Rabu, 01 November 2017

MODUL FILSAFAT PENDIDIKAN ISLAM ( FPI )

SEKOLAH TINGGI AGAMA ISLAM ( STAI )
DR. KHEZ MUTTAQIEN PURWAKARTA
Status Terakreditasi BAN-PT. Depdiknas RI
Program Studi : Pendidikan Agama Islam – Ahwal Al-Syakhsiyyah –
Ekonomi Syariah – Komunikasi & Penyiaran Islam – Pendidikan Bahasa Arab
Jl. Baru Maracang No. 35 Purwakarta Telp./Fax. (0264) 200092

MODUL
FILSAFAT PENDIDIKAN ISLAM
( FPI )
SMESTER 2



BAB I
PENGERTIAN, HAKIKAT, DAN SUMBER FILSAFAT PENDIDIKAN ISLAM

Filsafat Pendidikan Islam merupakan cabang disiplin ilmu filsafat pendidikan atau cabang dari filsafat islam, tetapi dalam tinjauan Islam, Filsafat merupakan disiplin yang debatable antara bagian dari islam atau ia sesuatu lain di luar Islam dan masuk diadopsi menjadi bagian dari Islam. Dalam beberapa literature Filsafat Pendidikan Islam merupakan bagian Filsafat Umum dan di yang lain ia bagian dari Filsafat Islam. Lebih khusus lagi bagian dari Filsafat Pendidikan.
A.    Pengertian Filsafat Pendidikan Dan Islam
Filsafat Pendidikan Islam adalah suatu aktifitas befikir menyeluruh dan mendalam dalam rangka merumuskan konsep dasar penyelenggaraan bimbingan, arahan dan pembinaan peserta didik agar menjadi manusia dewasa sesuai tuntunan ajaran islam, dengan mengkaji kandungan makna dan nilai-nilai dalam Al-Qur’an dan Al-Hadis.
Sedangkan Abuddin Nata (1997) mendefinisikan Filsafat Pendidikan Islam sebagai suatu kajian filosofis mengenai berbagai masalah yang terdapat dalam kegiatan pendidikan yang didasarkan pada al-Qur’an dan al-Hadis sebagai sumber primer, dan pendapat para ahli khususnya filosof muslim sebagai sumber sekunder. Selain itu, Filsafat Pendidikan Islam dikatakan Abuddin Nata suatu upaya menggunakan jasa filosofis, yakni berfikir secara mendalam, sistematik, radikal dan universal tentang masalah-masalah pendidikan, seperti masalah manusia (anak didik), guru, kurikulum, metode dan lingkungan dengan menggunakan al-Qur’an dan al-Hadis sebagai dasar acuannya..
B.    Hakikat Filsafat Pendidikan Islam
Pendapat para ahli yang mencoba merumuskan pengertian filsafat pendidikan Islam, Muzayyin Arifin mengatakan pada hakikatnya adalah konsep berpikir tentang kependidikan yang bersumberkan atau berlandaskan pada ajaran-ajaran agama Islam tentang hakekat kemampuan manusia untuk dapat dibina dan dikembangkan serta dibimbing menjadi manusia (Muslim) yang seluruh pribadinya dijiwai oleh ajaran Islam. Secara sistematikanya menyangkut subyek-obyek pendidikan, kurikulum, metode, lingkungan, guru dan sebagainya. Mengenai dasar-dasar filsafat yang meliputi pemikiran radikal dan universal menurut Ahmad D Marimba mengatakan bahwa filsafat pendidikan Islam bukanlah filsafat pendidikan tanpa batas. Adapun komentar mengenai radikal dan universal bukan berarti tanpa batas, tidak ada di dunia ini yang disebut tanpa batas, dan bukankah dengan menyatakan sesuatu itu tanpa batas, kita telah membatasi sesuatu itu. Dalam artian, apabila seorang Islam yang telah meyakini isi keimanannya, akan mengetahui di mana batas-batas pikiran (akal) dapat dipergunakan.
C.    Fungsi Filsafat Pendidikan Islam
Bila dilihat dari fungsinya, maka filsafat pendidikan Islam merupakan pemikiran mendasar yang melandasi dan mengarahkan proses pelaksanaan pendidikan Islam. Oleh karana itu filsafat ini juga memberikan gambaran tentang sampai dimana proses tersebut direncanakan dan dalam ruang lingkup serta dimensi bagaimana proses tersebut dilaksanakan. Masih dalam fungsinalnya, filsafat pendidikan Islam juga bertugas melakukan kitik-kritik tentang metode-metode yang digunakan dalam proses pendidikan Islam itu serta sekaligus memberikan pengarahan mendasar tentang bagaimana metode tersebut harus didayagunakan atau diciptakan agar efektif untuk mencapai tujuan. Dengan demikian, filsafat pendidikan Islam seharusnya bertugas dalam tiga dimensi yakni:
1.        Memberikan landasan dan sekaligus mengarahkan kepada proses pelaksanan pendidikan yang berdasarkan ajaran Islam.
2.        Melakukan kritik dan koreksi terhadap proses pelaksaaan tersebut.
3.        Melakukan evaluasi terhadap metode dari proses pendidikan tersebut.
Filasfat pendidikan Islam, menunjukkan problema yang di hadapi oleh pendidikan Islam, sebagai dari hasil yang mendalam, dan berusaha untuk memahami duduk masalahnya. Dengan analisa filsafat, maka filsfat pendidikan Islam bisa menunjukkan alternative-alternatif pemecahan maslah tersebut. Setelah melalui proses seleksi terhadap alternative-alternatif tersaebut, yang mana yang paling efektif, maka dilaksanakan alternative tersebut dalam praktek kependidikan.
Filsafat pendidikan Islam menunjukkan bahwa potensi pembawaan manusia tidak lain adalah sifat-sifat Tuhan, atau Al asma’ al husna, dan dalam mengembangkan sifat-sifat Tuhan tersebut dalam kehidupan kongkret, tidak boleh mengarah kepada menodai dan merendahkan nama dan sifat Tuhan tersebut. Hal ini akan memberikan petunjuk pembinaan kurikulum yang sesuai dan peangaturan lingkungan yang diperlukan.
D. Ruang Lingkup Filsafat Pendidikan Islam
Secara spesifik ruang lingkup yang mengindikasikan bahwa filsafat pendidikan Islam adalah sebagai sebuah disiplin ilmu. Pendapat Muzayyin Arifin yang berkenaan dengan hal ini menyatakan bahwa mempelajari filsafat pendidikan Islam berarti memasuki arena pemikiran yang serba mendasar, sistematik, terpadu, logis dan menyeluruh (universal) tentang pendidikan, yang tidak hanya dilatar belakangi oleh pengetahuan agama Islam saja, juga berdasarkan mempelajari ilmu-ilmu lain yang relevan. Konsep-konsep tersebut mulai dari perumusan tujuan pendidikan, kurikulum, guru, metode, lingkungan dan seterusnya.
E.  Kegunaan Filsafat Pendidikan Islam
Semestinya, bahwa setiap ilmu mempunyai kegunaan, menurut Omar Mohammad al-Toumy al-Syaibani misalnya mengemukakan tiga manfaat dari mempelajari filsafat pendidikan Islam, antaralain:
1.        Filsafat pendidikan itu dapat menolong para perancang pendidikan dan yang melaksanakannya dalam suatu negara untuk membentuk pemikiran sehat terhadap proses pendidikan;
2.       Filsafat pendidikan dapat menjadi asas yang terbaik untuk penilaian pendidikan dalam arti menyeluruh; dan,
3.       Filsafat pendidikan Islam akan menolong dalam memberikan pendalaman pikiran bagi factor-faktor spiritual, kebudayaan, social, ekonomi dan politik di negara kita.
F.  Metode Pengembangan Dan Sumber Filsafat Pendidikan Islam
Tentang metode pengembangan filsafat pendidikan Islam paling tidak bersumber pada 4 hal, yakni:
1.        Bahan tertulis (tekstual) al-Qur’an, al-Hadits dan pendapat pendahulu yang baik “salafus saleh”– bahan empiris, yakni dalam praktek kependidikan (kontekstual);
2.       Metode pencarian bahan; khusus untuk bahan dari al-Qur’an dan al-Hadits bisa melalui “Mu’jam al-Mufahros li Alfazh al-Karim” karya Muhammad Fuad Abd al-Baqi atau “Mu’jam al-Mufahros li Alfazh al-Hadits” karya Weinsink, dan bahan teoritis kepustakaan serta bahan teoritis lapangan;
3.       Metode pembahasan (penyajian); bisa dengan cara berpikir yang menganalisa fakta-fakta yang bersifat khusus terlebihdahulu selanjutnya dipakai untuk bahan penarikan kesimpulan yang bersifat umum (induktif); atau cara berpikir dengan menggunakan premis-premis dari fakta yang bersifat umum menuju ke arah yang bersifat khusus (deduksi); dan
4.       Pendekatan (approach); pendekatan sangat diperlukan dalam sebuah analisa, yang bisa dikategorikan sebagai cara pandang (paradigm) yang akan digunakan untuk menjelaskan suatu fenomena.

BAB II
ONTOLOGI, EPISTEMOLOGI DAN AKSIOLOGI

A.     PEMBAHASAN
1.     Ontologi Pendidikan Islam
Ontologi pendidikan Islam membahas hakikat substansi dan pola organisasi pendidikan Islam. Secara ontologis, Pendidikan Islam adalah hakikat dari kehidupan manusia sebagai makhluk berakal dan berfikir. Jika manusia bukan makluk berfikir, tidak ada pendidikan. Selanjutnya pendidikan sebagai usaha pengembangan diri manusia, dijadikan alat untuk mendidik.[1]
Kajian ontologi ini tidak dapat dipisahkan dengan Sang Pencipta. Allah telah membekalkan beberapa potensi kepada kita untuk berfikir. Pertanyaan selanjutnya apakah sebenarnya hakekat pendidikan Islam itu?
3 Kata kunci tentang pendidikan Islam yaitu :
a.       Ta’lim,  kata ini telah digunakan sejak periode awal pelaksanaan pendidikan Islam. Mengacu pada pengetahuan, berupa pengenalan dan pemahaman terhadap segenap nama-nama atau benda ciptaan Allah. Rasyid Ridha, mengartikan ta’lim sebagai proses transmisi berbagai Ilmu pengetahuan pada jiwa individu tanpa adanya batasan dan ketentuan tertentu.[2]
b.      Tarbiyah, kata ini berasal dari kata Rabb, mengandung arti memelihara, membesarkan dan mendidik yang kedalamannya sudah termasuk makna mengajar.[3]
c.       Ta’dib, Syed Muhammad Naquib al-Attas mengungkapkan istilah  yang paling tepat untuk menunjukan pendidikan Islam adalah al-Ta’dib, kata ini berarti pengenalalan dan pengakuan yang secara berangsur-angsur ditanamkan ke dalam diri manusia (peserta didik) tentang tempat-tempat yang tepat dari segala sesuatu di dalam tatanan penciptaan.[4]
Dari ketiga kata kunci di atas, berbagai pakar telah merumuskan tentang pendidikan Islam, sebagai berikut:
a.         Ahmad. D. Marimba mengatakan bahwa pendidikan Islam adalah bimbingan jasmani dan rohani menuju terbentuknya kepribadian utama menurut ukuran-ukuran Islam.[5]
b.        M. Yusuf al Qardawi mengatakan bahwa pendidikan Islam adalah pendidikan manusia seutuhnya akal dan hatinya, rohani dan jasmaninya, akhlak dan keterampilannya.[7]
Dari pendapat di atas, dapat disimpulkan bahwa pendidikan Islam adalah suatu sistem yang dapat mengarahkan kehidupan peserta didik sesuai dengan ideologi Islam.
Dengan demikian secara ontologis pemahaman terhadap pendidikan Islam tidak dapat dipisahkan dengan Allah selaku Pencipta manusia. Karena pendidikan Islam ditujukan pada terbentuknya kepribadian Muslim yang dapat memenuhi hakikat penciptaannya, yakni menjadi Pengabdi Allah.

2.    Epistemologi Pendidikan Islam
Epistemologi pendidikan Islam membahas seluk beluk dan sumber-sumber pendidikan Islam. Pendidikan Islam bersumber dari Allah SWT, Yang Maha Mengetahui Sesuatu. Hukum-hukum yang diciptakan Allahpun dapat dipahami dengan berbagai metode dan pendekatan. Pendidikan Islam merujuk pada nilai-nilai Al-Qur’an yang universal dan abadi. Serta didukung oleh hadist Nabi Muhammad SAW yang dapat dikembangkan dengan ijtihad, mashlahah al-mursalahistihsanqiyas dan sebagainya (Zakiyah Drajat, 1996: 20-21).
Ketiga kata kunci tentang Pendidikan Islam di atas disebutkan dalam Al-Qur’an dan hadist berikut ini:
“Dan Dia mengajarkan kepada Adam nama-nama benda-benda seluruhnya, kemudian mengemukakannya kepada Malaikat, lalu berfirman : “Sebutkanlah kepada-Ku jika kamu memang orang-orang yang benar” (Al-Baqarah ayat: 31)
“Wahai Tuhanku kasihilah mereka berdua, sebagaimana mereka berdua telah mendidik aku di masa kecil.”(Al-Isra’ ayat 24).
Hadist Nabi Muhammad SAW “Aku dididik oleh Tuhanku (addabani Rabbi), maka dia memberikan kepadaku sebaik-baik pendidikan (fa ahsana ta’dibi).
Selanjutnya objek material Filsafat Pendidikan Islam yaitu segala hal yang berkaitan dengan usaha manusia untuk menciptakan kondisi yang memberi peluang berkembangnya kecerdasan dan kepribadian melalui pendidikan. Objek formal: Usaha yang rasional, mendasar, general, dan sistematis dalam mengembangkan kecerdasan dan kepribadian melalui pendidikan.
Untuk lebih jelasnya, objek materi ilmu pendidikan Islam yaitu anak didik. Sedangkan objek formalnya ialah perbuatan mendidik yang membawa anak, ke arah tujuan pendidikan Islam. Sehingga secara epistemologi, Kurikulum pendidikan Islam harus merujuk pada Al-Qur’an dan hadist.
Sumber-sumber yang menunjukkan bahwa manusia sebagai makhluk yang dapat menerima pelajaran dari Tuhan tentang apa yang tidak diketahuinya ada pada surat Al-Alaq, 96: ayat 1-5: “Bacalah dengan (menyebut) nama Tuhanmu Yang menciptakan. Dia telah menciptakan manusia dari segumpal darah. Bacalah, dan Tuhanmulah Yang Maha Pemurah,  Yang mengajar (manusia) dengan perantaran kalam, Dia mengajar kepada manusia apa yang tidak diketahuinya.” 
Manusia sebagai makhluk yang memiliki kemampuan mengatur waktu (QS. Al-Ashr, 103 :1-3, “Demi masa, Sesungguhnya manusia itu benar-benar dalam kerugian, kecuali orang-orang yang beriman dan mengerjakan amal saleh dan nasehat menasehati supaya mentaati kebenaran dan nasehat menasehati supaya menetapi kesabaran.
Manusia mendapatkan bagian dari apa yang telah dikerjakannya, (QS an-Najm, 53-39). “Dan bahwasanya seorang manusia tiada memperoleh selain apa yang telah diusahakannya”
Manusia sebagai makhluk yang memiliki keterikatan dengan moral atau sopan santun (QS. Al Ankabut 29:8).
“Dan Kami wajibkan manusia (berbuat) kebaikan kepada dua orang ibu-bapaknya. Dan jika keduanya memaksamu untuk mempersekutukan Aku dengan sesuatu yang tidak ada pengetahuanmu tentang itu, maka janganlah kamu mengikuti keduanya. Hanya kepada-Ku-lah kembalimu, lalu Aku kabarkan kepadamu apa yang telah kamu kerjakan.”
Dari sebagian ayat di atas, jelaslah bahwa sumber-sumber pendidikan Islam berasal dari Allah SWT, Sang Maha Pencipta. Al-Qur’an sebagai pedoman hidup manusia.

3.    Aksiologi Pendidikan Islam
Aksiologi Pendidikan Islam berkaitan dengan nilai-nilai, tujuan, dan target yang akan dicapai dalam pendidikan Islam. Nilai-nilai tersebut harus dimuat dalam kurikulum pendidikan Islam, diantaranya:
1)    Mengandung petunjuk Akhlak
2)    Mengandung upaya meningkatkan kesejahteraan hidup manusia dibumi dan kebahagiaan di akherat.
3)    Mengandung usaha keras untuk meraih kehidupan yang baik.
4)    Mengandung nilai yang dapat memadukan antara kepentingan kehidupan dunia dan akhirat.
Menurut Abuddin Nata tujuan pendidikan Islam, untuk mewujudkan manusia yang shaleh, taat beribadah dan gemar beramal untuk tujuan akherat.[9]
Muhammad Athiyah al-Abrasy mengatakan “the fist and highest goal of Islamic is moral refinment and spiritual, training” (tujuan pertama dan tertinggi dari pendidikan Islam adalah kehalusan budi pekerti dan pendidikan jiwa)”[10]
Menurut Abdul Fatah Jalal, tujuan umum pendidikan Islam ialah terwujudnya manusia sebagai hamba Allah. Jadi menurut Islam, pendidikan haruslah menjadikan seluruh manusia yang menghambakan kepada Allah. Yang dimaksud menghambakan diri ialah beribadah kepada Allah.
Dari beberapa pendapat di atas, dapat kami simpulkan tujuan utama pendidikan Islam adalah untuk mendapatkan Ridha Allah SWT. Dengan pendidikan Islam, diharapkan lahir individu-indidivu yang baik, bermoral, berkualitas, sehingga bermanfaat bagi diri, keluaga, masyarakat, negara dan ummat manusia secara keseluruhan. Meraih kebahagiaan dunia dan akherat.



BAB IV
HAKIKAT ALAM SEMESTA
1.       Alam Semesta dalam perspektif Falsafah Pendidikan Islam
Alam dalam pandangan Filsafat Pendidikan Islam dapat dijelaskan sebagai berikut. Kata alam berasal dari bahasa Arab ’alam (عالم ) yang seakar dengan ’ilmu (علم, pengetahuan) dan alamat (مة علا, pertanda). Ketiga istilah tersebut mempunyai korelasi makna. Alam sebagai ciptaan Tuhan merupakan identitas yang penuh hikmah. Dengan memahami alam, seseorang akan memperoleh pengetahuan. Dengan pengetahuan itu, orang akan mengetahui tanda-tanda atau alamat akan adanya Tuhan.[1] Dalam bahasa Yunani, alam disebut dengan istilah cosmos yang berarti serasi, harmonis. Karena alam itu diciptakan dalam keadaan teratur dan tidak kacau. Alam atau cosmos disebut sebagai salah satu bukti keberadaaan Tuhan, yang tertuang dalam keterangan Al-qur`an sebagai sumber pokok dan menjadi sumber pelajaran dan ajaran bagi manusia.[2]
Dari satu sisi alam semesta dapat didefenisikan sebagai kumpulan jauhar yang tersusun dari maddah (materi) dan shurah (bentuk), yang dapat diklasifikasikan ke dalam wujud konkrit (syahadah) dan wujud Abstrak (ghaib). Kemudian, dari sisi lain, alam semesta bisa juga dibagi ke dalam beberapa jenis seperti benda-benda padat (jamadat), tumbuh-tumbuhan (nabatat), hewan (hayyawanat), dan manusia.[5]
Menurut Shihab sebagaimana yang dikutip oleh Al-rasyidin dalam bukunya falsafah pendidikan Islam Kata `alam terambil dari akar kata yang sama dengan `ilm dan `alamah, yaitu sesuatu yang menjelaskan sesuatu selainnya. Oleh karena itu dalam konteks ini, alam semesta adalah alamat, alat atau sarana yang sangat jelas untuk mengetahui wujud tuhan, pencipta yang Maha Esa, Maha Kuasa, dan Maha Mengetahui. Dari sisi ini dapat dipahami bahwa keberadaaan alam semesta merupakan tanda-tanda yang menjadi alat atau sarana bagi manusia untuk mengetahui wujud dan membuktikan keberadaan serta kemahakuasaan Allah Swt.[7]
Di dalam Al Qur'an pengertian alam semesta dalam arti jagat raya dapat dipahami dengan istilah "assamaawaat wa al-ardh wa maa baynahumaa"[8]. Istilah ini ditemui didalam beberapa surat Al Qur'an yaitu: Dalam surat maryam ayat 64 dan 65 
Dan tidaklah kami (Jibril) turun, kecuali dengan perintah Tuhanmu. kepunyaan-Nya-lah apa-apa yang ada di hadapan kita, apa-apa yang ada di belakang kita dan apa-apa yang ada di antara keduanya, dan tidaklah Tuhanmu lupa (64). Tuhan (yang menguasai) langit dan bumi dan apa-apa yang ada di antara keduanya, Maka sembahlah dia dan berteguh hatilah dalam beribadat kepada-Nya. apakah kamu mengetahui ada seorang yang sama dengan dia (yang patut disembah)?(65)
Dalam surat ar-rum ayat 22
Dan di antara tanda-tanda kekuasaan-Nya ialah menciptakan langit dan bumi dan berlain-lainan bahasamu dan warna kulitmu. Sesungguhnya pada yang demikan itu benar-benar terdapat tanda-tanda bagi orang-orang yang Mengetahui.
Dalam surat al-anbiya ayat 16
Dan tidaklah kami ciptakan Iangit dan bumi dan segala yang ada di antara keduanya dengan bermain-main.

Dapat ditarik kesimpulan bahwa alam semesta bermakna sesuatu selain Allah Swt, maka apa-apa yang terdapat di dalamnya baik dalam bentuk konkrit (nyata) maupun dalam bentuk abstrak (ghaib) merupakan bahagian dari alam semesta yang berkaitan satu dengan lainnya.

2.      Proses penciptaan alam semesta
Mengenai proses penciptaan alam semesta, Al-Qur'an telah menyebutkan secara gamblang mengenai hal tersebut, dan dapat dipahami bahwa proses penciptaan alam semesta menurut al-Qur`an adalah secara bertahap. Hal ini dapat diketahui melalui firman Allah Swt dalam Surat Al Anbiya ayat 30:
"Dan apakah orang-orang yang kafir tidak mengetahui bahwasanya langit dan bumi itu keduanya dahulu adalah sesuatu yang padu, kemudian Kami pisahkan antara keduanya. Dan daripada air Kami jadikan segala sesuatu yang hidup. Maka mengapakah mereka tiada juga yang beriman?"
Apabila dikaitkan dengan sejumlah teori seputar terjadinya kosmos menurut sains modern, maka konsep penciptaan semesta yang tertera dalam Al-Qur'an tidak dapat disangkal lagi kebenarannya.
Adanya kumpulan kabut gas dan terjadinya pemisahan-pemisahan kabut gas tersebut atau dikenal dengan proses evolusi terbentuknya alam semesta, sudah dipaparkan secara jelas oleh Al-Qur'an jauh sebelum sains modern mengemukakannya[10]. Berkenaan Ayat tentang asal mula alam semesta dari kabut/nebula terdapat dalam surat fushilat ayat 9 sampai 12 yaitu: 
Katakanlah: "Sesungguhnya patutkah kamu kafir kepada yang menciptakan bumi dalam dua masa dan kamu adakan sekutu-sekutu bagiNya? (yang bersifat) demikian itu adalah Rabb semesta alam".(9) Dan dia menciptakan di bumi itu gunung-gunung yang kokoh di atasnya. dia memberkahinya dan dia menentukan padanya kadar makanan-makanan (penghuni)nya dalam empat masa. (Penjelasan itu sebagai jawaban) bagi orang-orang yang bertanya.(10) Kemudian dia menuju kepada penciptaan langit dan langit itu masih merupakan asap, lalu dia Berkata kepadanya dan kepada bumi: "Datanglah kamu keduanya menurut perintah-Ku dengan suka hati atau terpaksa". keduanya menjawab: "Kami datang dengan suka hati".(11) Maka dia menjadikannya tujuh langit dalam dua masa. dia mewahyukan pada tiap-tiap langit urusannya. dan kami hiasi langit yang dekat dengan bintang-bintang yang cemerlang dan kami memeliharanya dengan sebaik-baiknya. Demikianlah ketentuan yang Maha Perkasa lagi Maha Mengetahui.(12)
Dapat ditarik kesimpulan melalui ayat-ayat diatas, yaitu: Disebutkan bahwa antara langit dan bumi (kosmos) semula merupakan satu kesatuan lalu mengalami proses pemisahan. Disebutkan adanya kabut gas (dukhan) sebagai materi penciptaan kosmos. Disebutkan pula bahwa penciptaan kosmos (alam semesta) tidak terjadi sekaligus, tetapi secara bertahap.
Al-Rasyidin mengungkapkan bahwa Allah Swt menciptakan alam semesta ini tidak sekaligus atau sekali jadi, akan tetapi melalui beberapa tahapan, masa atau proses. Dalam sejumlah surah, al-Qur`an selalu menggunakan istilah fi sittah ayyam, yang dapat diterjemahkan dalam arti enam hari, enam masa atau enam periode.[11] Adapun ayat yang menceritakan tentang penciptaan alam dalam enam masa terdapat pada surat yunus ayat 3 dan surat Al-Araf ayat 54 adalah: 
Sesungguhnya Tuhan kamu ialah Allah yang menciptakan langit dan bumi dalam enam masa, Kemudian dia bersemayam di atas 'Arsy untuk mengatur segala urusan. tiada seorangpun yang akan memberi syafa'at kecuali sesudah ada izin-Nya. (Dzat) yang demikian Itulah Allah , Tuhan kamu, Maka sembahlah Dia. Maka apakah kamu tidak mengambil pelajaran?
Sesungguhnya Tuhan kamu ialah Allah yang Telah menciptakan langit dan bumi dalam enam masa, lalu dia bersemayam di atas 'Arsy. dia menutupkan malam kepada siang yang mengikutinya dengan cepat, dan (diciptakan-Nya pula) matahari, bulan dan bintang-bintang (masing-masing) tunduk kepada perintah-Nya. Ingatlah, menciptakan dan memerintah hanyalah hak Allah . Maha Suci Allah , Tuhan semesta alam.
Dalam surat An-Naaziat ayat 27-33 menerangkan proses penciptaan bumi dan alam semesta. 
Apakah kamu lebih sulit penciptaanya ataukah langit? Allah Telah membinanya(27), Dia meninggikan bangunannya lalu menyempurnakannya (28), Dan dia menjadikan malamnya gelap gulita, dan menjadikan siangnya terang benderang (29), Dan bumi sesudah itu dihamparkan-Nya (30), Ia memancarkan daripadanya mata airnya, dan (menumbuhkan) tumbuh-tumbuhannya (31), Dan gunung-gunung dipancangkan-Nya dengan teguh (32), (semua itu) untuk kesenanganmu dan untuk binatang-binatang ternakmu (33).
Proses penciptaan alam semesta diungkapkan dengan menggunakan istilah yang beragam seperti Khalaqa, sawwa, Fatara, Sakhara, Ja`ala, dan Bada`a. semua sebutan untuk penciptaan ini mengandung makna mengadakan, membuat, mencipta, atau menjadikan, dengan tidak meniscayakan waktu dan tempat penciptaan. Dengan kata lain, bahwa penciptaan alam semesta tidak mesti harus di dahului oleh ruang dan waktu.[12]
Dalam diskursus keagamaan dan kefilsafatan, hakikat penciptaan telah terjadi perdebatan panjang yang bermuara pada adanya perbedaan interpretasi etimologis terhadap terma-terma yang digunakan oleh AlQur`an. Para teolog muslim berpendapat bahwa ala mini diciptakan dari ketiadaaan (al-khalq min `adam) atau creation ex nihillo. Bagi mereka, karena Allah maha kuasa, maka dalam menciptakan sesuatu dari ketiadaaan bukanlah suatu kemustahilan.[13] Di pihak lain, dengan berdasarkan logika dan ilmu serta dengan pengamatan terhadap fenomena alam secara alamiah, para filosof berpendapat bahwa penciptaan terjadi atas dasar pengubahan bahan dari bentuk yang satu ke bentuk yang lain.[14]
Terlepas dari perdebatan panjang mengenai penciptaan alam semesta ini, maka Al-Qur`an telah menerangkan bahwa alam diciptakan oleh Allah Swt melalui tahapan dan proses, dan tidak terjadi sekaligus. Dalam hal ini pemakalah mengambil kesimpulan bahwa:
a.    Alam semesta diciptakan oleh Allah secara bertahap dan berproses
b.    Asal mula penciptaan alam semesta berasal dari asap
c.     Penciptaan alam semesta terbentuk melalui enam masa atau enam hari atau enam periode
Dari keterangan di atas pemakalah mengindikasikan bahwa keterkaitan tentang proses penciptaan alam semesta bagi manusia dalam pendidikan, adalah manusia yang sudah mempunyai potensi dari Allah Swt dalam mengembangkan potensi tersebut tidak dapat dilakukan secara spontan, namun harus dilakukan dengan proses dan tahapan panjang melalui alam ini, sebagai sarana dan fasilitas yang menghantarkan manusia untuk memperoleh ilmu pengetahuan yang seluas-luasnya.
3.    Tujuan dan Fungsi Penciptaan Alam Semesta
Dalam perspektif Islam, tujuan penciptaan alam semesta pada dasarnya adalah sarana untuk menghantarkan manusia pada pengetahuan dan pembuktian tentang keberadaan dan kemahakuasaan Allah Swt.[15] Keberadaaan alam semesta merupakan petunjuk yang jelas tentang keberadaaan Allah Swt. Oleh karena itu dalam mempelajari alam semesta, manusia akan sampai pada pengetahuan bahwa Allah Swt adalah Zat yang menciptakan alam semesta.
Alam semesta merupakan ladang ilmu bagi manusia yang darinya dapat diperoleh berbagai manfaat dalam memenuhi segala kebutuhan manusia yang pada akhirnya manusia itu akan dituntut untuk dapat mensyukuri atas apa-apa yang mereka peroleh dan mereka nikmati dari pemberian Allah swt. Hal ini terlihat dari firman Allah swt dalam surat an-nahl:14 yaitu:
Dan Dia-lah, Allah yang menundukkan lautan (untukmu), agar kamu dapat memakan daripadanya daging yang segar (ikan), dan kamu mengeluarkan dari lautan itu perhiasan yang kamu pakai; dan kamu melihat bahtera berlayar padanya, dan supaya kamu mencari (keuntungan) dari karunia-Nya, dan supaya kamu bersyukur.
Keterkaitan alam terhadap pendidikan Islam adalah alam semesta tercipta sebagai sesuatu yang khusus bagi manusia untuk mengemban amanah dari Allah Swt sebagai khalifah yang akan memimpin, memelihara, menjaga serta menjadikan alam ini sebagai sarana dalam berkehidupan dengan meraih berbagai wawasan ilmu pengetahuan. Dengan memamfaatkan sebaik-baiknya apa saja yang terkandung dari penciptaan alam ini. Dari itulah manusia akan tahu apa hakikat tujuan diciptakannya alam semesta bagi mereka yang pada intinya akan menghantarkan manusia menjadi hamba yang beriman dan bertaqwa kepada Allah Swt.

4.      Implikasi penciptaan alam semesta terhadap pendidikan islam
Alam semesta adalah media pendidikan sekaligus sebagai sarana yang digunakan oleh manusia untuk melangsungkan proses pendidikan. Didalam alam semesta ini manusia tidak dapat hidup dan “mandiri” dengan sesungguhnya. Karena antara manusia dan alam semesta saling membutuhkan dan saling melengkapi antara satu dengan yang lainnya. Dimana alam semesta ini butuh manusia untuk merawat dan memeliharanya sedangkan manusia butuh alam semesta sebagai sarana berinteraksi dengan manusia lainnya.[25] 
Omar[26] berpendapat bahwa makhluk, benda dan apa yang ada di sekelilignya adalah bahagian alam luas dan insan itu sendiri dianggap sebagai sebahagian dari alam ini. Sebab itu proses pendidikan manusia dan peningkatan mutu akhlaknya bukan sekedar nyata terbentuk dari alam yang bersifat sosial, akan tetapi dapat juga terbentuk melalui alam alamiah yang bersifat material.
Dari keterangan di atas mengindikasikan bahwa alam juga dapat memberikan pengaruh besar bagi setiap individu atau kelompok manusia yang berbeda-beda melalui tempat tinggal, daerah atau iklim. Sehingga secara tidak langsung akan membentuk sebuah watak dan sifat yang berbeda-beda.
Meskipun alam diciptakan dan ditundukan Allah Swt untuk manusia, bukan berarti manusia dapat mengetahui dan memahami apa-apa yang terdapat dari padanya, karena sampai sekarang pun fenomena alam dengan segala kerahasiaan Allah Swt dalam menciptakannya masih menjadi misteri yang belum terpecahkan secara tuntas. Oleh dasar inilah Al-Quran mengajurkan kepada manusia untuk terus menggali khazanah yang terdapat dari penciptaan alam semesta ini. Anjuran dan kemungkinan untuk mempelajari alam semesta tertuang di berbagai ayat-ayat al-quran yang di antaranya:
Surat Yunus ayat 101
Katakanlah: "Perhatikanlah apa yaag ada di langit dan di bumi. tidaklah bermanfaat tanda kekuasaan Allah dan rasul-rasul yang memberi peringatan bagi orang-orang yang tidak beriman".
Dalam perspektif Islam, manusia harus merealisasikan tujuan kemanusiaanya di alam semesta, baik sebagai Syahid Allah , `abd Allah maupun Khalifah Allah . Dalam konteks ini menurut Al-Rasyidin bahwa Allah Swt menjadikan alam semesta sebagai wahana bagi manusia untuk bersyahadah akan keberadaaan dan kemahakuasaan-Nya. Wujud nyata yang menandai syahadah itu adalah penuaian sebagai makhluk `ibadah dan pelaksanaan tugas-tugas sebagai khalifah. Beliau juga menjelaskan bahwa alam semesta merupakan institusi pendidikan, yakni tempat di mana manusia dididik, dibina, dilatih, dan dibimbing agar berkemampuan merealisasikan atau mewujudkan fungsi dan tugasnya sebagai `abd Allah dan khalifah dalam menerapkan amal ibadah dan amal shalih kepada Allah Swt. Melalui proses pendidikan di alam semesta inilah, kelak Allah Swt akan menilai siapa diantara hamban-Nya yang mampu meraih markah atau prestasi terbaik.[29]
Wilayah studi objek pendidikan islam tidak saja berkaitan dengan hal-hal yang dapat diamati oleh indera manusia ( fenomena) saja, tetapi mencakup segala sesuatu yang tidak dapat diamati oleh indera manusia (noumena). Yang berhubungan dengan hal-hal yang konkrit, maka keberadaaan alam syahadah sebagai objek kajian pendidikan islam menghendaki aktivitas pengamatan inderawi, penalaran rasional, dan eksperimentasi ilmiah. Sementara itu, yang berkaitan dengan hal-hal yang ghaib, untuk dapat memahami dan mengetahuinya dibutuhkan aktivitas supra inderawi dan supra rasional. Karenaya dalam pendidikan islam , ilmu-ilmu pengetahuan yang akan ditransformasikan ke dalam diri peserta didik tidak hanya terbatas pada pengetahuan inderawi dan rasional, tetapi juga mengenai ilmu-ilmu laduny, isyraqi, ilumunasi, dan kewahyuan[30].
Proses pendidikan menghantarkan manusia untuk dapat memahami dengan benar tentang keberadaaan alam semesta bersamaan dengan apa yang terkandung di dalamnya, bagaimana manusia mampu menggunakan alam sebagai institusi dan objek dalam mengembangkan potensi yang sudah ada.

BAB IV

A.    Hakikat Hereditas, Lingkungan, dan Kebebasan Manusia
1.     Hakikat Hereditas
Menurut Morris L. Bigge (1982) bahwa sifat dasar/bawaan dasar moral adalah baik, jelek, atau netral sedangkan hubungan manusia dengan lingkungannya bersifat aktif, pasif, dan interaktif. Dari konsep ini berlanjut dengan lahirnya hukum empirisme, nativisme, dan konvergensi. [1]
a.    Teori (hukum) Empirisme
Teori empirisme ini mengatakan bahwa perkembangan dan pembentukan manusia itu ditentukan oleh faktor-faktor lingkungan, termasuk pendidikan.  Sebagai pelopor empirisme ialah John Locke (1632-1704) yang dikenal dengan teori “tabularasa” atau empirisme. Menurut teori tabularasa, bahwa tiap individu lahir sebagai kertas putih, dan lingkungan itulah yang memberi corak atau tulisan dalam kertas putih tersebut. Bagi John Locke pengalaman yang berasal dari lingkungan itulah yang menentukan pribadi seesorang.
b.    Teori (hukum) Nativisme
Teori ini dipelopori oleh Athur Schopenhauer (1788-1860) mengatakan bahwa perkembangan pribadi hanya ditentukan oleh bawaan (kemampuan dasar), bakat serta faktor-faktor endogen yang bersifat kodrati.
c.     Teori (hukum) Konvergensi
Teori konvergensi yang dipelopori oleh William Stern (1871-1938) ini, mengatakan bahwa perkembangan manusia itu berlangsung atas peengaruh dari faktor-faktor bakat/kemampuan dasar (endogen/bawaan) dan faktor alam sekitar (eksogen/ajar) termasuk pendidikan dan sosial budaya. Karena dalam kenyataan bahwa kemampuan dasar yang baik saja, tanpa dibina oleh alam lingkungan terutama lingkungan sosial termasuk peendidikan tidak akan dapat mencontek pribadi yang ideal. Sebaliknya, lingkungan yang baik terutama pendidikan, tetapi tidak didukung oleh kemampuan dasar tadi, tidak akan menghasilkan kepribadian yang ideal. Oleh karena itu, perkembangan pribadi sesungguhnya adalah hasil persenyawaan antara faktor endogen dan eksogen.[2]
Hereditas merupakan kecenderungan alami cabang-cabang untuk meniru sumber mulanya dalam komposisi fisik dan psikologi. Ahli hereditas lainnya menggambarkan sebagai penyalinan cabang-cabang dari sumbernya (Baqir sharif al-qarashi, 2003). Paling tidak ada tiga teori tentang hereditas yakni hereditas partiality, coalition, dan association. Hereditas dengan (1). Pernikahan (partiality) yakni anak yang lahir mewarisi salah satu dari dua sumber aslinya secara keseluruhan atau sebagian besar sifat-sifatnya. (2). Cara penyatuan (coalition) yakni sifat anak tidak menyalin cabang-cabang dari sumber aslinya. Anaknya tidak menanggung sifat-sifat fisik yang sama dengan kedua orangtua mereka dan mungkin anak menyalin sifat dari pihak ibu maupun kakeknya. Baik dari pihak ibu maupun ayahnya. (3). cara penggabungan (association) yakni anak menyalin salah satu sifat tertentu dari sumber aslinya, seperti dari ayah dan menyalin sifat lain dari sang ibu.[3]  
Prinsip-prinsip hereditas seperti ditulis oleh Ki RBS. Fudyartanto (2002) ada empat, yakni prinsip reproduksi, prinsip konformitas, prinsip variasi, dan prinsip filial.
1.      Prinsip Reproduksi
Hereditas yang diturunkan kepada anak oleh orangtuanya menurut prisip ini adalah berbeda satu dengan yang lain. Bakat yang diperoleh anak berasal dari belajar bukan dari sel-sel benih yang diturunkan oleh kedua orangtuanya.
2.  Prinsip Konformitas
Berdasarkan prinsip konformitas setiap jenis atau golongan (spesies) akan menghasilkan jenisnya sendiri bukan jenis yang lain. Contohnya jenis manusia pasti akan menghasilkan jenis manusia bukan yang lain.
3.  Prinsip Variasi
Prinsip ini memberikan landasan berpikir bahwa sel-sel benih (germsel) berisi banyak determinan yang mempunyai mekanisme percampuran atau perpaduan sehingga menghasilkan perbedaan-perbedaan individual.
4.     Prinsip Regresi Filial
Prinsip regresi filial adalah bahwa sifat-sifat dari orangtuanya akan menghasilkan keturunan dengan kecenderungan pada sifat rata-rata pada umumnya.[4]
Perkembangan manusia dipengaruhi oleh hereditas dan lingkungan tempat tinggal. Hereditas merupakan kekuatan yang terbawa atau diturunkan dari generasi tua kepada generasi muda melalui perantaraan sel-sel benih, bukan melalui sel-sel somatis atau sel-sel badan.[5]
Dalam sehari-hari sering dikacaukan arti kedua kata yakni pembawaan dan keturunan. Kedua kata itu seolah sama, namun jika dipahami lebih dalam kedua kata tersebut berbeda makna.
a.     Keturunan
Kita dapat mengatakan bahwa sifat-sifat atau ciri-ciri yang terdapat dari seseorang anak adalah keturunan, jika sifat atau ciri tersebut diwariskan atau diturunkan melalui sel-sel kelamin dari generasi yang lain.
Dengan demikian kita harus berhati-hati dalam menentukan sesuatu itu merupakan keturunan ataukah bukan. Bisa saja sifat atau ciri-ciri tersebut merupakan pengaruh lingkungan.  Besarnya perbedaan antara dua individu atau lebih selalu bergantung pada suatu faktor, yakni pembawaan-keturunan dan pengaruh lingkungan. Disamping itu lebih sukar lagi apabila akan menentukan keturunan mengenai sifat-sifat kejiwaan. Sebab, sifat-sifat kejiwaan itu lebih sulit daripada sifat-sifat kejasmanian dan lebih mudah berubah atau terpengaruh oleh keadaan lingkungannya selama berkembang.[6]
b.       Pembawaan
Pembawaan ialah seluruh kemungkinan-kemungkinan atau kesanggupan-kesanggupan (potensi) yang terdapat pada suatu individu dan yang selama masa perkembangannya benar-benar dapat diwujudkan (direalisasikan). Demikianlah kita dapat mengatakan bahwa anak atau manusia itu sejak dilahirkan telah meempunyai kesanggupan untuk dapat berjalan, potensi untuk berkata-kata dan lain-lain. Potensi yang bermacam-macam itu tidak begitu saja direalisasikan, namun perlu pelatihan-pelatihan khusus. Juga tiap-tiap potensi memiliki kematangan masing-masing. Kesanggupan seorang anak untuk berjalan dan bercakap-cakap yang telah ada dalam pembawaannya akan berkembang, dan karena lingkungan serta kematangannya  pada suatu saat tertentu anak dapat berjalan dan berkata-kata. Pendeknya dapat kita simpulkan bahwa pembawaan ialah semua kesanggupan-kesanggupan yang dapat diwujudkan. kesanggupan-kesanggupan (potential ability) itu sendiri yang sebenarnya sudah ada dalam pembawaan, tidak dapat kita amati. Hanya dengan mengamati prestasi-prestasi (actual ability), bentuk wataknya dan tingkah laku suatu individu sajalah kita dapat mengambil kesimpulan tentang sesuatu pembawaan tertentu dari individu. Pembawaan atau bakat terkandung dalam sel-benih (kiem-cel), yaitu : keseluruhan kemungkinan-kemungkinan yang ditentukan oleh keturunan, inilah yang dalam arti terbatas kita namakan pembawaan.[9] 
2.   Hakikat Lingkungan
          Lingkungan dalam arti luas mencakup iklim dan geografis, tempat tinggal, adat istiadat, dan alam. Dengan kata lain, lingkungan adalah segala sesuatu yang tampak dan terdapat dalam alam kehidupan. Ia adalah seluruh yang ada, baik berupa manusia maupun benda alam yang bergerak ataupun tidak bergerak.[10] Dengan demikian, lingkungan adalah sesuatu yang melingkupi hidup dan kehidupan manusia.
Lingkungan merupakan salah satu faktor pendidikan yang ikut serta menentukan corak pendidikan, termasuk pendidikan Islam, yang tidak sedikit pengaruhnya terhadap anak didik. Lingkungan yang dimaksud di sini adalah lingkungan yang berupa keadaan sekitar yang memengaruhi anak didik.[11]
Adapun lingkungan pendidikan secara sederhana berarti lingkungan tempat terjadinya pendidikan. M. Arifin menyebut lingkungan pendidikan dengan istilah lembaga pendidikan. Menurutnya, salah satu faktor yang memungkinkan terjadinya proses pendidikan Islam secara konsisten dan berkesinambungan adalah Institusi atau lembaga pendidikan Islam.[12] Dari sini Abudin Nata memahami lingkungan pendidikan Islam sebagai suatu Institusi atau lembaga tempat pendidikan itu berlangsung. Di dalamnya terdapat ciri-ciri keislaman yang memungkinkan terselenggaranya pendidikan Islam dengan baik. Lingkungan pendidikan berfungsi sebagai penunjang terjadinya proses kegiatan belajar mengajar secara aman, tertib, dan berkelanjutan.[13]
1.      Keluarga
2.      Sekolah
3.      Masyarakat
Dari beberapa prinsip Filsafat Pendidikan Islam tentang alam telah disebutkan bahwa alam semesta merupakan penentu keberhasilan proses pendidikan. Adanya interaksi antara peserta didik dengan benda atau lingkungan alam sekitar tempat mereka hidup merupakan prinsip Filsafat Pendidikan Islam yang perlu diperhatikan. Prinsip ini menekankan bahwa proses pendidikan manusia dan peningkatan mutu akhlaknya bukan sekedar terjadi dalam lingkungan sosial semata, melainkan juga dalam lingkungan alam yang bersifat material. Jadi, alam semesta merupakan tempat dan wahana yang memungkinkan proses pendidikan berhasil. Semboyan “kembali ke alam” merupakan salah satu filsafat pendidikan yang menghendaki alam sebagai lingkungan pendidikan.[26]
1.      Hakikat Kebebasan Manusia
          Pada umumnya, kata “kebebasan” berarti ketiadaan paksaan. Ada bermacam-macam paksaan dan kebebasan. Kebebasan fisik adalah ketiadaan paksaan fisik. Kebebasan moral adalah ketiadaan paksaan moral hukum atau kewajiban. Misalnya, di Inggris orang bebas secara moral untuk mengkritik pemerintah. Tidak ada paksaan, hukum atau keharusan apa pun yang melarang hal itu.
          Kebebasan psikologi adalah ketiadaan paksaan psikologis. Suatu paksaan psikologis berupa kecendurangan-kecenderungan yang memaksa seseorang untuk melakukan perbuatan-perbuatan tertentu atau sebaliknya tidak mungkin melakukan beberapa tindakan tertentu. Demikianlah, seekor binatang yang lapar dipaksa oleh kelaparannya untuk memakan makanan yang diberikan kepadanya, kelinci dipaksa oleh ketakutannya untuk melarikan diri. Binatang binatang tidak dipaksa untuk melakukan hal itu oleh suatu ketakutan luar atau suatu keharusan moril. Mereka dipaksa berbuat demikian oleh pengaruh yang menekan dari kecenderungan-kecenderungan mereka. Secara psikologis, mereka tidak bebas. Sebaliknya, manusia yang lapar dapat menahan diri untuk tidak makan, dan seorang prajurit yang ditakutkan oleh bom-bom mempunyai kesanggupan untuk tetap berada diposnya. Manusia secara psikologis bebas.
          Kebebasan psikologis disebut juga kebebasan untuk memilih, karena kebebasan itulah yang memungkinkan subyek memilih antara berbagai tindakan yang mungkin. Orang menyebutnya juga sebagai kualitas kehendak, yang dapat berbuat atau tidak berbuat, atau berbuat dengan cara begini atau begitu.
Alasan-alasan yang membenarkan adanya kebebasan
1.      Argumen persetujuan umum
Sebagian besar manusia percaya bahwa mereka diperlengkapi dengan kehendak bebas. Dan keyakinan itu sangat penting bagi keseluruhan hidup manusia maka dari itu, seandainya ada keteraturan dalam dunia, pandangan sebagian besar umat manusia itu tidak mungkin keliru. Jadi orang dapat menyimpulkan bahwa kehendak manusia adalah bebas. Tetapi orang dapat mengajukan keberatan bahwa dalam hal ilmu pengetahuan dan filsafat hendaknya orang lebih baik mengikuti pendapat mereka yang telah mempelajari persoalannya, walaupun mereka merupakan minoritas, daripada secara membuta menyetujui pendapat mayoritas yang kurang kompetensi.
2.      Argumen psikologis
Kita baru saja menggarisbawahi bahwa sebagian besar manusia secara spontan mengakui kebebasan. Dari manakah datangnya keyakinan semacam itu? Itu adalah hasil dari pengalaman. Tiap hari kita mengalami bahwa kita bebas, paling tidak sampai batas tertentu. Secara langsung atau tidak langsung kita menyadari hal itu. Pertama secara langsung persis dalam tindakan untuk memutuskan sesuatu. Lalu secara tidak langsung berdasarkan berbagai keadaan yang mengiringi tingkah laku kita dan yang tak bisa dimengerti tanpa adanya kebebasan.
3.      Argumen etis
Seandainya tidak ada kebebasan, tidak akan ada juga tanggung jawab moral, kebajikan, jasa, keharusan moral, kewajiban. Hubungan yang kuat antara kebebasan dengan realitas-realitas spiritual itu jelas, dan salah satu tugas dari etika adalah memperlihatkannya. Alasan itu sangat kuat, karena rasa kewajiban moral adalah sangat wajar pada manusia. Kahn, yang mengatakan bahwa kebebasan itu tidak dapat dibuktikan oleh akal teoritis, namun mengakui bahwa manusia itu bebas, berdasarkan keyakinannya atas rasa kewajiban yang dianggapnya sebagai suatu hal yang eviden dari pihak akal prektek.[27]
B.    Hubungan Hereditas, Lingkungan, dan Kebebasan Manusia dalam Pendidikan Islam.
Manusia sebagai hamba Allah SWT sekaligus khalifah di bumi, dianugerahi Allah SWT berupa kelengkapan jasmaniah (fisiologis) dan rahaniah (mental psikologis) yang dapat ditumbuhkembangkan dengan optimal, sehingga dapat melaksanakan tugasnya dengan baik dan maksimal. Untuk menumbuh kembangkan kemampuan dasar manusia baik jasmani maupun rohani, pendidikan merupakan sarana dalam menentukan sampai mana titik optimal kemampuan-kemampuan tersebut dapat dicapai.[31]
Lingkungan atau alam sekitar punya peranan penting dalam pendidikan Islam. Lingkungan adalah elemen yang signifikan dalam membentuk personalitas serta pencapaian keinginan-keinginan individu dalam kerangka umum peradaban. Individu-individu di masyarakat mengikuti kebiasaan yang ada disekitarnya sadar atau tidak sadar. Lingkungan yang dimaksud disini mencakup segala materiil dan stimuli didalam dan diluar individu yang meliputi sifat-sifat sebagai berikut:[32]
a.       Fisiologis
Secara fisiologis lingkungan meliputi segala kondisi dan materi jasmani di dalam tubuh seperti gizi, vitamin, air, zat asam, suhu, sistem saraf, peredaran darah, pernafasan, pencernaan makanan, kelenjar indoktrin sel-sel pertubuhan dan kesehatan jasmani.
b.      Psikologis
Secara psikologis lingkungan mencakup segala stimulasi yang diterima oleh individu mulai sejak dikandungan, kehidupannya dan kematiannya.
c.       Sosio kultural
Secara sosio-kultural berarti lingkungan mencakup segala stimulasi interaksi dan kondisi eksternal dalam hubungannya dengan perlakuan atau karya orang lain, pola hidup keluarga, pendidikan, tradisi, dan ilmu-ilmu sosial.
Pendapat lain mengatakan bahwa yang dimaksud dengan lingkungan fisik adalah lingkungan alam, seperti keadaan geografis, iklim, kondisi ekologi dan lain sebagainya. Sedangkan lingkungan sosial adalah lingkungan yang berupa manusia manusia yang ada disekitar individu, yang berinteraksi dengan mereka, seperti orangtuanya, saudara-saudaranya, tetangganya dan lain-lain.[33]


BAB V
PARADIGMA PENDIDIKAN ISLAM

A.     Pengertian Paradigma Pendidikan Islam
Paradigma adalah kumpulan tata nilai yang membentuk pola pikir seseorang sebagai titik tolak pandangannya sehingga akan membentuk citra subyektif seseorang—mengenai realita—dan akhirnya akan menentukan bagaimana seseorang menanggapi realita itu. Paradigma merupakan istilah yang dipopulerkan Thomas Khun dalam karyanya The Structure of Scientific Revolution (Chicago: The Univesity of Chicago Prerss, 1970). Paradigma di sini diartikan Khun sebagai kerangka referensi atau pandangan dunia yang menjadi dasar keyakinan atau pijakan suatu teori.
Menurut Muhammad Iqbal, pendidikan bukan hanya proses belajar mengajar belaka untuk mentransformasikan pengetahuan dan berlangsung secara sederhana dan mekanistik. Melainkan, pendidikan adalah keseluruhan yang mempengaruhi kehidupan perseorangan maupun kelompok masyarakat, yang seharusnya menjamin kelangsungan kehidupan budaya dan kehidupan bersama memantapkan pembinaan secara intelegen dan kreatif. Proses pendidikan ini mencakup pembinaan diri secara integral untuk mengantarkan manusia pada kesempurnaan kemanusiannya tanpa mesti terbatasi oleh sistem transformasi pengetahuan secara formal dalam lingkungan akademis. Pada akhirnya, pendidikan dalam arti luas mencakup penyelesaian masalah-masalah manusia secara umum dan mengantarkan manusia tersebut pada tujuan hidupnya yang mulia.
Menurut Freire, pendidikan ialah tindakan cinta kasih dan keberanian. Pendidikan tidak boleh membuat orang yang akan menganalisis realitas menjadi takut.
Kualitas yang dihasilkan dari output pendidikan sangat ditentukan oleh proses yang terjadi dalam interaksi pendidikan. Keseluruhan proses dan metode dalam pendidikan didasarkan pada tujuan yang ingin dicapai dari pendidikan tersebut. Sedangkan tujuan pendidikan ditentukan berdasarkan pilihan paradigma yang dijadikan dasar dalam pendidikan.
B.       Macam-macam Paradigma
Henry Giroux dan Arronnawitz membagi paradigma pendidikan ke dalam tiga aliran utama, yaitu :

1.     Paradigma konservatif
Yaitu paradigma pendidikan yang lebih berorientasi pada pelestarian dan penerusan pola-pola kemapanan sosial serta tradisi. Paradigma pendidikan konservatif sangat mengidealkan masa silam (past oriented) sebagai patron ideal dalam pendidikan. Paradigma konservatif melahirkan jenis kesadaran sebagaimana yang disebutkan oleh Paulo Freire, sebagai kesadaran magis. Yaitu jenis kesadaran yang tak mampu mengkaitkan antara satu faktor dengan faktor lainnya sebagai hal yang berkaitan. Kesadaran magis lebih melihat faktor diluar kesadaran manusia sebagai penyebab dari segala kejadian.

2.    Paradigma pendidikan liberal
yaitu paradigma pendidikan yang berorientasi mengarahkan peserta didik pada prilaku-prilaku personal yang efektif, dengan mengejar prestasi individual. Sehingga yang terjadi adalah persaingan individual yang akan mengarahkan peserta didik pada individualisme dan tidak melihat pendidikan sebagai proses pengembangan diri secara kolektif. Paradigma pendidikan liberal melahirkan bentuk kesadaran naif. Yaitu jenis kesadaran ini menganggap aspek manusia secara individulah yang menjadi penyebab dari akar permasalahan.

3.    Paradigma pendidikan kritis
Yaitu paradigma pendidikan yang menganut bahwa pendidikan adalah diorientasikan pada refleksi kritis terhadap sistem dan struktur sosial yang menyebabkan terjadinya berbagai ketimpangan. Paradigma pendidikan kritis mengarahkan peserta didik pada kesadaran kritis, yaitu jenis kesadaran yang melihat realitas sebagai satu kesatuan yang kompleks dan saling terkait satu sama lain.
Paradigma pendidikan sangat berimplikasi terhadap pendekatan dan metodologi pendidikan dan pengajaran. Salah satu bentuk implikasi tersebut adalah perbedaan bentuk dalam pola belajar mengajar antara pola paedagogy dengan pola andragogy.
Untuk memahami pendidikan Islam tidak bisa dilakukan hanya dengan melihat sepotong apa yang ditemukan dalam realitas penyelenggaraan pendidikan Islam, tapi mesti melihatnya dari sistem nilai yang menjadi landasan paradigmanya. Hasan Langgulung menyatakan sangat keliru jika mengkaji pendidikan Islam hanya dari lembaga-lembaga pendidikan yang muncul dalam sejarah Islam, dari kurikulum, apalagi hanya dari metode mengajar, dan melepaskan masalah idiologi Islam. Idiologi atau paradigma pendidikan Islam merupakan gambaran utuh tentang ketuhanan, alam semesta, dan tentang manusia yang dikaitkan dengan semua teori pendidikan Islam sehingga semuanya merupakan satu kesatuan yang utuh dan menyeluruh. Sehingga diperlukan suatu paya untuk menegaskan kembali paradigma yang diperlukan untuk mengembangkan pendidikan Islam.
Dalam pelaksanaan pendidikan sebagai proses timbal balik antara pendidik dengan anak didik melibatkan faktor-faktor pendidikan guna mencapai tujuan tujuan pendidikan dengan didasari nilai-nilai tertentu. Nilai-nilai tertentu itulah kemudian disebut sebagai dasar paradigma pendidikan. Istilah dasar paradigma pendidikan dimaksudkan sebagai landasan tempet berpijak atau pondasi berdirinya suatu sistem pendidikan.
Dasar paradigma pendidikan Islam identik dengan dasar Islam itu sendiri. Keduanya berasal dari sumber yang sama yaitu Al-quran dan al-Hadis. Dari kedua sumber inilah kemudian muncul sejumlah pemikiran mengenai masalah umat Islam yang meliputi berbagai aspek, termasuk di antaranya masalah pendidikan Islam. (Muhaimin, Filsafat Pendidikan Islam Konsep dan pemikirannya). Sebagai dasar pendidikan Islam Al-Quran dan Al-Hadis adalah rujukan untuk mencari, membuat dan mengembangkan paradigma, konsep, prinsip, teori, dan teknik pendidikan Islam.
Ahmad Tafsir (1994) menyatakan bahwa pendidikan dalam Islam merupakan sebuah rangkaian proses pemberdayaan manusia menuju kedewasaan, baik secara akal, mental maupun moral, untuk menjalankan fungsi kemanusiaan yang diemban sebagai hamba Allah dan sebagai khalifah di bumi. Karena fungsi pendidikan adalah mempersiapkan peserta didik dengan kemampuan dan keahlian yang diperlukan agar memiliki kemampuan dan kesiapan untuk terjun ke tengah masyarakat. Dalam lintasan sejarah peradapan Islam peran pendidikan ini benar-benar mampu membentuk peradaban sehingga peradaban Islam menjadi peradaban terdepan sekaligus peradaban yang mewarnai sepanjang Jazirah Arab hingga Eropa Timur. Untuk itu adanya sebuah paradigma pendidikan yang memberdayakan peserta didik erupakan sebuah keniscayaan. Kemajuan peradaban dan kebudayaan Islam tidak lepas dari adanya sistem dan paradigma pendidikan yang dilaksanakan pada masa itu.
Cikal bakal pendidikan Islam dimulai ketika Umar bin Khatab mengirimkan petugas khusus ke berbagai wilayah Islam untuk menjadi nara sumber bagi masyarakat Islam di wilayah tersebut. Mereka biasanya bermukim di masjid dan mengajarkan tentang Islam kepada Umat Islam melalui khalaqoh-khalaqoh majlis khusus untuk mempelajari agama dan mengkaji disiplin dan persoalan lain sesuai dengan apa yang diperlukan masyarakat.
Istitusi pendidikan Islam yang modern baru muncul pada akhir abad X M. Dengan didirikannya perguruan (universitas) Al-Azhar di Kairo. Selain dilengkapi oleh perpustakaan dan laboratorium juga sudah diberlakukan kurikulum pengajaran yang berisi disiplin-disiplin ilmu yang harus diajarkan kepada peserta didik. Kurikulum yang diajarkan adalah kurikulum yang berimbang. Makdunya selain ilmu-ilmu agama juga diajarkan ilmu-ilmu akal sepertilogika, kedokteran, geografi, matematika dsb.
Istitusi pendidikan Islam yang ideal pada masa itu yang lainnya adalah madrasah Nizamiyah. Perguruan ini sudah menggunakan sistem sekolah. Arinya telah ditentukan waktu penerimaan siswa, tes kenaikan, ujian akhir sekolah, pengelolaan dana sendiri, kelengkapan fasilitas, perekrutan tenaga pengajar yang selektif, dan pemberian bea siswa untuk siswa berprestasi.
Selain adanya institusi pendidikan yang memiliki kapabilitas yang tinggi, pada masa kejayaan Islam, kegiatan keilmuan benar-benar mendapat perhatian serius dari pemerintah. Sehingga kebebasan akademik benar-benar dapat dilaksanakan, kebebasan berpendapat benar-benar dihargai, kalangan akademis selalu didorong untuk senantiasa mengembangkan ilmu melalui forum-forum diskusi, perpustakaan selalu terbuka untuk umum, bahkan perpustakaan istana pun terbuka untuk umum. (Ahmad Warid Khan Okt 1998). Namun setelah kejatuhan Bagdad pada tahun 1258 M, dunia pendidikan Islam pun mengalami kemunduran. Paradigma pendidikan Islam pun mengalami perubahan besar dari sebuah paradigma yang progresif dengan dilandasi keinginan menegakkan agama Allah menjadi paradigma yang sekedar mempertahankan apa yang telah ada.
Tujuan akhir pendidikan dalam Islam adalah proses pembentukan diri anak didik agar sesuai dengan fitrah keberadaannya (al-Attas,1984). Hal ini meniscayakan adanya kebebasan gerak bagi setiap elemen dalam dunia pendidikan terutama peserta didik untuk mengembangkan diri dan potensi yang dimilikinya secara maksimak. Pada kejayaan Islam, pendidikan telah mampu menjalankan perannya sebagai wadah pemberdayaan peserta didik. Namun seiring dengan kemunduran dunia Islam, dunia pendidikan Islam pun turut mengalami kemundurun.
Dari gambaran kejayaan dunia pendidikan Islam terdapat beberapa hal yang dapat digunakan untuk kembali membangkitkan dan menempatkan dunia pendidikan Islam pada peran yang semestinya sekaligus menata ulang paradigma pendidikan Islam dari pasif-defensif menjadi aktif-progre intelektual senantiasa dilandasi oleh, Pertama, menempatkan kembali seluruh aktifatas pendidikan di bawah frame work agama. Artinya, seluruh aktifitas intelektual senantiasa dilandasi oleh nilai-nilai agama, di mana tujuan akhir dari seluruh aktifitas adalah upaya menegakan agama dan mencari ridlo Allah. Kedua, adanya perimbangan antara disiplin ilmu agama dan pengembangan intelektualitas dalam kurikulum pendidikan. Salah satu faktor utama dari marginalisasi dalam dunia pendidikan adalah kecenderungan untuk lebih menitikberatkan pada pengembangan ilmu non-agama, bahkan menolak kajian-kajian non-agama. Oleh karena itu, penyeimbangan antara materi agama dan non agama dalam dunia Islam adalah sebuah keniscayaan jika ingin dunia pendidikan Islam kembali survive di tengah masyarakat.

BAB VI
KOMPONEN DASAR PENDIDIKAN ISLAM

A.   Pengertian Pendidikan Islam
Untuk mengetahui pendidikan lebih jelas, maka kita uraikan terlebih dahulu pendidikan definisi secara umum.
Dalam Dictionary of Education dijelaskan bahwa pendidikan adalah:
1.      Proses di mana seseorang mengembangkan kemampuan sikap dan bentuk-bentuk tingkah lainnya dalam masyarakat di mana dia hidup.
2.     Suatu proses sosial di mana orang dihadapkan pada pengaruh lingkungan yang terpilih dan terkontrol, sehingga seseorang dapat memperoleh dan mengalami perkembangan kemampuan individual dan sosial secara optimal.

Pengertian pendidikan menurut para ahli  :
1.      Langeveled
Pendidikan adalah usaha, pengaruh dan perlindungan yang diberikan kepada anak tertuju pada pendewasaan anak supaya cakap di dalam melaksanakan tugas hidupnya.
2.     J.J. Rousseau
Pendidikan adalah memberi kita pembekalan uang tidak ada pada masa anak-anak, akan tetapi dibutuhkan pada waktu dewasa.
3.     Ki Hajar Dewantara
Pendidikan adalah tuntunan di dalam hidup tumbuhnya anak-anak agar mereka sehingga anggota masyarakat dapat mencapai keselamatan adan kebahagiaan yang setinggi-tingginya. 
4.     Dwikara
Pendidikan adalah pemanusiaan manusia/mengangkat manusia ke taraf insani.
5.     Pengertian pendidikan menurut UU
UU Sisdiknas tahun 1989 " Pendidikan adalah usaha sadar untuk menyiapkan peserta didik melalui kegiatan bimbingan, pengajaran, latihan bagi peranannya di masa akan datang"
UU No. 20 tahun 2003  " Pendidikan adalah usaha sadar dan terencana untuk mewujudkan suasana belajar dan proses pembelajaran agar peserta didik secara aktif mengembangkan potensi dirinya untuk memiliki kekuatan spiritual, pengendalian diri, kecerdasan, akhlak mulia, serta ketrampilan yang diperlukan dirinya untuk masyarakat, bangsa, bangsa dan negara.
Dari definisi di atas, dapat disimpulkan bahwa pendidikan adalah suatu upaya atau proses mempercepat perkembangan manusia untuk kemampuan mengemban tugas dan beban hidup, sebagai kodrat manusia yang memiliki pikiran, yakni manusia yang dapat terdidik dan mendidik.
Pengertian Pendidikan Islam
1.      Haidar Putar Daulay
Pendidikan Islam adalah pendidikan yang bertujuan untuk membentuk pribadi muslim seutuhnya, mengembangkan seluruh potensi manusia baik yang berbentuk jasmani maupun rohani
2.     Marimba
Pendidikan Islam adalah adalah bimbingan jasmani-rohani berdasarkan hukum-hukum agama Islam, menuju terbentuknya kepribadian utama menurut ukuran-ukuran Islam.
Dari pengertian pendidikan maupun pendidikan Islam di atas, maka dapat diambil kesimpulan bahwa pendidian Islam adalah usaha sadar untuk mengarahkan peserta didik menjadi pribadi muslim yang kamil dan berasaskan Islam.
Pendidikan Islam merupakan hal yang terintegrasi dan tak dapat dipisahkan dari ajaran Islam sendiri. Konsep ilmu dalam Islam-sebagai salah satu unsur pendidikan-hendaknya mengacu kepada lingkungan dan kebutuhan masyarakat . Karena itu harus bersifat applicable.
B.      KOMPONEN DASAR PENDIDIKAN ISLAM
Komponen merupakan bagian dari suatu sistem yang meiliki peran dalam keseluruhan berlangsungnya suatu proses untuk mencapai tujuan sistem. Komponen pendidikan berarti bagian-bagian dari sistem proses pendidikan, yang menentukan berhasil dan tidaknya atau ada dan tidaknya proses pendidikan. Bahkan dapat diaktan bahwa untuk berlangsungnya proses kerja pendidikan diperlukan keberadaan komponen-komponen tersebut.
Komponen-komponen yang memungkinkan terjadinya proses pendidikan atau terlaksananya proses mendidik minimal terdiri dari 4 komponen
.. Berikut akan diuraikan satu persatu komponen-komponen tersebut.

1.      Tujuan Pendidikan
Sebagai ilmu pengetahuan praktis, tugas pendidikan dan atau pendidik maupun guru ialah menanamkam sistem-sistem norma tingkah-laku perbuatan yang didasarkan kepada dasar-dasar filsafat yang dijunjung oleh lembaga pendidikan danpendidik dalam suatu masyarakat. Adapun tujuan pendidikan Islam itu sendiri identik dengan tujuan Islam sendiri. Tujuan pendidikan Islam adalah memebentuk manusia yang berpribadi muslim kamil serta berdasarkan ajaran Islam. Hal ini dapat dilihat dalam firman Allah QS. Ali Imran ayat 102.
2.     Peserta Didik
Sehubungan dengan persoalan anak didik disekolah Amstrong 1981 mengemukakan beberapa persoalan anak didik yang harus dipertimbangkan dalam pendidikan. Persoalan tersebut mencakup apakah latar belakang budaya masyarakat peserta didik ? bagaimanakah tingkat kemampuan anak didik ? hambatan-hambatan apakah yang dirasakan oleh anak didik disekolah ? dan bagaimanakah penguasaan bahasa anak di sekolah ?
Berdasarkan persoalan tersebut perlu diciptakan pendidikan yang memperhatikan perbedaan individual, perhatian khusus pada anak yang memiliki kelainan, dan penanaman sikap dan tangggung jawab pada anak dididk.
3.     Pendidik
Salah satu komponen penting dalam pendidikan adalah pendidik. Terdapat beberapa jenis pendidik dalam konsep pendidikan sebagai gejala kebudayaan, yang tidak terbatas pada pendidikan sekolah saja.. Guru sebagai pendidik dalam lembaga sekolah, orang tua sebagai pendidik dalam lingkungan keluarga, dan pimpinan masyarakat baik formal maupun informal sebagai pendidik dilingkungan masyarakat.
Sehubungan dengan hal tersebut diatas Syaifullah (1982) mendasarkan pada konsep pendidikan sebagai gejala kebudayaan, yang termasuk kategori pendidik adalah
:
a.     Orang Dewasa
Orang dewasa sebagai pendidik dilandasi oleh sifat umum kepribadian orang dewasa , yakni: (1) manusia yang memiliki pandangan hidup prinsip hidup yang pasti dan tetap, (2) manusia yang telah memiliki tujuan hidup atau cita-cita hidup tertentu, termasuk cita-cita untuk mendidik, (3) manusia yang cakap mengambil keputusan batin sendiri atau perbuatannya sendiri dan yang akan dipertanggungjawabkan sendiri, (4) manusia yang telah cakap menjadi anggota masyarakat secara konstruktif dan aktif penuh inisiatif, (5) manusia yang telah mencapai umur kronologs paling rendah 18 th, (6) manusia berbudi luhur dan berbadan sehat, (7) manusia yang berani dan cakap hidup berkeluarga, dan (8) manusia yang berkepribadian yang utuh dan bulat.

b.     Orang Tua
Kedudukan orang tua sebgai pendidik, merupakan pendidik yang kodrati dalam lingkungan keluarga. Artinya orang tua sebagai pedidik utama dan yang pertama dan berlandaskan pada hubungan cinta-kasih bagi keluarga atau anak yang lahir di lingkungan keluarga mereka.
c.     Guru/Pendidik di Sekolah
Guru sebagai pendidik disekolah yang secara lagsung maupun tidak langsung mendapat tugas dari orang tua atau masyarakat untuk melaksanakan pendidikan. Karena itu kedudukan guru sebagai pendidik dituntut memenuhi persyaratan-persyaratan baik persyaratan pribadi maupun persyaratan jabatan. Persyaratan pribadi didasrkan pada ketentuan yang terkait dengan nilai dari tingkah laku yang dianut, kemampuan intelektual, sikap dan emosional. Persyaratan jabatan (profesi) terkait dengan pengetahuan yang dimiliki baik yang berhubungan dengan pesan yangingin disampaikan maupun cara penyampainannya, dan memiliki filsafat pendidikan yang dapat dipertanggungjawabkan.
d.    Pemimpin Masyarakat dan Pemimpin Keagamaan
Selain orang dewasa, orang uta dan guru, pemimpin masyarakat dan pemimpin keagamaan merupakan pendidik juga. Peran pemimpin masyarakat menjadi pendidik didasarkan pada aktifitas pemimpin dalam mengadakan pembinaan atau bimbingan kepada anggota yang dipimpin. Pemimpin keagaam sebagai pendidik, tampak pada aktifitas pembinaan atau pengembangan sifat kerokhanian manusia, yang didasarkan pada nilai-nilai keagamaan.
4.     Isi Pendidikan
Isi pendidikan memiliki kaitan yang erat dengan tujuan pendidikan. Untuk mencapai tujuan pendidikan perlu disampaikan kepada peserta didik isi/bahan yang biasanya disebut kurikulum dalam pendidikan formal. Isi pendidikan berkaitan dengan tujuan pendidikan, dan berkaitan dengan manusia ideal yang dicita-citakan.
Untuk mencapai manusia yang ideal yang berkembang keseluruhan sosial, susila dan individu sebagai hakikat manusia perlu diisi dengan bahan pendidikan.
Macam-macam isi pendidikan tersebut terdiri dari pendidikan agama., pendidikan moril, pendidikan estetis, pendidikan sosial, pendidikan civic, pendidikan intelektual, pendidikan keterampilan dan peindidikan jasmani.
5.     Konteks yang Memepengaruhi Suasana Pendidikan Lingkungan
 Lingkungan pendidikan meliputi segala segi kehidupan atau kebudayaan. Hal ini didasarkan pada pendapat bahwa pendidikan sebagai gejala kebudayaan, yang tidak membatasi pendidikan pada sekolah saja. Lingkungan pendidikan dapat dikelompokkan berdasarkan lingkungan kebudayaan yang terdiri dari lingkungan kurtural ideologis, lingkungan sosial politis, lingkungan sosial.
6.       Sarana
Sarana atau media pendidikan berguna untuk membantu dalam proses pendidikan sehingga sesuai dengan apa yang diharapkan.
7.        Metode
Metode dimaksudkan sebagai jalan dalam sebuah transfer nilai pendidikan oleh pendidik kepada peserta didik. Oleh karena itu pemakaian metode dalam pendidikan Islam mutlak dibutuhkan.
8.       Sistem/Kurikulum
Sistem pembelajaran yang baik akan semakin menambah peluang untuk berhasilnya sebuah pendidikan.
Keseluruhan komponen-komponen tersebut merupakan satu kesatuan yang saling berkaitan dalam proses pendidikan untuk mencapai tujuan pendidikan.


BAB VII
PENDIDIKAN ISLAM DALAM KELUARGA

A.   Pengertian Pendidikan Islam
Menurut H.M. Chalib Thoha pendidikan islam adalah pendidikan yang falsafah dan tujuan serta teori-teori dibangun untuk melaksanakan praktek pendidikan yang didasarkan nilai-nilai dasar islam yang terkandung dalam al-quran dan hadits nabi.
Menurut prof. Dr. Oemar Muhammad At-Toumy Al-Syaebani, pendidikan islam diartikan sebagai usaha merubah tingkah laku individu didalam kehidupan pribadinya atau kehidupan kemasyarakatannya dan kehidupan dalam alam sekitar melalui proses pendidikan.

B.   Pengertian Keluarga
Dalam islam, keluarga dikenal dengan istilah “usrah”. sedangkan menurut pandangan antropologi keluarga adalah suatu kesatuan sosial terkecil yang dimiliki oleh manusia sebagai makhluk sosial yang memiliki tempat tinggal untuk berlindung, mendidik, berkembang, dan lain sebagainya. Inti sebuah keluarga adalah ayah, ibu dan anak.
Keluarga muslim adalah keluarga yang mendasarkan aktivitasnya pada pembentukan keluarga yang sesuai dengan syariat islam, menurut Abdurrahman An-Nahlawi, tujuan terpenting dari pembentukan keluarga adalah sebagai berikut:
1.      Mendirikan syariat allah dalam segala permasalahan rumah tangga.
2.     Mewujudkan ketenteraman dan ketenangan psikologi.
3.     Mewujudkan sunnah rasul dengan melahirkan anak-anak saleh sehingga rasul merasa bangga dengan kehadiran kita.
4.     Memenuhi kebutuhan cinta kasih anak.
5.     Menjaga fitrah anak agar tidak melakukan peyimpangan-penyimpangan.
Dalam lingkungan keluarga terletak dasar-dasar pendidikan. di sini pendidikan berlangsung dengan sendirinya sesuai tatanan pergaulan yang berlaku didalamnya, artinya tanpa harus diumumkan atau ditulis terlebih dahulu agar diketahui dan diikuti oleh seluruh anggota keluarga . di sini diletakkan dasar-dasar pengalaman melalui rasa kasih sayang dan penuh kecintaan, kebutuhan akan kewibawaan dan nilai-nilai kepatuhan. justru karena pergaulan yang demikian itu berlangsung dalam hubungan yang bersifat pribadi dan wajar, maka penghayatan terhadapnya mempunyai arti yang amat penting.
Jadi, pendidikan Islam dalam keluarga yaitu pendidikan yang diberikan anggota kelurga terutama orang tua kepada anaknya dalam lingkungan keluarga itu sendiri untuk membentuk kepribadian anak menjadi muslim dengan adanya perubahan sikap dan tingkah laku yang sesuai dengan ajaran Islam.
C.   Aspek-Aspek Pendidikan Islam Dalam Keluarga
Sebagai realisasi tanggung jawab orang tua dalam mendidik anak, ada beberapa aspek yang sangat penting untuk diperhatikan orang tua, yaitu:
1.      Pendidikan ibadah.
2.     Pokok-pokok ajaran islam dan membaca Al-Quran.
3.     Pendidikan akhlakul karimah.
4.     Pendidikan akidah islamiyah.

D.   Tanggung Jawab Orang Tua Dalam Pendidikan Islam
Motivasi pengabdian keluarga (ayah-ibu) dalam mendidik anak-anaknya semata-mata demi cinta kasih yang kodrati, sehingga dalam suasana cinta kasih dan kemesraan inilah proses pendidikan ini berlangsung dengan baik seumur anak dalam tanggungan utama keluarga. Kewajiban ayan-ibu dalam memendidik anak-anaknya tidak menuntut untuk memiliki profesionalitas yang tinggi, karena kewajiban tersebut berjalan dengan sendirinya sebagai adat atau tradisi. Sehingga tidak hanya orang tua yang berdap dan berilmu tinggi saja yang dapat mendidik, tetapi juga orangtua yang masih memiliki taraf pendidikan yang minim. Hal tersebut karena kewajiban mendidik anak merupakan naluri pedagogis bagi setiap individu yang menginginkan anaknya menjadi lebih baik dari pada keadaan dirinya.
Dalam penanaman pandangan hidup beragama, fase kanak-kanak merupakan fase yang paling baik untuk meresapkan dasar-dasar hidup beragama. Teknik yang paling tepat dalam proses pendidikan adalah dengan teknik imitasi, yaitu proses pembinaan anak secara tidak langsung, yaitu ayah dan ibu membiasakan hidup rukun, istiqamah melakukan ibadah baik di rumah, di masjid, atau di tempat-tempat lainnya sambil mengajak anak-anaknya, sehingga sekaligus membina anak-anaknya untuk mengikuti dan meniru hal-hal yang dilakukan orang tuanya.
Sebagai pendidik anak-anaknya, ayah dan ibu mempunyai kewajiban dan memiliki bentuk yang berbeda karena keduanya berbeda kodrat. Berikut ini ada beberapa kewajiban dari ayah dan ibu dalam mendidik anak-anaknya:
1.     Ayah
a)    Ayah merupakan sumber kekuasaan memberikan pendidikan anaknya tentang manajemen dan kepemimpinan
b)    Sebagai penghubung antara keluarga dan masyarakat dengan memberikan pendidikan anaknya komunikasi terhadap sesamanya
c)    Memberi rasa aman dan perlindungan, sehingga ayah memberikam pendidikan sikap yang bertanggung jawab dan waspada.
d)   Di samping itu, ayah sebagai hakim dan pengadilan dalam perselisihan yang memberikan pendidikan anaknya berupa sikap tegas, menjunjung keadilan tanpa memihak yang salah, dan berlaku rasional dalam memberi pendidikan anaknya dan menjadi dasar-dasar pengembangan daya nalar serta daya intelek, sehingga menghasilkan kecerdasan intelektual.
Dalam Al-Qur’an disebutkan bahwa ayah berkewajiban mencari nafkah untuk mecukupi kebutuhan keluarganya melalui pemanfaatan karunia allah swt di muka bumi dan selanjutnya dinafkahkan pada anak-istrinya.
Apabila telah ditunaikan shalat, maka bertebaranlah kamu di muka bumi; dan carilah karunia allah dan ingatlah allah banyak-banyak supaya kamu beruntung. (QS. Al Jumu’ah: 10)
2.    Ibu
Ibu berkewajiban sebagai:
a)    Sumber kasih sayang yang memberikan pendidikan sifat ramah tamah, asah, asih, dan asuh kepada anak-anaknya.
b)    Pengasuh dan pemelihara keluarga yang memberikan pendidikan berupa kesetiaan kepada tanggung jawab.
c)    Sebagai tempat pencurahan isi hati yang memberikan pendidikan berupa sikap keterusterangan, terbuka, dan tidak suka menyimpan derita atau rasa pribadi.
d)   Sebagai pengatur kehidupan rumah tangga yang memberikan pendidikan berupa keterampilan-keterampilan khusus anaknya berupa hidup rukun, gotong royong, ukhuwah, toleransi, serta menciptakan suasana dinamis, harmonis dan kreatif.
e)    Serta sebagai pendidik di bidang emosi anak yang dapat mendidik anaknya berupa kepekaan daya rasa dalam memandang sesuatu, yang melahirkan kecerdasan emosional.
Menurut Abdul Mujib dalam bukunya menyebutkan bahwa ada enam dasar-dasar pendidikan yang diberikan kepada anak dari orang tuanya:
1.      Dasar pendidikan budi pekerti; memberi norma pandangan hidup tertentu walaupun masih dalam bentuk yang sederhana kepada anak
2.     Dasar pendidikan sosial; melatih anak dalam tata cara bergaul yang baik terhadap lingkungan sekitar.
3.     Dasar pendidikan intelek; anak diajarkan kaidah pokok dalam percakapan, bertutur bahasa yang baik, kesenian yang disajikan dalam bentuk permainan.
4.     Dasar pembentukan kebiasaan; pembinaan kepribadian yang baik dan wajar, yaitu membiasakan kepada anak untuk hidup yang teratur, bersih, tertib, disiplin, rajin yang dilakukan secara berangsur-angsur tanpa unsur paksaan.
5.     Dasar pendidikan kewarganegaraan; memberikan norma nasionalisme dan patriotisme, cinta tanah air dan berperikemanusiaan yang tinggi.
6.     Dasar pendidikan agama; melatih dan membiasakan ibadah kepada Allah SWT, sembari meningkatkan aspek keimanan dan ketakwaan anaknya kepada-Nya.
Dalam pandangan islam, anak adalah amanat yang dibebankan oleh allah swt kepada orang tuanya. Oleh karena itu, harus menjaga, memelihara, dan mendidik serta menyampaikan amanah itu kepada yang berhak menerimanya. Karena manusia adalah milik allah swt mereka harus mengantarkan anaknya untuk mengenal dan menghadapkan diri kepada allah swt.
Dalam kaitan ini pula menurut abdurahman an-nahlawi orang tua pendidik berkewajiban melakukan dua langkah yaitu:
1.      Membiasakan anak untuk mengingat kebesaran dan nikmat allah, serta semangat mencari dalil dalam mengesakan allah swt melalui tanda kebesaran-nya.
2.     Membiasakan anak-anak unttuk mewaspadai penyimpangan- penyimpangan yang kerap membiasakan dampak negatif terhadap diri anak.

E.   Tujuan Pendidikan Islam
Pendidikan islam sebagai suatu proses pengembangan potensi kreatifitas peserta didik, bertujuan untuk mewujudkan manusia yang beriman dan bertaqwa kepada allah swt., cerdas, terampil, memiliki etos kerja yang tinggi, berbudi pekerti luhur, mandiri dan bertanggung jawab terhadap dirinya, bangsa dan negara serta agama. Proses itu sendiri sudah berlangsung sepanjang sejarah kehidupan manusia.
Menurut hasan langgulung, tujuan pendidikan islam adalah suatu istilah untuk mencari fadilah, kurikulum pendidikan islam berintikan akhlak yang mulia dan mendidik jiwa manusia berkelakuan dalam hidupnya sesuai dengan sifat-sifat kemanusiaan yakni kedudukan yang mulia yang diberikan allah swt melebihi makhluk-makhluk lain dan dia diangkat sebagai khalifah.
Senada dengan pendapat tersebut abdurrahman an-nahlawi berpendapat bahwa tujuan pendidikan islam adalah merealisasikan penghambaan kepada allah dalam kehidupan manusia baik secara individual maupun secara kelompok.
Menurut pendapat prof. H. Abuddin Nata, ma., bahwa tujuan pendidikan islam memiliki ciri-ciri sebagai berikut:
1.      Mengarahkan manusia agar menjadi khalifah tuhan di muka bumi dengan sebaik-baiknya, yaitu melaksanakan tugas-tugas memakmurkan dan mengolah bumi sesuai dengan kehendak tuhan.
2.     Mengarahkan manusia agar seluruh pelaksanaan tugas kekhalifahannya di muka bumi dilaksanakan dalam rangka beribadah kepada allah swt, sehingga tugas tersebut terasa ringan dilaksanakan.
3.     Mengarahkan manusia agar berakhlak mulia, sehingga ia tidak menyalahgunakan fungsi kekhalifahannya.
4.     Membina dan mengarahkan potensi akal, jiwa dan jasmaninya, sehingga ia memiliki ilmu, akhlak, dan keterampilan yang semua ini dapat digunakan guna mendukung tugas pengabdian dan kekhalifahannya.
5.     Mengarahkan manusia agar dapat mencapai kebahagiaan hidup di dunia dan di akhirat.
Apabila perumusan tersebut dikaitkan dengan ayat-ayat al-quran dan hadits maka tujuan pendidikan islam adalah sebagai berikut:
1.      Menumbuhkan dan mengembangkan ketakwaan kepada allah swt.
2.     Menumbuhkan sikap dan jiwa yang selalu beribadah kepada allah swt.
3.     Membina dan memupuk akhlakul karimah.
Kunci pendidikan dalam rumah tangga sebenarnya terletak pada pendidikan agama. Karena pendidikan agamalah yang berperan penting dalam membentuk pandangan hidup seseorang. Ada dua arah mengenai kegunaan pendidikan agama dalam keluarga, yaitu
1.      Menanamkan nilai pengetahuan pada anak
2.     Pendidikan jasmani dan akal yang diberikan di sekolah sekarang mempunyai banyak teori. Belum tentu semua teori itu sesuai dengan ajaran agama. Bila anak sudah memiliki basis nilai agama yang dibawa dari rumah, secara sederhana ia dapat memberikan nilai terhadap teori-teori yang diajarkan di sekolah. Misalnya, saat guru mengajarkan bahwa materialisme itu menolak tuhan dan itu baik, maka murid akan segera bereaksi kalau teori itu salah. Dari mana ia tahu kalau itu salah? Ia tahu dari nilai agama yang telah diperolehnya di rumah atau dari guru agamanya di sekolah. Kemampuan menyaring dan memberi nilai teori pengetahuan seperti ini sangat penting artinya bagi anak itu dalam perkembangan pengetahuannya di kemudian hari.
3.     Penanaman sikap menghargai guru dan apa yang dididikannya.
4.     Keberhasilan pendidikan di sekolah bisa di dapat jika murid bisa menghormati guru dan menghargai pengetahuan gurunya. Untuk menanamkan sikap itu sebenarnya pendidikan agama (islam)-lah yang merupakan kunci utama. Pendidikan agama islam itu dilakukan di rumah sebagai lembaga pertama dan utama.





BAB VIII
PEMIKIRAN AL-ZARNUJI DALAM KITAB TA’LI AL-MUTA’ALLIM TENTANG PENDIDIKAN ISLAM
( Telaah Dalam Perpektif Filsafat Pendidikan)


A.   Sketsa Pengarang Kitab Ta’lim al-Muta’allim
Pengarang kitab Ta’lim al-Muta’llim Tariq al-Ta’allum ialah al-Zarnuji,   yang nama lengkapnya adalah Syekh Tajuddin Nu’man bin Ibrahim bin al-Khalil Zarnuji.[3] Dalam Kamus Islam terdapat dua sebutan yang ditujukan kepadanya, yakni al-Zarnuji ialah Burhanuddin al-Zarnuji, yang hidup pada abad ke-6 H/ 13-14 M dan Tajuddin al-Zarnuji, ia adalah Nu’man bin Ibrahim yang wafat pada tahun 645H.[4] Al-Zarnuji adalah seorang sastrawan dari Bukhara,[5] dan termasuk ulama yang hidup pada abad ke-7 H, atau sekitar abad ke-13-14 M, ia dapat dikenal pada tahun 593 H dengan kitab Ta’lim al-Muta’lim.[6] Kitab ini telah diberi syarah (komentar) oleh Al-‘Allamah al-Jalil al-Syekh Ibrahim bin Ismail, dengan nama, al-Syarh Ta’lim al-Muta’llim T}ari>q al-Ta’allum dan oleh Syekh Yahya bin Ali bin Nashuh (1007 H/ 1598M) ahli syair Turki dan Imam Abdul Wahab al-Sya’rani ahli tasauf dan al-Qadli Zakaria al-Anshari.[7]
Tentunya kitab ini tidak asing lagi bagi dunia pendidikan Islam di Indonesia, khususnya di pondok pesantren Salafiyah, karena kitab ini telah dijadikan referensi utama bagi santri dalam menuntut ilmu. Menurut Mahmud Yunus bahwa dalam kitab itu disimpulkan pendapat para ahli pendidikan Islam dan dikuatkan secara khusus pendapat Imam al-Ghazali. Kitab ini khusus dalam ilmu pendidikan dan berpengaruh sekali dalam alam Islami sebagai pegangan bagi guru untuk mendidik anak-anak.[8] Al-Zarnuji tinggal di Zarnuq atau Zarnuj, seperti kata itulah yang dibangsakan kepadanya. Seperti disebutkan dalam Qamus Islami[9], bahwa Zarnuq atau Zarnuji adalah nama negeri yang masyhur yang terletak di kawasan sungai Tigris (ma wara’a al-nahr) yakni Turtkistan Timur.
Dalam kitabnya seacra implisit, al-Zarnuji tidak menentukan di mana dia tinggal, namun secara umun ia hidup pada akhir periode Abbasiyah, sebab khafilah Abbasiyah terakhir ialah al-Mu’tashim (wafat tahun 1258 M/656 H). Ada kemungkinan pula ia tinggal di kawasan Irak-Iran sebab beliau juga mengetahui syair Persi di samping banyaknya contoh-scontoh peristiwa pada masa Abbasiyah yang beliau tuturkan dalam kitabnya.[10]

B.   Tujuan Pendidikan/Tujuan Memperoleh Ilmu
Pendidikan merupakan upaya belajar dengan bantuan orang lain untuk mencapi tujuannya. Maksud tujuan pendidikan atau belajar/ memperoleh ilmu di sini ialah suatu kondisi tertentu yang dijadikan acuan untuk menentukan keberhasilan belajar/pendidikan. Dengan kata lain tujuan pendidikan/belajar dalam arti pendidikan mikro ialah kondisi yang diinginkan setelah individu-individu melakukan kegiatan belajar. Tujuan adalah apa yang dicanangkan oleh manusia, diletakkannya sebagai pusat perhatian, dan demi merealisasikannya dia menata tingkah lakunya. Tujuan itu sangat penting artinya karena dia berfungsi sebagai pengakhir segala kegiatan, mengarahkan segala  aktivitas pendidikan, merupakan titik pangkal untuk mencapai tujuan-tujuan lanjutan dari pertama, tolok ukur keberhasilan suatu proses belajar mengajar, dan memberi nilai (sifat) pada semua kegiatan tersebut. Kualitas dari tujuan itu sendiri bersifat dinamis dan berkembang sesuai dengan perkembangan kualitas kehidupan manusia. Sebagai contoh, tujuan pendidikan di Sekolah Dasar ialah cerdas. Makna cerdas sepuluh tahun yang lalu berbeda dengan cerdas tahun sekarang (2007). Lebih-lebih tujuan pendidikan yang di dalamnya syarat dengan nilai-nilai yang bersifta fundamental, seperti nilai moral dan nilai agama. Kualitas takwa pada anak-anak-anak berbeda dengan kutalitas takwa pada orang dewasa, demikian juga setelah manusia menjelang usia lanjut. Tujuan pendidikan atau belajar suatu bangsa atau seseorang pada dasarnya bersumber pada filsafat hidup suatu bangsa itu dan keyakinan dalam beragama. Maka dengan perbedaan filsafat hidup dan kualitas keagamaan antar ahli pendidikan, menjadikan lahirnya perbedaan dalam menetapkan tujuan belajar. Secara makro tentu tujuan pendidikan suatu bangsa akan berbeda dengan tujuan pendidikan  bangsa lain, disamping adanya persamaan-persamaan.
Menurut al-Jamaliy, tujuan pendidikan Islam antara ialah (1) agar seseorang mengenal statusnya di antara makhluk dan tangung jawab masing-masing individu di dalam hidup mereka di dunia, (2) agar mengenal interaksinya di dalam masyarakat dan tanggung jawab mereka di tengah-tengah sistem kemasyarakatan, (3) supaya manusia kenal alam semesta dan membimbingnya untuk mencapai hikmat Allah di dalam menciptakan alam semesta dan memungkinkan manusia menggunakannya, (4) supaya manusia kenal akan Tuhan Pencipta alam ini dan mendorongnya untuk beribadah kepadanya.[11] Menurut Syed Muhammad Naqueib bahwa tujuan pendidikan itu supaya menjadikan manusia itu orang yang baik (the aims of Education in Islam is to produce a good man).[12] Sedangkan menurut al-Abrasy, bahwa tujuan umum yang asasi bagi pendidikan Islam yaitu (1) untuk membantu pembentukan akhlak yang mulia, (2) untuk persiapan kehidupan dunia dan akhirat, (3) untuk persiapan mencapai rezeki dan  pemeliharaan segi-segi kemanfaatan. Pendidikan Islam tidaklah semuanya bersifat akhlak, atau spritual semata, tetapi menaruh perhatian pada segi kemanfaatan pada tujuan-tujuan, kurikulum, dan aktivitasnya. Para pendidik muslim memandang kesempurnaan manusia tidak akan tercapai kecuali dengan memadukan antara ilmu agama dan pengetahuan, atau menaruh perhatian pada segi-segi spritual, akhlak dan segi-segi kemanfaatan. (4) Untuk menumbuhkan jiwa ilmiah dan memuaskan keinginan diri untuk mengetahui dan memungkinkan ia mengkaji ilmu sekedar sabagai ilmu, (5)  untuk menyiapkan pembelajar dari segi profesional, teknis, dan perusahaan supaya ia dapat menguasai profesi, teknis dan perusahaan tertentu, supaya ia dapat mencari rizki dalam hidup dengan mulia disamping memelihara segi spritual dan keagamaan.[13] Menurut al-Zarnuji tujuan belajar/pendidikan Islam berikut ini:[14]

وينبغى أن ينوي المتعلم يطلب العلم رضا الله تعالى والدار الآخرة وازلة الجهل من نفسه وعن سائر الجهال وإحياء الدين و إبقاء الإسلام فأن بقاء الإسلام بالعلم. ولايصح الزهد والتقوى مع الجهل. والنشد الشيخ الإمام الأجل برهان الدين صاحب الهداية شعرا لبعضهم:
فساد كبير عالم متهتك       *          وأكبر منه جاهل متنسك
هما فتنة في العالمين عظيمة * لمن بهما فى دينه يتمسك.

Maksudnya: Seseorang yang menuntut ilmu harus bertujuan mengharap rida Allah, mencari kebahagiaan di akhirat, menghilangkan kebodohan baik dari dirinya sendiri maupun dari orang lain, menghidupkan agama, dan melestarikan Islam. Karena Islam itu dapat lestari, kalau pemeluknya berilmu. Zuhud dan takwa tidak sah tanpa disertai ilmu. Syekh Burhanuddin menukil perkataan ulama sebuah syair: “orang alim yang durhaka bahayanya besar, tetapi orang bodoh yang tekun beribadah justru lebih besar bahayanya dibandingkan orang alim tadi. Keduanya adalah penyebab fitnah di kalangan umat, dan tidak layak dijadikan panutan.
Selanjutnya al-Zarnuji berkata[15]:
وينوي به الشكر على نعمة العقل وصحة البدن ولا ينوى به اقبال الناس ولا استجلاب حطام الدنيا والكرامة عند السلطان وغيره. قال محمد ابن الحسن رحمه الله تعالى لو كان الناس كلهم عبيدى لاعتقتهم و تبرأت عن ولآئهم.
Maksudnya: Seseorang yang menuntut ilmu haruslah didasari atas mensyukuri nikmat akal dan kesehatan badan. Dan dia tidak boleh bertujuan supaya dihormati manusia dan tidak pula untuk mendapatkan harta dunia dan mendapatkan kehormatan di hadapan pejabat dan yang lainnya.
Sebagai akibat dari seseorang yang merasakan lezatnya ilmu dan mengamalkannya, maka bagi para pembelajar akan berpaling halnya dari sesuatu yang dimiliki  oleh orang lain. Demikian pendapat al-Zarnuji, seperti statemen berikut ini[16]:
ومن وجد لذة العلم والعمل به قلما فيما عند الناس. انشد الشيخ الإمام الآجل الأستاذ قوام الدين حمادالدين ابراهم بن اسماعيل الصفار الأنصاري املآء لابي حنيفة رحمه الله تعالى شعرا :
من طلب العلم للمعاد * فاز بفضل من الرشاد
فيالخسران طالبه     * لنيل فضل من العباد.
Maksudnya: Barangsiapa dapat merasakan lezat ilmu dan nikmat mengamalkannya, maka dia tidak akan begitu tertarik dengan harta yang dimiliki orang lain. Syekh Imam Hammad bin Ibrahim bin Ismail Assyafar al-Anshari membacakan syair Abu Hanifah: Siapa yang menuntut ilmu untuk akhirat, tentu ia akan memperoleh anugerah kebenaran/petunjuk. Dan kerugian bagi orang yang mencari ilmu hanya karena mencari kedudukan di masyarakat.
Tujuan pendidikan menurut al-Zarnuji sebenarnya tidak hanya untuk akhirat (ideal), tetapi juga tujuan keduniaan (praktis), asalkan tujuan keduniaan ini sebagai instrumen pendukung tujuan-tujuan keagamaan. Seperti pendapat al-Zarnuji berikut ini[17]:
اللهم الا اذا طلب الجاه للأمر بالمعروف والنهى عن المنكر وتنفيذ الحق واعزاز الدين لا لنفسه وهواه فيجوز ذلك بقدر مايقيم به الأمر بالمعروف والنهى عن المنكر. وينبغى لطالب العلم أن يتفكر في ذلك فإنه يتعلم العلم بجهد كثير فلا يصرفه الى الدنيا الحقيرة القليلة الفانية شعر:
هي الدنيا اقل من القليل     *  وعاشقها اذلّ من الذليل
تصم بسحرها قوما و تعمي *  فهم متحيرون بلا دليل.

Maksudnya: Seseorang boleh memperoleh ilmu dengan tujuan untuk memperoleh kedudukan, kalau kedudukan tersebut  digunakan untuk amar makruf nahi munkar, untuk melaksanakan kebenaran dan untuk menegakkan agama Allah. Bukan mencari keuntungan untuk dirinya sendiri, dan tidak pula karena memperturutkan nafsu. Seharusnyalah bagi pembelajar untuk merenungkannya, supaya ilmu yang dia cari dengan susah payah tidak menjadi sia-sia. Oleh karena itu, bagi pembelajar janganlah mencari ilmu untuk memperoleh keuntungan dunia yang hina, sedikit dan tidak kekal. Seperti kata sebuah syair: Dunia ini lebih sedikit dari yang sedikit, orang yang terpesona padanya adalah orang yang paling hina. Dunia dan isinya adalah sihir yang dapat menipu orang tuli dan buta. Mereka adalah orang-orang bingung yang tak tentu arah, karena jauh dari petunjuk.
Menurut al-Syaibani bahwa ada tiga bidang perubahan yang diinginkan dari tujuan pendidikan yaitu tujuan-tujuan yang bersifat individual; tujuan-tujuan sosial dan tujuan-tujuan professional.[18] Kalau dilihat dari tujuan-tujuan pembelajar dalam konsep al-Zarnuji, maka menghilangkan kebodohan dari diri pembelajar, mencerdaskan akal, mensyukuri atas nikmat akal dan kesehatan badan, merupakan tujuan-tujuan yang bersifat individual. Karena dengan tiga hal tersebut akan dapat mempengaruhi perubahan tingkah laku, aktivitas dan akan dapat menikmati kehidupan dunia dan menuju akhirat.  Tujuan pembelajar mencari ilmu untuk menghilangkan kebodohan dari anggota masyarakat (mencerdaskan masyarakat), menghidupkan nilai-nilai agama, dan melestarikan Agama Islam adalah merupakan tujuan-tujuan sosial. Karena dengan tiga tujuan tersebut berkaitan dengan kehidupan masyarakat sebagai keseluruhan, dengan tingkah laku masyarakat pada umumnya. Dari tujuan-tujuan sosial ini, al-Zarnuji melihat bahwa kesalehan dan kecerdasan itu tidak hanya saleh dan cerdas untuk diri sendiri, tetapi juga harus mampu mentransformasikannya ke dalam kehidupan bermasyarakat. Sedangkan tujuan professional, berhubungan dengan tujuan seseorang mencapai ilmu itu ialah menguasai ilmu yang berimplikasi pada pencapaian kedudukan. Namun kedudukan yang telah dicapai itu adalah dengan tujuan-tujuan kemaslahatan umat secara keseluruhan. Memperoleh kedudukan di masyarakat tidak lain haruslah dengan ilmu, dan menguasainya. Baik tujuan individual, sosial dan professional haruslah atas dasar memperoleh keridaan Allah dan kebahagiaan akhirat. Untuk itulah nampaknya al-Zarnuji menempatkan mencari rida Allah dan kebahagiaan akhirat menjadi awal dari segala  tujuan (nilai sentral) bagi pembelajar. Jika tujuan memperoleh ilmu dibagi kepada empat yakni (1) ilmu untuk ilmu (kegemaran dan hobi), (2) sebagai penghubung memperoleh kesenangan materi, (3) sebagai penghubung memajukan kebudayaan dan peradaban mausia, (4) mencari rida Allah dan kebagiaan akhirat, maka yang terakhir ini sebagai tujuan sentral, sedangkan tujuan lainnya sebagai tujuan instrumental. Lebih jelasnya dapat diliat dalam gambar berikut:
Dari gambar diatas jelas terlihat bahwa tujuan pendidikan/memperoleh ilmu sebagai penghubung mencari rida Allah dan kebahagiaan akhirat sebagai nilai sentral yang akan menyinari dan membingkai tiga tujuan di bawahnya. Artinya seseorang boleh saja memperoleh ilmu untuk kegemaran, peroleh materi atau kemajuan kebudayaan dan peradaban asalkan saja dibingkai dan disinari oleh nilai-nilai keagamaan. Ini dapat dimengerti karena tujuan dalam pendidikan sangat penting artinya.  Karena tujuan haruslah diletakkan sebagai pusat perhatian, dan demi merealisasikannya, pembelajar menata tingkah lakunya. Tujuan juga berfungsi sebagai pengakhir segala kegiatan, mengarahkan segala aktivitas, merupakan titik pangkal untuk mencapai tujuan-tujuan lanjutan dari pertama, tolok ukur keberhasilan suatu proses belajar mengajar, dan memberi nilai (sifat) pada semua kegiatan tersebut. Tujuan seperti ini diistilahkan oleh Ali Abdul Azim sebagai tujuan yang paling agung. Seperti dia katakan berikut ini:[19]

وكان الهداف الأكثر للمعرفة في الإسلام هو الإتصال بالله سبحانه وتعالى هو المثل الأعلى للحق والخير والجمال.
Maksudnya: Tujuan memperoleh ilmu pengetahuan yang paling penting dan agung dalam Islam, ialah pembelajar dapat berhubungan dengan Allah SWT. Tujuan ini merupakan hal yang paling utama untuk menuju kepada kebenaran, kebaikan dan keindahan.
Dari gambaran di atas dapat dilihat bahwa tujuan-tujuan tersebut baik yang bersifat ideal maupun yang bersifat praktis, mencakup kepada nilai-nilai ideal Islami, yaitu pertamadimensi yang mengandung nilai untuk meningkatkan kesejahteraan di dunia. Nilai ini mendorong seseorang untuk bekerja keras dan professional agar keuntungan dan kenikmatan dunia dapat diperoleh sebesar-besarnya. Kedua, dimensi yang mengandung nilal-nilai ruhani dan keakhiratan. Dimensi ini menuntut pembelajar untuk tidak terbelenggu oleh mata rantai kehidupan yang materealistis di dunia, tetapi ada tujaun-tujuan yang lebih jauh dan mulia yaitu kehidupan sesudah mati. Penghayatan terhadap nilai ini, menjadikan pembelajar  terkontrol dari syahwat kenikmatan dunia/materi. Ketiga, dimensi yang mengandung nilai yang dapat mengintegrasikan antara kehidupan dunia (praktis) dan ukhrawi (ideal). Menurut Arifin, keseimbangan dan keserasian antara kedua kepentingan ini menjadi daya tangkal terhadap pengaruh-pengaruh negative dari berbagai gejolak kehidupan yang menggoda ketenangan hidup manusia, baik yang bersifat spritual, sosial, kultural, ekonomis, maupun ideologis dalam hidup pribadi manusia.[20]
Tujuan pembelajar memperoleh ilmu yang dikemukakan oleh al-Zarnuji jika dilihat dari aliran pendidikan Islam yang dikemukakan oleh Ridha, maka al-Zarnuji termasuk dalam aliran Konservatif Religius. Ridha mengatakan, disamping lahirnya teori pendidikan berdasar pada  hakikat fitrah dalam Alquran, juga orientasi keagamaan dan filsafat negara dalam menafsirkan realitas dunia, fenomena dan eksistensi manusia  melahirkan pemikiran pendidikan Islam terutama menentukan (1) tujuan, (2) ruang lingkup dan  (3) pembagian ilmu. Maka berdasar  tiga ini, Ridha membagi aliran utama pemikiran pendidikan Islam menjadi tiga; al-muhafiz (religius konservatif); al-diniy al-‘aqlaniy (religius rasional) dan al-zarai’iy (pragmatis instrumental).[21] Aliran konservatif religius, menafsirkan realitas jagad raya berpangkal dari ajaran agama sehingga semua yang menyangkut tujuan belajar, pembagian ilmu, etika guru dan murid dan komponen pendidikan lainnya harus berpangkal dari ajaran agama. Tujuan keagamaan adalah sebagai tujuan belajar. Aliran religius rasional, tidak jauh berbeda dengan aliran pertama dalam hal kaitan antara pendidikan dan tujuan belajar adalah tujuan agama. Bedanya, ketika aliran ini membicarakan persoalan pendidikan cenderung lebih rasional dan filosufis. Mereka membangun prinsip-prinsip dasar pemikiran pendidikan dari pemikiran tentang manusia, pengetahuan dan pendidikan. Aliran pragmatis instrumental, memandang tujuan pendidikan lebih banyak sisi pragmatis dan lebih berorientasi pada tataran aplikatif praktis. Ilmu diklasifikasikan berdasar tujuan kegunaan dan fungsinya dalam hidup.
Menempatkan al-Zarnuji dalam aliran religius konservatif, karena ia menafsirkan realitas jagad raya berpangkal dari ajaran agama sehingga semua yang menyangkut tujuan belajar harus berpangkal dari ajaran agama. Tujuan keagamaan adalah sebagai tujuan belajar. Bingkai agama harus menyinari seluruh aktivitas pembelajar dalam memperoleh ilmu. Sehingga  boleh saja pembelajar bertujuan mencari kedudukan dalam memperoleh ilmu, tetapi kedudukan itu harus difungsikan untuk tujuan-tujuan keagamaan yakni amar makruf nahi munkar, menegakkan kebenaran, dan untuk menegakkan agama Allah. Implikasi dari pemikiran ini sangat jauh. Pembelajar yang semata-mata mencari rida Allah dalam menuntut ilmu baik dikontrol oleh aturan-aturan yang dibuat manusia ataupun tidak, dia tetap dalam bingkai kebenaran. Berbeda dengan pembelajar yang menuntut ilmu karena mencari materi, sewaktu materi tidak di dapat atau berkurang maka dia akan patah semangat dan pasimis serta tidak menjalankan tugasnya sebagaimana mestinya.
Sebagai implikasi dari pandangan al-Zarnuji mengenai tujuan pendidikan/memperoleh ilmu tentu terdapat dampak positif edukatif sebagai kelebihan darinya dan juga terdapat dampak negatif edukatif sebagai kekurangannya. Dampak edukatif positifnya ialah rasa tanggung jawab yang sangat kuat telah menghujam pada pemikiran pendidikannya, dan mengukuhkan rasa tanggung jawab moral itu. Penghargaannya terhadap persoalan pendidikan Islam sangat tinggi, bahkan menilainya sebagai wujud tanggang jawab keagamaan yang sangat luhur. Tugas mengajar dan belajar tidak sekedar sebagai tugas-tugas profesi kerja dan tugas-tugas kemanusiaan tetapi lebih jauh dari itu yakni sebagai tuntutan kewajiban agama. Tanggung jawab keagamaan sebagai titik sentral  dalam pendidikan Islam, di samping tanggung jawab kemanusiaan baik dalam konstruksi tataran konsep maupun tataran aplikasi pendidikan. Tuntutan insaniyah (kemanusian) tidak sejalan dengan tuntutan ilahiyah (keagamaan), maka yang harus didahulukan dan dimenangkan ialah tuntutan keagamaan. Dampak negatif edukatifnya menjadikan term al-ilm (ilmu) yang dalam Alquran dan Hadis bersifat mutlak tanpa batas menjadi bersifat terbatas hanya pada ilmu-ilmu keagamaan, dan kecenderungan pencapaian spritual  yang lebih menonjol, mendorong pemikiran pendidikan Islam ke arah pengabaian urusan dunia dengan segala kemanfaatan dan amal usaha yang sebenarnya boleh dinikmati dan bisa dikerjakan. Oleh karena pemikiran pendidikannya terpusat pada bingkai agama, maka pengaturan kehidupan dunia akan diambil oleh orang-orang non Muslim. Hal ini pula menunjukkan sekaligus ketidak berdayaan umat Muslim untuk melaksanakan amar makruf dan nahi munkar dalam reformasi dan transformasi solial yang bermoral.
Bagaimana menurut al-Zarnuji sifat dasar moral manusia dan aksinya terhadap dunia luar? Sebelum dibahas ada baiknya terlebih dahulu dikemukakan berbagai pendapat para ahli. Menurut Morris L. Bigge, bahwa sifat dasar moral manusia dan aksinya terhadap dunia luar bermacam-macam. Seperti sifat moral manusia itu jelek, baik dan netral (tidak baik dan tidak pula jelek). Sedangkan aksinya terhadap dunia luar terdiri dari; aktif, pasif, dan interaktif.[22] Aliran yang berpendapat bahwa sifat moral sifat dasar manusia dan aksinya bad-active ialah seperti aliran Theistic Mental Discipline,[23] yang mengatakan bahwa manusia itu pada dasar bawaannya jelek, yang tidak ada harapan baik dari mereka. Sekiranya manusia dibiarkan tumbuh berkembang maka yang tampil adalah kejelekannya saja. Maka fungsi pendidikan adalah mengusahakan pengekangan terhadap sifat dasar ini dan melatih bagian-bagian jiwa ke arah yang baik. Jika percaya bahwa sifat dasar manusia dan aksinya bersifat good-active, maka tanpa mereka dipengaruhi oleh dunia luar, maka akan tampil sifat-sifat baiknya. Implikasinya dalam pendidikan ialah orang-orang yang terlibat dalam pendidikan menyiapkan sedemikian rupa agar dapat mengoptimalisasikan perkembangan individu-indivivu tersebut.
Yang berpandangan bahwa sifat dasar manusia dan aksinya neutral-passive, berarti pada dasarnya manusia itu bersifat netral yang  berpotensi untuk tidak baik dan tidak pula buruk. Aksinya terhadap dunia luar adalah pasif, dalam arti dunia luar termasuk pendidikan, yang membentuk kepribadian seseorang. Karakter seseorang apakah baik atau tidak, sangat tergantung pada polesan alam lingkungannya.
Bagi yang berpendpat bahwa sifat dasar manusia dan aksinya terhadap dunia luar bersifat neutral-interactive, adalah hampir sama dengan neutral-passive, hanya saja aksinya terhadap dunia luar ada proses kerjasama atau interaktif. Berarti pendidikan, tidak akan dapat seratus persen mencetak anak didik sesuai dengan yang dikehendaki, karena pembelajar dapat memberi respon atau dialektis terhadap pengaruh luar. Hasil proses antara sifat dasar dan dunia luar, akan menampilkan model kepribadian seseorang. Sebagai kelanjutan dari berbagai teori di atas muncullah teori-teori yang dikenal dengan Emprirsme, Nativisme dan Konvergensi.
Dalam Filsafat Empirisme disebutkan bahwa perkembangan dan pembentukan manusia itu ditentukan oleh faktor-faktor lingkungan, termasuk pendidikan. Sebagai pelopor aliran ini ialah Joshn Locke ( 1632-1704) yang dikenal denga teoriTabularasa atau Empirisme yaitu bahwa tiap individu lahir sebagai kertas putih, dan lingkungan itulah yang memberi corak atau tulisan pada kertas putih tersebut. Bagi John Locke pengalaman yang berasal dari lingkungan itulah yang menentukan pribadi seseorang. Nampak dari teori ini bersifat optimis, karena bagaimanpun juga lingkungan dapat diusahakan dan diatur sedemikian rupa sehingga sesuai dengan tujuan yang diharapkan.
Berbeda dengan Nativisme yang lebih pesimis dibanding dengan Empirisme. Aliran ini dipelopori oleh Athur Schonpenhauer (1788-1860). Ajaran dari filsafat ini mengatakan bahwa perkembangan pribadi hanya ditentukan oleh bawaan (kemampuan dasar), bakat serta faktor dalam yang bersifat kodrati. Proses pembentukan dan perkembangan pribadi ditentukan faktor pembawaan ini, yang tidak dapat diubah oleh pengaruh alam sekitar atau pendidikan. Potensi-potensi bawaan inilah sebagai kepribadian manusia, bukan hasil binaan lingkungan pengalaman dan pendidikan. Bagaimanapun usaha pendidikan untuk membentuk pribadi manusia atau tingkatan yang dikehendaki, tanpa didukung oleh potensi dasar tersebut, harapan tersebut tidak akan tercapai. Menurut Muhammad Noor Syam, bahwa aliran ini bersifat pesimistik, karena menerima kepribadian sebagaimana adanya tanpa kepercayaan adanya nilai-nilai pendidikan untuk merubah kepribadian.[24]
Teori (hukum) Konvergensi berbeda dengan kedua teori di atas, yang memposisikan  keduanya secara tajam dan berlawanan. Tentu hal ini tidak dapat diterima. Menurut teori yang dipelopori oleh Willam Stem (1871-1983) ini, bahwa perkembangan manusia itu berlangsung atas pengaruh dari faktor-faktor bakat/ kemampuan dasar dan alam sekitar, termasuk pendidikan. Karena dalam kenyataannya menunjukkan bahwa bawaan dasar yang baik saja, tanpa dibina oleh alam lingkungan, termasuk budaya dan pendidikan tidak akan mencetak pribadi yang ideal. Sebaliknya, lingkungan yang baik terutama pendidikan, tetapi tidak didukung oleh kemampuan dasar tadi, tidak akan menghasilkan kepribadian yang sesuai dengan harapan tujuan pendidikan. Dengan demikian proses perkembangan dan pembentukan kepribadian manusia merupakan proses interaktif dan dialektis antara kemampuan dasar dan alam lingkungan secara berkesinambungan. Perkembangan pribadi sesungguhnya adalah hasil proses kerjasama kedua faktor, baik internal (potensi hereditas), maupun faktor eksternal ( lingkungan budaya dan pendidikan).
Disamping teori dari Barat tersebut juga ada teori pemikiran pendidikan Islam yang dikenal dengan teori fitrah. Pemahaman para ahli pendidikan Islam terhadap hakikat fitrah dalam Alquran ternyata membawa implikasi lahirnya teori fitrah dalam pendidikan. Para ahli pendidik muslim mengakui bahwa teori dan praktek pendidikan dipengaruhi oleh pandangan bagaimana kecenderungan sifat dasar manusia dan bagaimana kemampuannya untuk berkembang yang dikenal dengan teori fitrah itu diasumsikan, apakah fatalis-pasif, netral-pasif, positif-aktif, dan dualis-aktif. Kata fitrah dan segala bentuk kata jadiannya tertera pada 19 ayat dalam 17 surat.[25] Menurut Mohamed pemahaman mengenai bawaan dasar (fitrah) manusia dan bagaimana kemampuannya untuk berkembang dapat dikelompokkan menjadi empat yaitu (1) fatalis-pasif, (2) netral-pasif, (3) positif-aktif dan (4) dualis-aktif.[26]
Teori fatalis-pasif, mengatakan bahwa setiap individu, melalui ketetapan Allah adalah baik atau jahat secara asal, baik ketetapan semacam ini terjadi secara semuanya atau sebagian sesuai dengan rencana Tuhan. Kemampuan manusia untuk berkembang menjadi pasif, karena setiap individu terikat dengan ketetapan yang telah ditentukan Tuhan sebelumnya. Yang berpandangan netral-pasif, berasumsi bahwa anak lahir dalam keadaan suci, utuh dan sempurna, suatu keadaan kosong sebagaimana adanya, tanpa kesadaran akan iman atau kufur, baik atau jahat. Teori ini sama dengan teori Tabularasa dari John Locke.  Kemampuan individu untuk berkembang adalah pasif dan sangat tergantung dari polesan lingkungan, terutama pendidikan. Yang berpandangan positif-aktif berasumsi bahwa bawaan dasar manusia sejak lahirnya adalah baik, sedangkan kejahatan bersifat aksidental. Kemampuan individu untuk berkembang  bersifat aktif. Manusia merupakan sumber yang mampu membangkitkan dirinya sendiri dari dalam. Yang berpandangan dualis-aktif, berasumsi bahwa bawaan dasar manusia itu bersifat ganda (dualis). Di satu sisi sifat dasarnya cenderung kepada kebaikan, dan di sisi lain cenderung kepada kejahatan. Sifat dualis tersebut sama-sama aktif dan dalam keadaan setara.
Bagaimana menurut al-Zarnuji mengenai proses perkembangan pribadi manusia? Secara eksplisit al-Zarnuji tidak menyebutkan, tetapi secara implisit dapat memberi gambaran kepada pembaca bahwa al-Zarnuji lebih cenderung kepada aliran konvergensi dengan penambahan nilai-nilai Islam. Berikut statemennya[27]:
واما اختيار الأستاذ فينبغى أن يختار الاعلم والاورع والاسن كما اختار ابو حنيفة حينئذ حمّاد بن ابي سليمان بعد بعد التأمل والتفكر. وقال ابو حنيفة رحمه الله تعالى : وجدته شيخا وقورا حليما صبورا.وقال: ثبت عند حماد بن أبي سليمان فنبت.
Maksudnya: Adapun cara memiluh ustadz, maka seseorang yang sedang menuntut ilmu hendaklah mencari ustadz yang paling alim, yang paling wara’ (menjauhkan diri dari dosa, maksiat, dan perkara yang syubhat), dan yang paling tua. Sebagaimana setelah Abu Hanifah merenung dan berpikir, maka dia memilih ustadz Hammad bin Abi Sulaiman, karena beliau  mempunyai kriteria tersebut. Selanjutnya Abu Hanifah berkata : Beliau adalah seorang ustadz yang berakhlak mulia, penyantun dan penyabar. Aku bertahan menuntut ilmu ilmu kepadanya hingga aku seperti sekarang ini.
Begitu pentingnya terma memilih ustadz ini, al-Zarnuji mengutip perkataan orang bijak yaitu jika kamu pergi menuntut ilmu ke Bukhara, maka jangan tergesa-gesa memilih pendidik, tapi menetaplah selama dua bulan hingga kamu berpikir untuk memilih ustadz. Karena bila kamu langsung memilih kepada orang yang alim, maka kadang-kadang cara mengajarnya kurang enak menurutmu, kemudian kamu tinggalkan dan pindah kepada orang alim yang lain, maka belajarmu tidak akan diberkati. Oleh karena itu, selama dua bulan itu kamu harus berpikir dan bermusyawarah untuk memilih ustadz, supaya kamu tidak meninggalkannya dan supaya betah bersamanya hingga ilmumu berkah dan bermanfaat.[28]
Seorang pelajar tidak hanya bersungguh-sungguh memilih ustadz yang akan memberi pengaruh kepadanya tetapi juga memilih teman yang tepat. Berikut pernyataan al-Zarnuji[29]:

و أما اختيار الشريك فينبغى أن يختار المجد والورع وصاحب الطبع المستقيم والمتفهم و يفر من الكسلان والمعطل والمكثار والمفسد والفتان. قيل:
عن المرءى تسأل وابصر قرينته  *  فإن القرين بالمقارن يقتدي
فإن كان ذاشر فجنبه سرعة       *    وإن كان ذا خير فقارنه تهدى
وانشدت:
لاتصحب الكسلان في حالاته     *     كم صالح بفساد آخر يفسد
عدوى البليد الجليد سريعة       *     كالجمر يوضع في الرماد فيخمد
وقال النبي عليه الصلاة والسلام: كل مولود يولد على فطرة الإسلام الا أن ابواه يهودانه وينصرانه ويمجسانه.

Maksudnya: Pembelajar harus memilih berteman dengan orang yang tekun belajar, yang wara’, yang mempunyai watak istiqa>mah dan suka berpikir. Dan menghindari berteman dengan pemalas, atheis, banyak bicara, perusak dan tukang fitnah. Seorang penyair berkata : “Janganlah bertanya tentang kelakuan seseorang, tapi lihatlah siapa temannya. Karena seseorang biasanya mengikuti temannya. Kalau temanmu berbudi buruk, maka menjauhlah segera. Dan bila berlaku baik maka bertemanlah dengannya, tentu kamu akan mendapat petunjuk. Ada sebuah syair berbunyi: “Janganlah sekali-kali bersahabat dengan seorang pemalas dalam segala tingkah lakunya. Karena banyak orang  yang menjadi rusak karena kerusakan temannya. Karena sifat malas itu cepat menular.” Nabi Muhammad SAW bersabda : Setiap anak dilahirkan dalam keadaan fitrah. Kedua orangtuanyalah yang menyebabkan anak itu menjadi beragama Yahudi, Nasrani atau Majusi”. Lebih jelasnya masalah fitrah ini dijelaskan oleh Nabi SAW berikut ini dan artinya:[30]
عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ أَنَّهُ كَانَ يَقُولُ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّه عَلَيْهِ وَسَلَّمَ مَا مِنْ مَوْلُودٍ إِلَّا يُولَدُ عَلَى الْفِطْرَةِ فَأَبَوَاهُ يُهَوِّدَانِهِ وَيُنَصِّرَانِهِ وَيُمَجِّسَانِهِ كَمَا تُنْتَجُ الْبَهِيمَةُ بَهِيمَةً جَمْعَاءَ هَلْ تُحِسُّونَ فِيهَا مِنْ جَدْعَاءَ ثُمَّ يَقُول أَبُو هُرَيْرَةَ وَاقْرَءُوا إِنْ شِئْتُمْ ( فِطْرَةَ اللَّهِ الَّتِي فَطَرَ النَّاسَ عَلَيْهَا لَا تَبْدِيلَ لِخَلْقِ اللَّهِ ذَلِكَ الدِّينُ الْقَيِّمُ ) الْآيَةَ
Dari berbagai statemen al-Zarnuji tersebut menunjukkan bahwa sifat dasar moral manusia itu bersifat good-interactive atau fitrah positif-aktif dalam  klasifikasi pemikiran pendidikan Islam yang digagas oleh Ridha.  Artinya, pada dasarnya manusia itu baik, aktif/interaktif dan aksinya terhadap dunia luar bersifat proses kerjasama antara potensi hereditas dan alam lingkungan pendidikan. Yakni seseorang dapat saja dipengaruhi oleh alam lingkungannya secara penuh atau sebaliknya dunia luar dipengaruhinya sehingga sesuai dengan keinginannya. Atau dirinya dan dunia luar melebur menjadi tarik menarik secara terus menerus dan saling pengaruh serta proses kerjasama. Namun nampaknya al-Zarnuji lebih banyak menekankan kepada penataan lingkungan soaial budaya, seperti memilih ustadz,  memilih guru dan memilih lingkungan tempat pembelajar menimba ilmu. Sekalipun demikian, belum dapat dikatakan bahwa al-Zarnuji beraliran Empirisme, karena pada bab lain ia juga membicarakan tentang tawakkal. Tawakkal tentu merupakan salah ciri dari yang beraliran Nativisme. Sehingga lebih tepat kalau al-Zarnuji dikelompokkan kepada Konvergensi PlusKarena bagaimanapun juga manusia tidak lepas dari bawaan hereditasnya dan pengaruh alam lingkungannya atau proses kerjasama antaara keduanya (interaktif). Namun juga perlu diingat bahwa dalam sisi kehidupan ini kadang-kadang disadari atau tidak ada ‘inayatullah (pertolongan Tuhan).  Seperti halnya kasus Kan’an (anak Nabi Nuh) yang tetap ingkar sekalipun dibesarkan dan diasuh dalam lingkungan kerasulan, isteri Fir’aun yang tetap wanita shalihah, sekalipun suaminya seorang yang musyrik, istri Nabi Luth tetap durhaka kepada suaminya sekalipun setiap harinya disinari oleh misi kerasulan dan lain-lain yang dicontohkan dalam Alquran. Mungkin itulah yang dapat diistilahkan oleh al-Zarnuji dengan istilah tawakkal.
والله أعلم بالصواب





BAB XI
MENJADI MANUSIA PEMBELAJAR

Menjadi Manusia Pembelajar
Oleh : Abu Mumtaz
“…. Katakanlah (hai Muhammad): “Adakah sama orang-orang yang mengetahui dengan orang-orang yang tidak mengetahui?” Sesungguhnya orang yang berakallah yang dapat menerima pelajaran.” (Az-Zumar:9)
Mengapa Islam begitu mementingkan ilmu dan memuliakan orang-orang yang belajar? Karena kebodohan dalam Islam adalah kebutaan, kegelapan, kematian dan selalu berujung kepada kemusyrikan yang akan membawa pada penderitaan dan kemalangan yang abadi.
Dan tidaklah sama orang yang buta dengan orang yang melihat. Dan tidak (pula) sama gelap gulita dengan cahaya, Dan tidak (pula) sama yang teduh dengan yang panas, Dan tidak (pula) sama orang-orang yang hidup dan orang-orang yang mati. Sesungguhnya Allah memberi pendengaran kepada siapa yang dikehendaki-Nya dan kamu sekali-kali tiada sanggup menjadikan orang yang didalam kubur dapat mendengar.(Fathir:19-22)
……Katakanlah (hai Muhammad): “Adakah sama orang-orang yang mengetahui dengan orang-orang yang tidak mengetahui?” Sesungguhnya orang yang berakallah yang dapat menerima pelajaran. (Az-Zumar:9)
Allah swt menggambarkan bahwa tidak sama antara orang yang berilmu dengan orang yang tidak berilmu (bodoh) seperti bedanya antara orang buta dan melihat, orang hidup dan mati, teduh dan panas, gelap dan terang. Artinya Allah menyuruh manusia untuk menjadi manusia yang berilmu, dan hal itu tidak akan bisa di capai kecuali oleh manusia yang selalu belajar.
Carilah ilmu mulai dari buaian kasih bunda hingga kita dikuburkan (utlubul ilma minal mahdi ilal lahdi), setiap muslim harus menghadirkan ilmu dalam hidupnya sehingga tidak terjebak dalam kebodohan dan menjadi manusia yang bodoh, mulai dari seseorang itu dilahirkan hingga ia wafat
Kebodohan merupakan kerusakan terbesar dan musuh yang paling berbahaya. Sebab kebodohan merupakan sebab utama tergelincirnya manusia dari jalan yang benar, sumber dan penyebab utama kejahatan. Nama lain kebodohan adalah jahiliyyah, dan ujung akhirnya dari kebidihan adalah kemusyrikan
Suatu hari Nabi saw ditanya tentang orang yang bodoh. Beliau menjawab: 1. Orang yang bodoh dapat menyusahkanmu jika engkau bergaul dengannya, 2. ia bisa menyalahkanmu bila engkau tidak membantunya, 3. ia juga dapat mengungkit-ungkit sesuatu yang pernah ia berikan kepadamu, 4. ia tidak berterima kasih jika engkau memberinya, 5.jika engkau mempercayakan rahasia-rahasiamu kepadanya, ia akan menyalah gunakan kepercayaanmu.
Dari jawaban Nabi saw di atas terlihat bahwa orang yang bodoh tidak mempunyai nilai positif sama sekali. Itulah sebabnya kita harus lari dari kebodohan dan orang-orang yang bodoh. Lari dari kebodohan berarti kita harus menjadi orang yang mencari ilmu, menjadi manusia pembelajar, belajar dan terus belajar. Lari dari orang bodoh yaitu orang yang puas dengan ilmunya yang ada, atau orang yang malas belajar. Saat kita merasa puas dengan ilmu kita yang telah ada, berarti saat itu kita telah menjadi orang yang bodoh.
Tidak wajar bagi seseorang manusia yang Allah berikan kepadanya Al Kitab, Hikmah dan kenabian, lalu Dia berkata kepada manusia: “Hendaklah kamu menjadi penyembah-penyembahku bukan penyembah Allah.” akan tetapi (dia berkata): “Hendaklah kamu menjadi orang-orang rabbani, karena kamu selalu mengajarkan Al kitab dan disebabkan kamu tetap mempelajarinya. (Ali Imran:79)
Allah memerintahkan kita untuk menjadi generasi Robbani, yaitu generasi yang terus mengajarkan ilmu dan mereka terus belajar. Disini Allah memerintahkan kita terjun dalam proses tarbiyah, yaitu proses belajar mengajar dimana ada murobbi yang menyampaikan ilmu dan ada mutarobbi yang menerima ilmu, dan hal ini terus berkesinambungan sampai azal menjemput kita.
Nabi Ibrahim as adalah teladan yang memahami pentingnya proses tarbiyah. Tatkala Allah swt memerintahkan beliau untuk menyembelih anaknya, maka Nabi Ibrahim as terlebih dahulu memanggil sang anak untuk berdialog. Hal ini diabadikan oleh Al Qur’an:
Maka tatkala anak itu sampai (pada umur sanggup) berusaha bersama-sama Ibrahim, Ibrahim berkata: “Hai anakku Sesungguhnya aku melihat dalam mimpi bahwa aku menyembelihmu. Maka fikirkanlah apa pendapatmu!” ia menjawab: “Hai bapakku, kerjakanlah apa yang diperintahkan kepadamu; insya Allah kamu akan mendapatiku Termasuk orang-orang yang sabar”. (As-Shaffat:102)
Ungkapan Nabi Ibrahim as, ”….Fandzur ma tara (fikirkanlah apa pendapatmu)”, menurut tafsir Ibnu Katsir menunjukkan kebijaksanaan sang ayah dalam menguji anaknya. Kita tahu ujian selalu melalui tahap pembelajaran, tidak serta merta diberikan. Itu berarti Nabi Ibrahim as sebelumnya telah menanamkan pentingnya ilmu bagi keluarganya, Nabi Ibrahim as telah memberikan tarbiyah kepada anaknya, Ismail as sehingga sang anak faham bahwa itu adalah perintah dari Allah. Dengan kata lain mereka telah menelaah maksud dari sebuah perintah. Ayat tersebut menggambarkan sebuah keluarga yang terus belajar dan haus ilmu.
Oleh karena itu, harus ada majelis-majelis ilmu di sekitar kita, ada dialog, diskusi dan tausiyah ilmiah. Seorang murobbi harus bisa menjadi tempat bertanya bagi mad’unya, menjadi tauladan, menekuni ilmu dan haus akan pengetahuan. Seorang ayah harus bisa menjadi teman belajar kepada anak-anaknya, dan membimbing anak-anaknya dalam memahami ilmu.
Hadirkan buku-buku dan literatur di rumah kita, perbanyak semua sarana dan fasilitas untuk meningkatkan ilmu. Kita harus menjadi manusia pembelajar yang tidak pernah puas dengan ilmu yang didapat. Terus belajar dan belajar.
Rasulullah saw memberi motivasi kepada kita, ”Barang siapa menempuh suatu jalan di mana ia menuntut ilmu di dalamnya, maka Allah akan memudahkan baginya jalan menuju surga. Tidak akan berkumpul suatu kaum dalam rumah dari beberapa rumah Allah, dimana mereka membaca kitab dan mempelajari di antara mereka, melainkan para malaikat akan menaungi mereka dan turunlah kepada mereka ketentraman, dan rahmat meliputi mereka, dan Allah menyebut-nyebut mereka sebagai orang yang berada di sisi-Nya.” (Muslim)
Wallahu A’lam



Menjadi Manusia Pembelajar
Thursday, 01 Jan 1970
Heboh ijazah palsu, gelar palsu, dan perguruan tinggi (PT) palsu belakangan ini menunjukkan dengan jelas suramnya dunia pendidikan (tinggi) kita. Beberapa kawan tak bersemangat lagi berbicara tentang daya saing bangsa, bonus demografi, dan kompetisi global terkait Masyarakat Ekonomi ASEAN (MEA) 2015 lantaran miris dan pesimistis melihat wajah buram dunia pendidikan kita.
Fenomena ini memperlihatkan bahwa sebagian masyarakat kita-bukan hanya yang awam dari strata bawah, tetapi juga yang kaya dan berkedudukan tinggi dari strata atas-masih banyak yang mengidap penyakit feodalistik, mengagungkan gelar, dan menjadi manusia dengan mental sertifikat.
Manusia sertifikat tak mementingkan ilmu, skill, kompetensi, apalagi karakter personal. Ia hanya mementingkan gelar dan secarik kertas bernama ijazah. Orang semacam ini, kalau datang ke seminar, tak mengharap ilmu. Ia hanya mengejar dan perlu sertifikatnya saja. Begitu juga kalau kuliah. Ia mendaftar dan bayar, tetapi tidak kuliah karena yang dicari bukan ilmu, tetapi gelar dan sertifikat.
Pemerintah dan dunia pendidikan kita harus mampu mengedukasi masyarakat, terutama anak-anak didik kita agar menjadi pembelajar (become a learner), bukan menjadi manusia sertifikat. Manusia pembelajar adalah orang yang terus belajar, mempertinggi kemampuan (kompetensi) agar bisa memberi kontribusi lebih besar bagi kemajuan bangsa dan kemanusiaan.
Manusia pembelajar, menunjuk pada pemikiran James R Davis dan Adelaide B Davis, mencintai hal-hal baru, pemikiran baru, dan keterampilan baru. Ia belajar bukan hanya untuk mengetahui, tetapi lebih dari itu untuk berpikir dan memecahkan masalah. Manusia pembelajar belajar dan mengembangkan ilmu tak hanya dari bangku kuliah dan text book, tapi juga pengalaman dan dari realitas kehidupan sebenarnya. R Davis menyebutnya dengan istilah perpetual learner (pembelajar sejati). (Lihat, Managing Your Own Learning: 2000).
Memasuki era baru ini, setiap orang dari kita, tidak bisa tidak, mesti menjadi pembelajar. Manusia pembelajar tidak diukur dari gelar dan atribut lahiriah yang dimiliki, tapi dari mental dan karakternya, serta dari kontribusi untuk kemajuan ilmu dan peradaban.
Manusia pembelajar setidaknya memiliki lima sifat yang menjadi karakter dan etos utama intelektualnya. Pertama, rasa ingin tahu yang tinggi. Inilah sifat yang membuatnya rajin belajar dan memiliki kemauan belajar yang kuat. Dari banyak riset, anak menjadi pandai bukan karena diajar, tapi karena ia semangat dan rajin belajar. Meski berstatus mahasiswa atau dosen, bilamana tidak ada lagi rasa ingin tahu, mereka senyatanya bukan pembelajar.
Dari rasa ingin tahu ini lahir, (1) peminatan, yakni ketertarikan pada satu objek studi; (2) fokus, yaitu pemusatan perhatian dan pemikiran; dan (3) motivasi, yaitu semangat menggelora untuk mencapai apa yang menjadi minat dan perhatiannya. Dari rasa ingin tahu itu lahir motivasi. Motivasi adalah faktor kunci sukses pembelajaran. Dianna Van Blerkom berujar, "The Student who are not motivated are tend to be less successful." (Becoming a Strategic Learner: 2011).
Kedua, ia suka berbagi ilmu dengan teman atau orang lain. Merupakan keunikan ilmu, ia tidak habis kalau dibagi, malah bertambah. Penulis teringat nasihat popular dari Profesor Andi Hakim Nasution, rektor IPB (1978-1987). Beliau pernah menyatakan kalau kita tukar menukar apel, kita tetap mendapat satu apel, tidak bertambah. Namun, kalau kita bertukar ilmu pengetahuan, kita bukan mendapatkan satu, melainkan lebih banyak lagi.
Ketiga, selain berbagi, manusia pembelajar, menurut Maxine A Dalton, rajin memperluas ilmu pengetahuan dengan dua cara. Pertama, dengan membedol batas horizon pengetahuan kita. Kedua, dengan cara keluar dan melepaskan diri dari zona kenyamanan.
Diperlukan keberanian dan teknik tersendiri untuk bisa keluar dari kungkungan zona kenyamanan. (Lihat, Becoming a More Versatile Learner, 2011). Philip E Johnson merekomendasikan cara lain untuk ekspansi ilmu, yaitu dengan latihan berpikir serta menghubungkan diri dengan berbagai kearifan, wisdom, dan pemahaman yang hidup, bukan dengan pengetahun yang sudah mati, yang harus dieja dan dihafal saban hari. (Fifty Nifty Ways to Help Your Child Become a Better Learner: 2004).
Keempat, ia memiliki kontribusi bagi kemajuan ilmu dan kemanusiaan. Dalam perpsektif Islam, ilmu tidak untuk ilmu, tetapi untuk kemaslahatan umat sebagai wujud pengabdian kepada Allah SWT. Pada wahyu pertama yang disampaikan kepada Nabi SAW, perintah iqra yang dalam wujud sosialnya berwujud penelitian atau riset dan pengembangan ilmu haruslah dilakukan dalam kerangka bi ism-i rabbik, dengan nama Tuhan, dalam arti untuk kebaikan dan kemaslahatan umat manusia.
Kelima, ia memiliki sifat rendah hati dan tawadhu. Meskipun berpengetahuan sangat luas serta memberi kontribusi besar bagi kemajuan ilmu dan peradaban, para pembelajar sejati tidak pongah dan tidak besar kepala. Mereka tetap rendah hati, ibarat filosofi padi, makin berisi, makin tunduk ke bawah.
Yang dimaksud dengan rendah hati adalah sikap mental bahwa ilmu yang diperolehnya masih sedikit. Apa yang belum diketahui jauh lebih besar dibanding yang sudah diketahui. Inilah sikap yang membuat seorang pembelajar tidak menutup diri, tetapi selalu terbuka dan sedia berdialog dengan orang lain.
Sikap rendah hati ini pernah ditunjukkan Aristoteles, filsuf Yunani (384 SM), yang pemikirannya masih dipelajari hingga hari ini, ketika menyatakan, "I only know that I don't know." Imam Syafi`i (wafat 204 H), pendidiri mazhab Syafi`i, tidak kalah tawadhunya.
Sebagai mujtahid mutlak yang mumpuni, Imam Syafi`i juga tidak mengklaim pendapatnya paling benar. Dalam perselisihan pendapatnya, lebih dari 200 masalah dengan gurunya, Imam Malik, ia berkata, "Pendapatku benar (tetapi) mengandung kemungkinan salah; pendapat orang lain salah, (tetapi) memngandung kemungkinan benar".
Jadi, semua ulama dan pemikir besar Islam abad pertengahan mewariskan teladan dan kearifan yang sama, rendah hati. Mereka selalu mengakhiri tulisan dengan tidak lupa mencantumkan selalu kalimat "Wa Allah-u a`lam bi al-shawab" yang berarti mengembalikan kebenaran sejati hanya kepada Allah SWT. Memang seperti itulah watak dan karakter para pembelajar sejati. Wa Allahu a`lam! N

A Ilyas Ismail - Dosen UIN Syarif Hidayatullah, Dekan FAI-UIA Jakarta
Share:

0 komentar:

Posting Komentar

Copyright © Mahasiswa STAI Muttaqien BPAI 2016 | Powered by Blogger Distributed By Protemplateslab & Design by ronangelo | Blogger Theme by NewBloggerThemes.com