam, bahwa aliran ini
bersifat pesimistik, karena menerima kepribadian sebagaimana adanya tanpa
kepercayaan adanya nilai-nilai pendidikan untuk merubah kepribadian.[24]
Teori (hukum)
Konvergensi berbeda dengan kedua teori di atas, yang memposisikan
keduanya secara tajam dan berlawanan. Tentu hal ini tidak dapat diterima.
Menurut teori yang dipelopori oleh Willam Stem (1871-1983) ini, bahwa
perkembangan manusia itu berlangsung atas pengaruh dari faktor-faktor bakat/
kemampuan dasar dan alam sekitar, termasuk pendidikan. Karena dalam
kenyataannya menunjukkan bahwa bawaan dasar yang baik saja, tanpa dibina oleh
alam lingkungan, termasuk budaya dan pendidikan tidak akan mencetak pribadi
yang ideal. Sebaliknya, lingkungan yang baik terutama pendidikan, tetapi tidak
didukung oleh kemampuan dasar tadi, tidak akan menghasilkan kepribadian yang
sesuai dengan harapan tujuan pendidikan. Dengan demikian proses perkembangan
dan pembentukan kepribadian manusia merupakan proses interaktif dan dialektis
antara kemampuan dasar dan alam lingkungan secara berkesinambungan.
Perkembangan pribadi sesungguhnya adalah hasil proses kerjasama kedua faktor,
baik internal (potensi hereditas), maupun faktor eksternal ( lingkungan budaya
dan pendidikan).
Disamping teori dari
Barat tersebut juga ada teori pemikiran pendidikan Islam yang dikenal dengan
teori fitrah. Pemahaman para ahli pendidikan Islam terhadap hakikat fitrah
dalam Alquran ternyata membawa implikasi lahirnya teori fitrah dalam
pendidikan. Para ahli pendidik muslim mengakui bahwa teori dan praktek pendidikan
dipengaruhi oleh pandangan bagaimana kecenderungan sifat dasar manusia dan
bagaimana kemampuannya untuk berkembang yang dikenal dengan teori fitrah itu
diasumsikan, apakah fatalis-pasif, netral-pasif, positif-aktif, dan
dualis-aktif. Kata fitrah dan segala bentuk kata jadiannya tertera pada 19 ayat
dalam 17 surat.[25] Menurut
Mohamed pemahaman mengenai bawaan dasar (fitrah) manusia dan bagaimana
kemampuannya untuk berkembang dapat dikelompokkan menjadi empat yaitu (1)
fatalis-pasif, (2) netral-pasif, (3) positif-aktif dan (4) dualis-aktif.[26]
Teori fatalis-pasif,
mengatakan bahwa setiap individu, melalui ketetapan Allah adalah baik atau
jahat secara asal, baik ketetapan semacam ini terjadi secara semuanya atau
sebagian sesuai dengan rencana Tuhan. Kemampuan manusia untuk berkembang
menjadi pasif, karena setiap individu terikat dengan ketetapan yang telah
ditentukan Tuhan sebelumnya. Yang berpandangan netral-pasif, berasumsi bahwa
anak lahir dalam keadaan suci, utuh dan sempurna, suatu keadaan kosong
sebagaimana adanya, tanpa kesadaran akan iman atau kufur, baik atau jahat. Teori
ini sama dengan teori Tabularasa dari John Locke. Kemampuan individu
untuk berkembang adalah pasif dan sangat tergantung dari polesan lingkungan,
terutama pendidikan. Yang berpandangan positif-aktif berasumsi bahwa bawaan
dasar manusia sejak lahirnya adalah baik, sedangkan kejahatan bersifat
aksidental. Kemampuan individu untuk berkembang bersifat aktif. Manusia
merupakan sumber yang mampu membangkitkan dirinya sendiri dari dalam. Yang
berpandangan dualis-aktif, berasumsi bahwa bawaan dasar manusia itu bersifat
ganda (dualis). Di satu sisi sifat dasarnya cenderung kepada kebaikan, dan di
sisi lain cenderung kepada kejahatan. Sifat dualis tersebut sama-sama aktif dan
dalam keadaan setara.
Bagaimana menurut
al-Zarnuji mengenai proses perkembangan pribadi manusia? Secara eksplisit
al-Zarnuji tidak menyebutkan, tetapi secara implisit dapat memberi gambaran
kepada pembaca bahwa al-Zarnuji lebih cenderung kepada aliran konvergensi
dengan penambahan nilai-nilai Islam. Berikut statemennya[27]:
واما اختيار الأستاذ فينبغى أن يختار الاعلم والاورع
والاسن كما اختار ابو حنيفة حينئذ حمّاد بن ابي سليمان بعد بعد التأمل والتفكر.
وقال ابو حنيفة رحمه الله تعالى : وجدته شيخا وقورا حليما صبورا.وقال: ثبت عند
حماد بن أبي سليمان فنبت.
Maksudnya: Adapun cara memiluh ustadz, maka
seseorang yang sedang menuntut ilmu hendaklah mencari ustadz yang paling alim,
yang paling wara’ (menjauhkan diri dari dosa, maksiat, dan
perkara yang syubhat), dan yang paling tua. Sebagaimana setelah Abu
Hanifah merenung dan berpikir, maka dia memilih ustadz Hammad bin Abi Sulaiman,
karena beliau mempunyai kriteria tersebut. Selanjutnya Abu Hanifah
berkata : Beliau adalah seorang ustadz yang berakhlak mulia, penyantun dan
penyabar. Aku bertahan menuntut ilmu ilmu kepadanya hingga aku seperti sekarang
ini.
Begitu pentingnya terma memilih ustadz ini,
al-Zarnuji mengutip perkataan orang bijak yaitu jika kamu pergi menuntut ilmu
ke Bukhara, maka jangan tergesa-gesa memilih pendidik, tapi menetaplah selama
dua bulan hingga kamu berpikir untuk memilih ustadz. Karena bila kamu langsung
memilih kepada orang yang alim, maka kadang-kadang cara mengajarnya kurang enak
menurutmu, kemudian kamu tinggalkan dan pindah kepada orang alim yang lain,
maka belajarmu tidak akan diberkati. Oleh karena itu, selama dua bulan itu kamu
harus berpikir dan bermusyawarah untuk memilih ustadz, supaya kamu tidak
meninggalkannya dan supaya betah bersamanya hingga ilmumu berkah dan
bermanfaat.[28]
Seorang pelajar tidak hanya
bersungguh-sungguh memilih ustadz yang akan memberi pengaruh kepadanya tetapi
juga memilih teman yang tepat. Berikut pernyataan al-Zarnuji[29]:
و أما اختيار الشريك فينبغى أن يختار المجد والورع وصاحب
الطبع المستقيم والمتفهم و يفر من الكسلان والمعطل والمكثار والمفسد والفتان. قيل:
عن المرءى تسأل وابصر قرينته * فإن القرين
بالمقارن يقتدي
فإن كان ذاشر فجنبه سرعة
* وإن كان ذا خير فقارنه تهدى
وانشدت:
لاتصحب الكسلان في حالاته *
كم صالح بفساد آخر يفسد
عدوى البليد الجليد
سريعة * كالجمر يوضع
في الرماد فيخمد
وقال النبي عليه الصلاة والسلام: كل مولود يولد على فطرة
الإسلام الا أن ابواه يهودانه وينصرانه ويمجسانه.
Maksudnya: Pembelajar harus memilih
berteman dengan orang yang tekun belajar, yang wara’, yang
mempunyai watak istiqa>mah dan suka berpikir. Dan
menghindari berteman dengan pemalas, atheis, banyak bicara, perusak
dan tukang fitnah. Seorang penyair berkata : “Janganlah bertanya tentang
kelakuan seseorang, tapi lihatlah siapa temannya. Karena seseorang biasanya
mengikuti temannya. Kalau temanmu berbudi buruk, maka menjauhlah segera. Dan
bila berlaku baik maka bertemanlah dengannya, tentu kamu akan mendapat
petunjuk. Ada sebuah syair berbunyi: “Janganlah sekali-kali bersahabat dengan
seorang pemalas dalam segala tingkah lakunya. Karena banyak orang yang
menjadi rusak karena kerusakan temannya. Karena sifat malas itu cepat menular.”
Nabi Muhammad SAW bersabda : Setiap anak dilahirkan dalam keadaan fitrah. Kedua
orangtuanyalah yang menyebabkan anak itu menjadi beragama Yahudi, Nasrani atau
Majusi”. Lebih jelasnya masalah fitrah ini dijelaskan oleh Nabi SAW berikut ini
dan artinya:[30]
عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ أَنَّهُ كَانَ يَقُولُ قَالَ
رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّه عَلَيْهِ وَسَلَّمَ مَا مِنْ مَوْلُودٍ إِلَّا
يُولَدُ عَلَى الْفِطْرَةِ فَأَبَوَاهُ يُهَوِّدَانِهِ وَيُنَصِّرَانِهِ
وَيُمَجِّسَانِهِ كَمَا تُنْتَجُ الْبَهِيمَةُ بَهِيمَةً جَمْعَاءَ هَلْ
تُحِسُّونَ فِيهَا مِنْ جَدْعَاءَ ثُمَّ يَقُول أَبُو هُرَيْرَةَ وَاقْرَءُوا إِنْ
شِئْتُمْ ( فِطْرَةَ اللَّهِ الَّتِي فَطَرَ النَّاسَ عَلَيْهَا لَا تَبْدِيلَ
لِخَلْقِ اللَّهِ ذَلِكَ الدِّينُ الْقَيِّمُ ) الْآيَةَ
Dari berbagai statemen al-Zarnuji tersebut
menunjukkan bahwa sifat dasar moral manusia itu bersifat good-interactive atau
fitrah positif-aktif dalam klasifikasi pemikiran pendidikan Islam yang
digagas oleh Ridha. Artinya, pada dasarnya manusia itu baik,
aktif/interaktif dan aksinya terhadap dunia luar bersifat proses kerjasama
antara potensi hereditas dan alam lingkungan pendidikan. Yakni seseorang dapat
saja dipengaruhi oleh alam lingkungannya secara penuh atau sebaliknya dunia
luar dipengaruhinya sehingga sesuai dengan keinginannya. Atau dirinya dan dunia
luar melebur menjadi tarik menarik secara terus menerus dan saling pengaruh
serta proses kerjasama. Namun nampaknya al-Zarnuji lebih banyak menekankan
kepada penataan lingkungan soaial budaya, seperti memilih ustadz, memilih
guru dan memilih lingkungan tempat pembelajar menimba ilmu. Sekalipun demikian,
belum dapat dikatakan bahwa al-Zarnuji beraliran Empirisme, karena pada bab
lain ia juga membicarakan tentang tawakkal. Tawakkal tentu
merupakan salah ciri dari yang beraliran Nativisme. Sehingga
lebih tepat kalau al-Zarnuji dikelompokkan kepada Konvergensi Plus. Karena
bagaimanapun juga manusia tidak lepas dari bawaan hereditasnya dan pengaruh
alam lingkungannya atau proses kerjasama antaara keduanya (interaktif). Namun
juga perlu diingat bahwa dalam sisi kehidupan ini kadang-kadang disadari atau
tidak ada ‘inayatullah (pertolongan Tuhan). Seperti
halnya kasus Kan’an (anak Nabi Nuh) yang tetap ingkar sekalipun dibesarkan dan
diasuh dalam lingkungan kerasulan, isteri Fir’aun yang tetap wanita shalihah, sekalipun
suaminya seorang yang musyrik, istri Nabi Luth tetap durhaka kepada suaminya
sekalipun setiap harinya disinari oleh misi kerasulan dan lain-lain yang
dicontohkan dalam Alquran. Mungkin itulah yang dapat diistilahkan oleh
al-Zarnuji dengan istilah tawakkal.
والله أعلم بالصواب
BAB XI
MENJADI MANUSIA
PEMBELAJAR
Menjadi Manusia Pembelajar
Oleh : Abu Mumtaz
“…. Katakanlah (hai Muhammad): “Adakah sama
orang-orang yang mengetahui dengan orang-orang yang tidak mengetahui?”
Sesungguhnya orang yang berakallah yang dapat menerima pelajaran.” (Az-Zumar:9)
Mengapa Islam begitu mementingkan ilmu dan
memuliakan orang-orang yang belajar? Karena kebodohan dalam Islam adalah
kebutaan, kegelapan, kematian dan selalu berujung kepada kemusyrikan yang akan
membawa pada penderitaan dan kemalangan yang abadi.
Dan tidaklah sama orang yang buta dengan
orang yang melihat. Dan tidak (pula) sama gelap gulita dengan cahaya, Dan tidak
(pula) sama yang teduh dengan yang panas, Dan tidak (pula) sama orang-orang
yang hidup dan orang-orang yang mati. Sesungguhnya Allah memberi pendengaran
kepada siapa yang dikehendaki-Nya dan kamu sekali-kali tiada sanggup menjadikan
orang yang didalam kubur dapat mendengar.(Fathir:19-22)
……Katakanlah (hai Muhammad): “Adakah
sama orang-orang yang mengetahui dengan orang-orang yang tidak mengetahui?”
Sesungguhnya orang yang berakallah yang dapat menerima pelajaran.
(Az-Zumar:9)
Allah swt menggambarkan bahwa tidak sama
antara orang yang berilmu dengan orang yang tidak berilmu (bodoh) seperti
bedanya antara orang buta dan melihat, orang hidup dan mati, teduh dan panas,
gelap dan terang. Artinya Allah menyuruh manusia untuk menjadi manusia yang
berilmu, dan hal itu tidak akan bisa di capai kecuali oleh manusia yang selalu
belajar.
Carilah ilmu mulai dari buaian kasih bunda
hingga kita dikuburkan (utlubul ilma minal mahdi ilal lahdi), setiap muslim
harus menghadirkan ilmu dalam hidupnya sehingga tidak terjebak dalam kebodohan
dan menjadi manusia yang bodoh, mulai dari seseorang itu dilahirkan hingga ia
wafat
Kebodohan merupakan kerusakan terbesar dan
musuh yang paling berbahaya. Sebab kebodohan merupakan sebab utama
tergelincirnya manusia dari jalan yang benar, sumber dan penyebab utama
kejahatan. Nama lain kebodohan adalah jahiliyyah, dan ujung akhirnya dari
kebidihan adalah kemusyrikan
Suatu hari Nabi saw ditanya tentang orang
yang bodoh. Beliau menjawab: 1. Orang yang bodoh dapat menyusahkanmu jika
engkau bergaul dengannya, 2. ia bisa menyalahkanmu bila engkau tidak
membantunya, 3. ia juga dapat mengungkit-ungkit sesuatu yang pernah ia berikan
kepadamu, 4. ia tidak berterima kasih jika engkau memberinya, 5.jika engkau
mempercayakan rahasia-rahasiamu kepadanya, ia akan menyalah gunakan
kepercayaanmu.
Dari jawaban Nabi saw di atas terlihat
bahwa orang yang bodoh tidak mempunyai nilai positif sama sekali. Itulah
sebabnya kita harus lari dari kebodohan dan orang-orang yang bodoh. Lari dari
kebodohan berarti kita harus menjadi orang yang mencari ilmu, menjadi manusia
pembelajar, belajar dan terus belajar. Lari dari orang bodoh yaitu orang yang
puas dengan ilmunya yang ada, atau orang yang malas belajar. Saat kita merasa
puas dengan ilmu kita yang telah ada, berarti saat itu kita telah menjadi orang
yang bodoh.
Tidak wajar bagi seseorang manusia yang
Allah berikan kepadanya Al Kitab, Hikmah dan kenabian, lalu Dia berkata kepada
manusia: “Hendaklah kamu menjadi penyembah-penyembahku bukan penyembah Allah.”
akan tetapi (dia berkata): “Hendaklah kamu menjadi orang-orang rabbani, karena
kamu selalu mengajarkan Al kitab dan disebabkan kamu tetap mempelajarinya. (Ali
Imran:79)
Allah memerintahkan kita untuk menjadi
generasi Robbani, yaitu generasi yang terus mengajarkan ilmu dan mereka terus
belajar. Disini Allah memerintahkan kita terjun dalam proses tarbiyah, yaitu
proses belajar mengajar dimana ada murobbi yang menyampaikan ilmu dan ada
mutarobbi yang menerima ilmu, dan hal ini terus berkesinambungan sampai azal
menjemput kita.
Nabi Ibrahim as adalah teladan yang
memahami pentingnya proses tarbiyah. Tatkala Allah swt memerintahkan beliau
untuk menyembelih anaknya, maka Nabi Ibrahim as terlebih dahulu memanggil sang
anak untuk berdialog. Hal ini diabadikan oleh Al Qur’an:
Maka tatkala anak itu sampai (pada umur
sanggup) berusaha bersama-sama Ibrahim, Ibrahim berkata: “Hai anakku Sesungguhnya
aku melihat dalam mimpi bahwa aku menyembelihmu. Maka fikirkanlah apa
pendapatmu!” ia menjawab: “Hai bapakku, kerjakanlah apa yang diperintahkan
kepadamu; insya Allah kamu akan mendapatiku Termasuk orang-orang yang sabar”.
(As-Shaffat:102)
Ungkapan Nabi Ibrahim as, ”….Fandzur ma
tara (fikirkanlah apa pendapatmu)”, menurut tafsir Ibnu Katsir menunjukkan
kebijaksanaan sang ayah dalam menguji anaknya. Kita tahu ujian selalu melalui
tahap pembelajaran, tidak serta merta diberikan. Itu berarti Nabi Ibrahim as
sebelumnya telah menanamkan pentingnya ilmu bagi keluarganya, Nabi Ibrahim as
telah memberikan tarbiyah kepada anaknya, Ismail as sehingga sang anak faham
bahwa itu adalah perintah dari Allah. Dengan kata lain mereka telah menelaah
maksud dari sebuah perintah. Ayat tersebut menggambarkan sebuah keluarga yang
terus belajar dan haus ilmu.
Oleh karena itu, harus ada majelis-majelis
ilmu di sekitar kita, ada dialog, diskusi dan tausiyah ilmiah. Seorang murobbi
harus bisa menjadi tempat bertanya bagi mad’unya, menjadi tauladan, menekuni
ilmu dan haus akan pengetahuan. Seorang ayah harus bisa menjadi teman belajar
kepada anak-anaknya, dan membimbing anak-anaknya dalam memahami ilmu.
Hadirkan buku-buku dan literatur di rumah
kita, perbanyak semua sarana dan fasilitas untuk meningkatkan ilmu. Kita harus
menjadi manusia pembelajar yang tidak pernah puas dengan ilmu yang didapat.
Terus belajar dan belajar.
Rasulullah saw memberi motivasi kepada
kita, ”Barang siapa menempuh suatu jalan di mana ia menuntut ilmu di dalamnya,
maka Allah akan memudahkan baginya jalan menuju surga. Tidak akan berkumpul
suatu kaum dalam rumah dari beberapa rumah Allah, dimana mereka membaca kitab
dan mempelajari di antara mereka, melainkan para malaikat akan menaungi mereka
dan turunlah kepada mereka ketentraman, dan rahmat meliputi mereka, dan Allah
menyebut-nyebut mereka sebagai orang yang berada di sisi-Nya.” (Muslim)
Wallahu A’lam
Menjadi Manusia Pembelajar
Thursday, 01 Jan 1970
Heboh ijazah palsu, gelar palsu, dan
perguruan tinggi (PT) palsu belakangan ini menunjukkan dengan jelas suramnya
dunia pendidikan (tinggi) kita. Beberapa kawan tak bersemangat lagi berbicara
tentang daya saing bangsa, bonus demografi, dan kompetisi global terkait
Masyarakat Ekonomi ASEAN (MEA) 2015 lantaran miris dan pesimistis melihat wajah
buram dunia pendidikan kita.
Fenomena ini memperlihatkan bahwa sebagian
masyarakat kita-bukan hanya yang awam dari strata bawah, tetapi juga yang kaya
dan berkedudukan tinggi dari strata atas-masih banyak yang mengidap penyakit
feodalistik, mengagungkan gelar, dan menjadi manusia dengan mental sertifikat.
Manusia sertifikat tak mementingkan ilmu,
skill, kompetensi, apalagi karakter personal. Ia hanya mementingkan gelar dan
secarik kertas bernama ijazah. Orang semacam ini, kalau datang ke seminar, tak
mengharap ilmu. Ia hanya mengejar dan perlu sertifikatnya saja. Begitu juga
kalau kuliah. Ia mendaftar dan bayar, tetapi tidak kuliah karena yang dicari
bukan ilmu, tetapi gelar dan sertifikat.
Pemerintah dan dunia pendidikan kita harus
mampu mengedukasi masyarakat, terutama anak-anak didik kita agar menjadi
pembelajar (become a learner), bukan menjadi manusia sertifikat. Manusia
pembelajar adalah orang yang terus belajar, mempertinggi kemampuan (kompetensi)
agar bisa memberi kontribusi lebih besar bagi kemajuan bangsa dan kemanusiaan.
Manusia pembelajar, menunjuk pada pemikiran
James R Davis dan Adelaide B Davis, mencintai hal-hal baru, pemikiran baru, dan
keterampilan baru. Ia belajar bukan hanya untuk mengetahui, tetapi lebih dari
itu untuk berpikir dan memecahkan masalah. Manusia pembelajar belajar dan
mengembangkan ilmu tak hanya dari bangku kuliah dan text book, tapi juga
pengalaman dan dari realitas kehidupan sebenarnya. R Davis menyebutnya dengan
istilah perpetual learner (pembelajar sejati). (Lihat, Managing Your Own
Learning: 2000).
Memasuki era baru ini, setiap orang dari
kita, tidak bisa tidak, mesti menjadi pembelajar. Manusia pembelajar tidak
diukur dari gelar dan atribut lahiriah yang dimiliki, tapi dari mental dan
karakternya, serta dari kontribusi untuk kemajuan ilmu dan peradaban.
Manusia pembelajar setidaknya memiliki lima
sifat yang menjadi karakter dan etos utama intelektualnya. Pertama, rasa ingin
tahu yang tinggi. Inilah sifat yang membuatnya rajin belajar dan memiliki
kemauan belajar yang kuat. Dari banyak riset, anak menjadi pandai bukan karena
diajar, tapi karena ia semangat dan rajin belajar. Meski berstatus mahasiswa
atau dosen, bilamana tidak ada lagi rasa ingin tahu, mereka senyatanya bukan pembelajar.
Dari rasa ingin tahu ini lahir, (1)
peminatan, yakni ketertarikan pada satu objek studi; (2) fokus, yaitu pemusatan
perhatian dan pemikiran; dan (3) motivasi, yaitu semangat menggelora untuk
mencapai apa yang menjadi minat dan perhatiannya. Dari rasa ingin tahu itu
lahir motivasi. Motivasi adalah faktor kunci sukses pembelajaran. Dianna Van
Blerkom berujar, "The Student who are not motivated are tend to be less
successful." (Becoming a Strategic Learner: 2011).
Kedua, ia suka berbagi ilmu dengan teman
atau orang lain. Merupakan keunikan ilmu, ia tidak habis kalau dibagi, malah
bertambah. Penulis teringat nasihat popular dari Profesor Andi Hakim Nasution,
rektor IPB (1978-1987). Beliau pernah menyatakan kalau kita tukar menukar apel,
kita tetap mendapat satu apel, tidak bertambah. Namun, kalau kita bertukar ilmu
pengetahuan, kita bukan mendapatkan satu, melainkan lebih banyak lagi.
Ketiga, selain berbagi, manusia pembelajar,
menurut Maxine A Dalton, rajin memperluas ilmu pengetahuan dengan dua cara.
Pertama, dengan membedol batas horizon pengetahuan kita. Kedua, dengan cara
keluar dan melepaskan diri dari zona kenyamanan.
Diperlukan keberanian dan teknik tersendiri
untuk bisa keluar dari kungkungan zona kenyamanan. (Lihat, Becoming a More
Versatile Learner, 2011). Philip E Johnson merekomendasikan cara lain untuk
ekspansi ilmu, yaitu dengan latihan berpikir serta menghubungkan diri dengan
berbagai kearifan, wisdom, dan pemahaman yang hidup, bukan dengan pengetahun
yang sudah mati, yang harus dieja dan dihafal saban hari. (Fifty Nifty Ways to
Help Your Child Become a Better Learner: 2004).
Keempat, ia memiliki kontribusi bagi
kemajuan ilmu dan kemanusiaan. Dalam perpsektif Islam, ilmu tidak untuk ilmu,
tetapi untuk kemaslahatan umat sebagai wujud pengabdian kepada Allah SWT. Pada
wahyu pertama yang disampaikan kepada Nabi SAW, perintah iqra yang dalam wujud
sosialnya berwujud penelitian atau riset dan pengembangan ilmu haruslah
dilakukan dalam kerangka bi ism-i rabbik, dengan nama Tuhan, dalam arti untuk
kebaikan dan kemaslahatan umat manusia.
Kelima, ia memiliki sifat rendah hati dan
tawadhu. Meskipun berpengetahuan sangat luas serta memberi kontribusi besar
bagi kemajuan ilmu dan peradaban, para pembelajar sejati tidak pongah dan tidak
besar kepala. Mereka tetap rendah hati, ibarat filosofi padi, makin berisi,
makin tunduk ke bawah.
Yang dimaksud dengan rendah hati adalah
sikap mental bahwa ilmu yang diperolehnya masih sedikit. Apa yang belum
diketahui jauh lebih besar dibanding yang sudah diketahui. Inilah sikap yang
membuat seorang pembelajar tidak menutup diri, tetapi selalu terbuka dan sedia
berdialog dengan orang lain.
Sikap rendah hati ini pernah ditunjukkan
Aristoteles, filsuf Yunani (384 SM), yang pemikirannya masih dipelajari hingga
hari ini, ketika menyatakan, "I only know that I don't know." Imam
Syafi`i (wafat 204 H), pendidiri mazhab Syafi`i, tidak kalah tawadhunya.
Sebagai mujtahid mutlak yang mumpuni, Imam
Syafi`i juga tidak mengklaim pendapatnya paling benar. Dalam perselisihan
pendapatnya, lebih dari 200 masalah dengan gurunya, Imam Malik, ia berkata,
"Pendapatku benar (tetapi) mengandung kemungkinan salah; pendapat orang
lain salah, (tetapi) memngandung kemungkinan benar".
Jadi, semua ulama dan pemikir besar Islam
abad pertengahan mewariskan teladan dan kearifan yang sama, rendah hati. Mereka
selalu mengakhiri tulisan dengan tidak lupa mencantumkan selalu kalimat
"Wa Allah-u a`lam bi al-shawab" yang berarti mengembalikan kebenaran
sejati hanya kepada Allah SWT. Memang seperti itulah watak dan karakter para
pembelajar sejati. Wa Allahu a`lam! N
A Ilyas Ismail - Dosen UIN Syarif Hidayatullah, Dekan
FAI-UIA Jakarta
0 komentar:
Posting Komentar