Rabu, 01 November 2017

FILSAFAT PENDIDIKAN ISLAM ALIRAN FILSAFAT PENDIDIKAN BARAT DAN ISLAM

MAKALAH
FILSAFAT PENDIDIKAN ISLAM
ALIRAN FILSAFAT PENDIDIKAN BARAT DAN ISLAM

Dosen Pengampu:
Dr. H. Anang Abdul Razak, M.Pd









Disusun oleh :

Ahmad Sibawe Rizalidin              0101.1601.031
Nendi Apriki                                 0101.1601.047
Siti Masitoh                                    0101.1601.059

2B
Pendidikan Agama Islam (PAI)



SEKOLAH TINGGI AGAMA ISLAM
DR. KHEZ MUTTAQIEN
PURWAKARTA
2017


KATA PENGANTAR

Segala puji hanya bagi Allah, penyusun memuji-Nya, memohon pertolongan-Nya, memohon ampunan-Nya dan bertaubat kepada-Nya. Barang siapa yang diberi hidayah oleh Allah, maka tidak ada yang mampu menyesatkannya, sehingga penyusun dapat menyusun Makalah Filsafat Pendidikan Islam “Aliran Filsafat Pendidikan Barat dan Islam”  ini dengan baik dan lancar.
Penyusun menyadari bahwa isi makalah ini masih jauh dari kesempurnaan, mengingat waktu dan kemampuan yang penyusun miliki. Karena itu kepada para pembaca, penyusun harapkan kritik dan sarannya demi sempurnanya makalah ini dimasa yang akan datang. Untuk itu penyusun ucapkan terimakasih.
Semoga amal baik yang telah diberikan kepada penyusun, mendapat imbalan dari Allah swt. Dan semoga makalah ini dapat bermanfaat khususnya bagi peyusun dan umumnya bagi para pembaca. Jika ternyata ada yang benar dalam laporan ini maka itu semata-mata karunia dari Allah, dan jika ada kesalahan maka itu tidak lain dari diri penyusun sendiri. Penyusun berharap kepada para pembaca agar bersedia memberikan masukan atas apa yang dibacanya.

Purwakarta24 Februari 2017

Penyusun.











BAB I
PENDAHULUAN

A.    Latar Belakang Masalah
Pendidikan dan kehidupan manusia merupakan dua hal identik yang tak bisa dipisahkan satu sama lain. cara berfikir sistematis tentang segala yang ada, merenungkan secara rasional-spekulatif seluruh persoalan manusia dengan segala yang ada di jagat raya ini dengan asumsi manusia memliki kekuatan intelektual yang sangat tinggi dan berusaha mencari dan menemukan hubungan dalam keseluruhan alam berfikir dan keseluruhan pengalaman Filsafat preskriptif berusaha untuk menghasilkan suatu ukuran (standar) penilaian tentang nilai-nilai, penilaian tentang perbuatan manusia, penilaian tentang seni, menguji apa yang disebut baik dan jahat, benar dan salah, bagus dan jelek.
Filsafat pendidikan merupakan titik permulaan dalam proses pendidikan, juga menjadi tulang punggung kemana bagian-bagian yang lain dalam pendidikan itu bergantung dari segi tujuan-tujuan pendidikan, kurikulum pendidikan, metode mengajar, penilaian adminitrasi, alat-alat mengajar, dan lain-lain lagi aspek pendidikan yang memberinya arah, menunjuk jalan yang akan dilaluinya dan meletakkan dasar-dasar dan prinsip tempat tegaknya.
Setiap filosof pendidikan Barat maupun filosof pendidikan Islam pasti mempunyai aliran yang dicetuskan maupun yang dianut oleh masing-masing orang. Misalnya saja dalam filsafat pendidikan Barat ada yang namanya aliran Nativisme, aliran Naturalisme, aliran Empirisme, aliran Konvergensi, dan lain-lain. Tidak berbeda pula dengan filsafat pendidikan Islam, di dalamnya juga terdapat banyak aliran yang berbeda tetapi konteks dan rujukan tetap kepada al-Qur’an dan al-Hadist.
           Maka pentingnya makalah ini di buat untuk mengetahui tentang aliran-aliran filsafat pendidikan barat dan Islam dan juga implikasinya dalam pemikiran dan pendidikan. Dari kajian tentang filsafat pendidikan selanjutnya dihasilkan berbagai teori pendidikan yang akan dijelaskan dalam pembahasan makalah ini

B.     Permasalahan
Dari deskripsi yang dikemukakan pada latar belakang di atas, dapat diformulasikan permasalahan sebagai berikut: ”Apa saja aliran-aliran filsafat pendidikan Barat dan Islam?”










BAB II
PEMBAHASAN

A.      Aliran-aliran Filsafat Pendidikan Barat
1.    Aliran Progresivisme
Progressivisme muncul di Amerika Serikat tahun 1870 yang di perkenalkan oleh  Francis W. Parker. Para reformis yang menanamkan dirinya kaum progresif itu menentang sitem pendidikan tradisional yang sangat kaku, menuntut disiplin ketat, dan menuntut subjek didik menjadi pasif. Gerakan pembaharuan yang sudah ada sejak akhir abad XIX itu mendapatkan angin baru pada abad XX dengan munculnya filsafat pragmatisme. Filsuf dan pendidik yang bernama Jhon Dewey berusaha menjalin pendidikan progresif dengan filsafat pragmatisme.
Aliran progressivisme berpendapat bahwa pendidikan merupakan suatu proses penggalian pengalaman terus-menerus. Pendidik haruslah siap sedia untuk mengubah metode dan kebijakan perencanaanya dalam mengikuti perkembanagan zaman yang berkaitan erat dengan kemajuan ilmu pengetahuan dan perubahan lingkungan. Inti pendidikan tidak terletak dalam usaha penyesuaian dengan masyarakat atau dunia luar sekolah, dan juga tidak terletak dalam usaha untuk menyesuaikan dengan standar kebaikan, kebenaran, dan keindahan yang abadi, melainkan dalam usaha untuk terus menerus merekonstruksi (menyusun kembali) pengalaman hidup.[12]
Aliran progressivisme adalah suatu aliran filsafat pendidikan yang sangat berpengaruh dalam abad ke 20 ini. Pengaruh itu terasa diseluruh dunia, terlebih di Amerika serikat. Usaha pembaharuan di dalam lapangan pendidikan pada umumnya terdorong oleh aliran progressivisme ini. Biasanya aliran progressivisme ini dihubungkan dengan pandangan hidup liberal –“The liberal road to culture”. Yang dimaksudkan dengan ini ialah pandangan hidup yang mempunyai sifat-sifat sebagai berikut: fleksibel (tidak kaku, tidak menolak perubahan, tidak terikat oleh suatu doktrin tertentu), corious (ingin mengetahui, ingin menyelidiki), toleran dan open-minded (mempunyai hati terbuka).[13]
Konsep-konsep Dasar Progressivisme
Untuk merealisasikan harapan tersebut, rekontruksionisme mendasarkan diri pada konsep yang antara lain seperti yang dirumuskan oleh George F. Kneller bahwa prinsip-prinsip mendasar progressivisme dapat dirincikan menjadi enam:
Pertama, pendidikan harus lebih “aktif” dan berkaitan dengan minat anak. Progrssivisme menekankan perlunya memusatkan pendidikan pada anak sebagaimana adanya. Anak sebagai suatu keutuhan pribadi mempunyai dunianya sendiri yang mesti dihormati dan dijadikan pangkal tolak untuk kegiatan pendidikan. Sekolah mesti berpusat pada anak sehingga proses belajar dan bahan atau materi belajar tidak hanya ditentukan oleh guru melainkan didasarkan pada minat dan kebutuhan anak sendiri.
      Kedua, belajar melalui pemecahan masalah mesti menggantikan cara belajar yang menekankan penerimaan bahan jadi. Progressivisme menolak pandangan tradisiaonal yang menyatakan bahwa belajar secara hakiki terjadi melalui penerimaan pengetahuan dan pengetahuan dimengerti sebagai barang abstrak yang dimasukkan oleh guru yang dimasukkan kedalam benak anak. Bagi progressivisme pengetahuan merupakan alat untuk mengolah pengalaman untuk menangani situasi yang terus menerus dimunculkan oleh gerak perubahan hidup. Bermakna, maka kita mesti dapat berbuat sesuatu dengan pengetahuan tersebut.
      Ketiga, pendidikan mesti merupakan hidup sendiri dan bukan hanya suatu persiapan untuk hidup. Semua hidup yang dinalar merupakan suatu kegiatan belajar karena hal itu melibatkan penafsiran dan penataan kembali pengalaman. Maka dari itu sekolah perlu di jadikan tempat anak belajar untuk hidup secara kritis dan bernalar. Sekolah mesti menempatkan anak didik dalam situasi belajar yang sesuai dengan umur dan menunjuk pada hal-hal yang kiranya akan dihadapi dalam hidupnya sebagai orang dewasa.
Keempat, peranan guru lebih sebagai pendamping dan penasehat dari pada sebagai penentu pokok. Minat dan kebutuhan anak didiklah yang mesti menjadi penentu pokok tentang apa yang semestinya mereka pelajari. Anak-anak mesti dibimbing untuk merencanakan kegiatan belajar mereka. Guru menyediakan fasilitas dengan memberikan pengetahuan dan pengalamannya yang lebih luas. Untuk mereka gunakan, dan apabila mengalami kemacetan guru perlu menolong.
Kelima, sekolah mesti mendorong adanya kerjasama diantara murid-murid dan bukan persaingan. Manusia pada dasarnya merupakan makhluk sosial dan mendapatkan kepuasannya yang terbesar dari hubungan-hubungan mereka satu sama lain. Kaum progresif yakin bahwa pertemanan lebih cocok untuk pendidikan ketimbang persaingan dan semangt mengejar sukses pribadi. Hal ini karena pertemanan dapat mengembangkan segi yang lebih tinggi sebagai manusia, sebagai makhluk yang berbudaya. Pada faktanya peserta didik lebih senang bekerja secara kolektif dibandingkan bekerja secara individual. Pendidikan sebagai penataan kembali kodrat kemanusiaannya dalam lingkup sosial karena masing-masing orang akan dapat tumbuh dan berkembang bersama yang lain.
Keenam, demokrasi memungkinkan dan mendorong adanya peraturan bebas gagasan dan peraturan macam-macam pribadi yang merupakan syarat penting untuk pertumbuhan. Bagi kaum progresif kerjasama dan demokrasi saling mengendalikan. Secara ideal, demokrasi merupakan pengalaman yang dijalani bersama, seperti dinyatakan oleh Dewey: “suatu demokrasi itu lebih dari pada sekedar suatu bentuk pemerintahan. Demokrasi pertama-tama merupakan suatu bentuk kehidupan bersama; suatu pengalaman komunikatif yang digabungkan”.[14]
Sifat-sifat Aliran Progressivisme
Sifat-sifat umum aliran progressivisme dapat diklasifikasikan dalam dua kelompok: (a) sifat-sifat negatif, dan (b) sifat-sifat positif.
Sifat itu dikatakan negatif dalam arti bahwa, progressivisme menolak otoritarisme dan absolutisme dalam segala bentuk seperti misalnya terdapat dalam agama, politik, etika dan epistimologi. Positif dalam arti bahwa progressivisme menaruh kepercayaan terhadap kekuatan alamiah dari manusia, kekuatan-kekuatan yang diwarisi oleh manusia dari alam sejak ia lahir-man’s natural powers. Terutama yang dimaksud ialah kekuatan–kekuatan manusia untuk terus-menerus melawan dan mengawasi kekuatan-kekuatan, takhayul-takhayul dan kegawatan-kegawatan yang timbul dari lingkungan hidup yang selamanya mengancam. Istilah filsafat yang biasanya dipakai untuk menggambarkan pandangan hidup yang demikian disebut pragmatisme. Dalam arti terbatas pragmatisme adalah suatu teori pikir. Akan tetapi lazim juga istilah pragmatisme yaitu meliputi sekelompok keyakinan-keyakinan filsafat mengenai alam dan manusia. Maka tugas pendidikan menurut progressivisme ialah meneliti sejelas-jelasnya kesanggupan-kesanggupan manusia itu dan menguji kesanggupan-kesanggupan itu dalam pekerjaan praktis. Yang dimaksud disini ialah bahwa manusia hendaknya memperkerjakan ide-ide atau pikiran-pikirannya. Manusia tidak hendaknya berpikir melulu untuk kesenangan berpikir saja, manusia hendaknya berpikir untuk berbuat. Progressivisme menolak pendapat bahwa manusia hanya dapat menyerah saja kepada kekuatan-kekuatan dalam lingkungannya. Progressivisme berpendapat, bahwa pendidikan  adalah alat kebudayaan yang paling baik. Bahwa dengan pendidikan sebagai alat, manusia dapat menjadi “the masters, not the slaves. Of social as well as other kinds of natural change”.
Ciri-ciri Pendidikan Progressivisme
Progresivisme mempunyai konsep yang didasari oleh pengetahuan dan kepercayaan bahwa manusia itu mempunyai kemampuan-kemampuan yang wajar dan dapat menghadapi dan mengatasi masalah-masalah yang dapat menekan atau mengancam adanya manusia itu sendiri.
Pendidikan yang bercorak otoriter ini dapat diperkirakan mempunyai kesulitan untuk mencapai tujuan –tujuan (yang baik) karena kurang menghargai dan memberikan tempat semestinya kepada kemampuan-kemampuan tersebut dalam proses pendidikan. Padahal semuanya itu adalah ibarat motor penggerak manusia dalam usahanya untuk mengalami kemajuan atau progres.
Oleh karena kemajuan atau progres ini menjadi perhatian progresevisme, maka beberapa ilmu pengetahuan yang mampu menumbuhkan kemajuan dipandang oleh progressivisme merupakan bagian utama dari kebudayaan. Menurut progressivisme, ide-ide, teori-teori, atau cita-cita itu tidaklah cukup hanya diakui sebagai hal-hal yang ada, tetapi yang ada disini haruslah dicari artinya bagi suatu kemajuan atau maksud bagi yang lain. Disamping itu manusia harus dapat memfungsikan jiwanya untuk membina hidup yang mempunyai banyak persoalan dan silih berganti ini.
Ciri utama yang menjadi identitas progressivisme dalam mistion filsafat pendidikan tercermin dalam:
a.    Pendidikan dalam kebudayaan liberal.
b.    Menjadi pelopor pembaharuan ide-ide lama menuju asas-asas baru menyongsong kebudayaan dan zaman baru.
c.    Peralihan menuju kebudayaan baru.
Progresif menghendaki pendidikan yang membina dan berdasarkan minat belajar yang mencakup seluruh pengalaman sosial anak dan orang dewasa sekaligus menaruh perhatian kepada minat anak secara individual. Aliran ini lebih memusatkan perhatian pada proses yang continue dari pada interaksi antar pribadi dengan masyarakat dibandingkan dengan ketentuan-ketentuan normatif yang sesungguhnya adalah produk interaksi itu sendiri.[15]


Perkembangan Aliran Progressivisme
Dalam abad ke 19 dan ke 20 ini tokoh-tokoh progressivisme terutama terdapat di Amerika Serikat. Thomas Paine dan Thomas Jefferson memberikan sumbangan pada progressivisme karena kepercayaan mereka akan demokrasi dan penolakan terhadap sikap yang dogmatis, terutama dalam agama. Charles S. Pierce mengemukakan teori tentang pikiran dan hal berpikir: pikiran itu hanya berguna atau berarti bagi manusia apabila pikiran itu “bekerja”, yaitu memberikan pengalaman (hasil) baginya. Fungsi berpikir tidak lain dari pada membiasakan manusia untuk berbuat. Perasaan dan gerak jasmaniah (perbuatan) adalah manifestasi-manifestasi yang khas dari aktivitas manusia dan kedua hal itu tak dapat dipisahkan dari kegiatan intilek (berpikir). Jika dipisahkan, perasaan dan perbuatan menjadi abstrak dan dapat menyesatkan manusia.
 Keyakinan-keyakinan Progressivisme Tentang Pendidikan
Perlu diketahuai bahwa pragmatisme sebagai filsafat dan progressivisme sebagai pendidikan erat sekali hubungannya dengan kepercayaan yang sangat luas dari Jhon Dewey dalam lapangan pendidikan. Hal ini dengan jelas dapat ditelusuri lewat bukunya, Democracy and Education. Dalam bukunya inilah Dewey memperlihatkan keyakinan-keyakinan dan wawasan-wawasannya tentang pendidikan, serta mempraktekannya di sekolah-sekolah yang ia dirikan. Menurut Dewey tujuan umum pendidikan ialah warga masyarakat yang demokratis. Isi pendidikannya lebih mengutamakan bidang-bidang studi seperti, IPA, sejarah, keterampilan, serta hal-hal yang berguna atau langsung dirasakan oleh masyarakat.
Metode scientific lebih dipentingkan, dan bukan metode memorisasi seperti pada aliran esensialisme. Praktek kerja di laboratorium, di bengkel, di kebun (lapangan) merupakan kegiatan yang dianjurkan dalam rangka terlaksananya “learning by doing”. Progressivisme tidak menghendaki adanya mata pelajaran yang diberikan secara terpisah, melainkan harus diusahakan terintegrasi dalam unit. Karena perubahan yang selalu terjadi maka diperlukan fleksibilitas dalam pelaksanaannya, dalam arti tidak kaku tidak menghindar dari perubahan, tidak terikat oleh doktrin tertentu bersifat ingin tahu, toleran, dan berpandangan luas serta terbuka.[16]

2.    Aliran Esensialisme
Aliran esensialisme merupakan aliran pendidikan yang didasarkan pada nilai-nilai kebudayaan yang telah ada sejak awal peradaban umat manusia. Esensialisme muncul pada zaman Renaisance dengan cirri-cirinya yang berbeda dengan progesivisme. Dasar pijakan aliran ini lebih fleksibel dan terbuka untuk perubahan, toleran, dan tidak ada keterkaitan dengan doktrin tertentu. Esensiliasme memandang bahwa pendidikan harus berpijak pada nilai-nilai yang memiliki kejelasan dan tahan lama, yang meberikan kestabilan dan nilai-nilai terpilih yang mempunyai tata yang jelas (Zuhairini, 1991: 21).

Esensialisme berawal dari suatu gerakan dalam dunia pendidikan dan tidak mengikatkan diri pada suatu aliran filsafat tertentu. ”Esensialisme” berasal dari kata latin “esential” yang berarti “hal yang pokok/hakiki”. Aliran ini merupakan reaksi terhadap progresivisme yang terlalu menekankan metode belajar melalui pemecahan masalah dan aktivitas sendiri para siswa/mahasiswa untuk mengikuti minat dan kebutuhan mereka.[5]
Esensialisme muncul pada zaman Renaissans, dengan ciri-ciri utamanya yang berbeda dengan progressivisme. Perbedaan ini terutama dalam memberikan dasar berpijak mengenai pendidikan yng penuh fleksibilitas, dimana serba terbuka untuk perubahan, toleran dan tidak ada keterkaitan dengan doktrin tertentu. Bagi esensialisme, pendidikan yang berpijak pada dasar pandangan itu mudah goyah dan kurang terarah. Karena itu esensialisme memandang bahwa pendidikan harus berpijak pada nilai-nilai yang memiliki kejelasan dan tahan lama, sehingga memberikan kestabilan dan arah yang jelas.[6]
Esensialisme merupakan falsafah pendidikan tradisional yang memandang bahwa nilai-nilai pendidikan hendaknya bertumpu pada nilai-nilai yang jelas dan tahan lama sehingga menimbulkan kestabilan dan arah yang jelas pula. Nilai-nilai humanisme yang dipegangi oleh esensialisme dijadikan sebagai tumpuan hidup untuk menantang kehidupan materialistik, sekuler, dan saintifik yang gersang dari nilai-nilai kemanusian. Gerakan esensialisme modern sebenarnya berkembang pada awal abad ke-20, dan muncul sebagi jawaban atas aliran progresivisme.[7]
Esensialisme didasari atas pandangan humanisme yang merupakan reaksi terhadap hidup yang mengarah pada keduniawian, serba ilmiah dan materialistik. Selain itu juga diwarnai oleh pandangan-pandangan dari paham penganut aliran idealisme dan realisme.
Tujuan umum aliran esensialisme adalah membentuk pribadi bahagia di dunia dan akhirat. Isi pendidikannya mencakup ilmu pengetahuan, kesenian, dan segala hal yang mampu menggerakkan kehendak manusia. Kurikulum bagi esensialisme merupakan semacam miniatur dunia yang bisa dijadikan sebagai ukuran kenyataan, kebenaran dan kegunaan. Maka dalam sejarah perkembangannya, kurikulum esensialisme menerapkan berbagai pola kurikulum, seperti pola idealisme, realisme, dan sebagainya. Sehingga peranan sekolah dalam menyelenggarakan pendidikan bisa berfungsi sesuai dengan prinsip-prinsip dan kenyataan sosial yang ada di masyarakat.[8]
Dalam hubungannya dengan pendidikan, esensialisme menekankan pada tujuan pewarisan nilai-nilai kultural-historis kepada peserta didik melalui pendidikan yang akumulatif dan terbukti dapat bertahan lama serta bernilai untuk diketahui oleh semua orang. Pengetahuan ini dilaksanakan dengan memberikan skill, sikap dan nilai-nilai yang tepat, yang merupakan bagian esensial dari unsur-unsur pendidikan.
Kurikulum dipusatkan pada penguasaan materi pelajaran (subject-centered), dan karenanya fokus pendidikan selama masa sekolah dasar adalah keterampilan membaca, menulis, dan berhitung, sementara pada sekolah menengah hal tersebut diperluas dengan memasukkan pelajaran matematika, sains, humaniora, bahasa, dan sastra. Penguasaan materi kurikulum ini dianggap sebagai fondasi yang esensial bagi keutuhan pendidikan secara umum untuk memenuhi kebutuhan hidup. Asumsinya adalah bahwa dengan pendidikan yang ketat terhadap disiplin ilmu ini akan dapat membantu mengembangkan intelek siswa dan pada saat yang sama akan menjadikan sadar terhadap lingkungan dunia fisiknya. Menguasai dasar konsep dan fakta dari disiplin ilmu yang esensial merupakan suatu keharusan.
Guru, dalam proses pendidikan, dipandang sebagai center for exellence, karena dituntut untuk menguasai bidang studi dan sebagai model atau figur yang amat diteladani bagi siswa. Guru harus menguasai materi pengetahuannya, sebab mereka dianggap memegang posisi tertinggi dalam pendidikan. Sekolah, melalui upaya guru, berperan untuk melestarikan dan mentransmisikan ilmu kepada para pelajar atau generasi selanjutnya yang berupa budaya dan sejarah melalui pengetahuan dan hikmah.[9]
Hakikat Aliran Esensialisme
Aliran esensialisme merupakan aliran yang ingin kembali kepada kebudayaan-kebudayaan lama warisan sejarah yang telah membuktikan kebaikan-kebaikannya bagi kehidupan manusia. Aliran esensialisme didasari atas pandangan humanisme yang merupakan reaksi terhadap hidup yang mengarah pada keduniawian, serba ilmiah, dan materialistik. Selain itu aliran ini juga diwarnai oleh pandangan-pandangan dari paham penganut aliran idealisme dan realisme.
Esensialisme percaya bahwa pendidikan harus didasarkan kepada niai-nilai kebudayaan yang telah ada sejak awal peradaban manusia. Esensia adalah kebudayaan yang mereka wariskan kepada kita hingga sekarang, telah teruji oleh segala kondisi dan sejarah. Esensia juga mampu mengemban hari kini masa depan dan umat manusia. Praktek-praktek filsafat pendidikan esensialisme lebih kaya dibandingkan jika ia hanya mengambil posisi yang sepihak dari salah satu aliran yang ia sintesakan itu.
Pandangan aliran esensialisme tentang ide-ide modern aliran ini lebih bersifat netral atau lebih tepat dikatakan aliran yang juga mensintesakan ide-ide abad tengah yang dogmatis religius dengan ide-ide renaissans yang sekuler.
Dalam rangka mempertahankan pahamnya itu khususnya dari persaingan dengan paham progresivisme, tokoh esensialisme mendirikan suatu organisasi yang bernama essentialist commite for the advancement of education pada tahun 1930. Melalui organisasi inilah pandangan-pandangan esensialisme dikembangkan dalam dunia pendidikan.
Tujuan umum aliran esensialisme adalah membentuk pribadi bahagi di dunia dan di akhirat. Isi pendidikannya mencakup ilmu pengetahuan, kesenian, dan segala hal yang mampu menggerakkan kehendak manusia. Kurikilum sekolah bagi esensialisme merupakan semacam miniatur dunia yang bisa dijadikan sebagai ukuran kenyataan, kebenaran, kegunaan. Dengan demikian peranan sekolah sebagai penyelenggara pendidikan menjadi berhasil dan berguna sesuai dengan prinsip-prinsip dan kenyataan sosial.[10]
Konsep-konsep Dasar Esensialisme, Terdapat beberapa prinsip asasiah yang menjadi asumsi dalam aliran esensialisme, yaitu :
a.    Kegiatan belajar pada dasarnya menuntut kerja keras dan latihan yang kadang membosankan.
b.    Insiatif pokok dalam pendidikan tidak terletak pada murid tetapi pada guru.
c.    Inti proses pendidikan adalah dikuasainya bahan yang sebelumnya sudah ditetapkan.
d.   Sekolah mesti mempertahankan metode tradisional yang menekankan disiplin mental.[11]

3.      Aliran Perenialisme
        Istilah “perenialisme” berasal dari kata lain latin “perenis” yang berarti    “abadi” atau “kekal”. Aliran filsafat pendidikan yang disebut perenialisme berpendapat bahwa prinsip-prinsip dasar pendidikan itu bersifat abadi atau tetap, dan tak berubah sepanjang zaman. Aliran ini mendapatkan dukungan baik dari kaum realis maupun kaum idealis yang mempertahankan pentingnya prinsip-prinsip dasar pendidikan yang berlaku mutlak mengatasi batas-batas ruang dan waktu. Bagi mereka realitas sejati itu pada dasarnya tetap tak berubah. Kodrat manusia pada hakekatnya tetap, demikian juga apa yang disebut kebenaran atau kebaikan. Apa yang disebut benar dan baik akan tetap benar dan baik entah dimana dan kapan saja. Atas dasar prinsip ini, maka pendidikan pun mesti mengacu pada prinsip-prinsip yang bersifat abadi.[1]
Dalam hal pendidikan, perenialisme memandang bahwa tujuan utama pendidikan adalah untuk membantu siswa dalam memperoleh dan merealisasikan kebenaran abadi. Aliran ini menilai bahwa kebenaran itu bersifat universal dan konstan. Maka jalan untuk mencapainya adalah melatih intelek dan disiplin mental. Tujuan pendidikan tersebut terurai dalam format kurikulum yang berpusat pada materi (Content Based, Subject-Centered) dan mengutamakan disiplin ilmu sastra, matematika, bahasa, humaniora, sejarah, dan lain-lain.
Guru dalam pandangan perenialisme,  mestilah orang yang menguasai betul terhadap disiplin ilmunya, sehingga mampu mengarahkan muridnya menuju pada kebenaran. Sedangkan sekolah berperan untuk melatih intelektual demi tercapainya kebenaran, dimana kebenaran tersebut suatu ketika akan diwariskan kepada generasi berikutnya. Oleh karena itu, sekolah harus mampu menyiapkan anak-anak dan remaja dalam menghadapi kehidupannya. Dalam hal ini, Robert M. Hutchin yang merupakan pelopor perenialis di Amerika, menyatakan: education implies teaching. Teaching implies knowledge. Knowledge is truth. The truth is everywhere the same. Hence, education should be everywhere the same.[2]
Teori dasar dalam belajar menurut perenialisme terutama:
a.    Mental discipline sebagai teori dasar
Penganut perenialisme sependapat bahwa latihan rutin dan pembinaan berpikir (mental disciplin) adalah salah satu kewajiban tertinggi dari belajar, atau keutamaan dalam proes belajar
(yang tertinggi).
b.    Rasionalitas dan Asas Kemerdekaan
Asas berfikir dan kemerdekaan harus menjadi tujan utama pendidikan. Otoritas berfikir harus disempurnakan sesempurna mungkin. Dan makna kemerdekaan pendidikan ialah membantu manusia untuk menjadi dirinya sendiri, be him-self, sebagai essential self yang membedakannya dari makhluk-makhluk lain. Fusi belajar harus diabdikan bagi tujuan ini, aktualitas sebagai makhluk rasional yang dengan itu bersifat merdeka.[3]
c.    Learning to Reason (Belajar untuk berpikir)
Perlu adanya penanaman pembiasaan pada diri anak sejak dini dengan kecakapan membaca, menulis, dan berhitung. Dari sini, belajar menjadi tujuan pokok sekolah menengah dan universitas
d.   Belajar sebagai persiapan hidup
Sekolah bukanlah merupakan situasi kehidupan yang nyata. Sekolah bagi anak merupakan peraturan-peraturan yang artificial dimana ia bersentuhan dengan hasil yang terbaik dari warisan sosial budaya.

e.    Learning through teaching (Belajar melalui pengajaran)
Fungsi guru menurut perenialisme berbeda dengan esensialisme. Menurut esensialisme guru sebagai perantara antara bahan (kebudayaan, ilmu, dunia) dengan anak yang melakukan proses penyerapan (absortion). Dalam pandangan perenialisme, tugas guru bukanlah perantara antara dunia dengan jiwa anak, melainkan guru juga sebagai murid yang mengalami proses belajar sementara mengajar. Guru mengembangkan potensi-potensi self discovery, dan ia melakukan otoritas moral (moral authority) atas mudrid-muridnya karena ia seorang profesional yang memiliki kualifikasi dan superior dibandingkan murid-muridnya. Guru harus mempunyai aktualisasi yang lebih (perfect knowedge).
Atas dasar pandangan diatas dapatlah disimpulkan bahwa belajar pada hakekatnya adalah belajar untuk berfikir. Untuk itu perlu diadakan kebiasaan-kebiasaan sejak peserta didik masih muda. Belajar dapat dibedakan menjadi dua, yaitu belajar karena pengajaran dan belajar karena penemuan.[4]

4.      Aliran Rekonstruksionisme
Kata Rekonstruksionisme bersal dari bahasa Inggris reconstruct, yang berarti menyusun kembali. Dalam konteks filsafat pendidikan, rekonstruksionisme merupakan suatu aliran yang berusaha merombak tata susunan hidup kebudayaan yang bercorak modern. Aliran rekonstruksionisme pada prinsipnya sepaham dengan aliran perenialisme, yaitu berawal dari krisis kebudayaan modern. Menurut Muhammad Noor Syam (1985: 340), kedua aliran tersebut memandang bahwa keadaan sekarang merupakan zaman yang mempumyai kebudayaan yang terganggu oleh kehancuran, kebingungan, dan kesimpangsiuran.
Aliran rekonstruksionisme berkeyakinan bahwa tugas penyelamatan dunia merupakan tugas semua umat manusia. Karenanya, pembinaan kembali daya intelektual dan spiritual yang sehat melalui pendidikan yang tepat akan membina kembali manusia dengan nilai dan norma yang benar pula demi generasi yang akan datang, sehingga terbentuk dunia baru dalam pengawasan umat manusia.
Di samping itu, aliran ini memiliki persepsi bahwa masa depan suatu bangsa merupakan suatu dunia yang diatur dan diperintah oleh rakyat secara demokratis, bukan dunia yang dikuasai oleh golongan tertentu. Cita-cita demokrasi yang sesungguhnya tidak hanya teori, tetapi mesti diwujudkan menjadi kenyataan, sehingga mampu meningkatkan kualitas kesehatan, kesejahteraan dan kemakmuran serta keamanan masyarakat tanpa membedakan warna kulit,, keturunan, nasionalisme, agama (kepercayaan) dan masyarakat bersangkutan.


B.       Aliran-aliran Filsafat Pendidikan Islam
Dalam dunia pendidikan Islam, terdapat tiga aliran utama filsafat pendidikan Islam, yaitu: 1) Aliran Konservatif, dengan tokoh utamanya adalah al-Ghazali, 2) Aliran Religius-Rasional, dengan tokoh utamanya yaitu Ikhwan al-Shafa, dan 3) Aliran Pragmatis, dengan tokoh utamanya adalah Ibnu Khaldun.(Mahmud Arif, 2002: 52)
1.    Aliran Konservatif (al-Muhafidz)
Tokoh-tokoh aliran ini adalah al-Ghazali, Nasiruddin al-Thusi, Ibnu Jama’ah, Sahnun, Ibnu Hajar al-Haitami, dan al-Qabisi. Aliran al-Muhafidz cenderung bersikap murni keagamaan. Aliran ini memaknai ilmu dengan pengertian sempit. Menurut al-Thusi, ilmu yang utama hanyalah ilmu-ilmu yang dibutuhkan saat sekarang, yang jelas akan membawa manfaat di akhirat kelak. (Samsul Nizar, 2002: 90)
Aliran al-Muhafidz cenderung bersikap murni keagamaan. Aliran ini memaknai ilmu dengan pengertian sempit. Menurut al-Thusi, ilmu yang utama hanyalah ilmu-ilmu yang dibutuhkan saat sekarang, yang jelas akan membawa manfaat di akhirat kelak.
Al-Ghazali mengklasifikasikan ilmu menjadi:
Berdasarkan pembidangannya, ilmu dibagi menjadi dua bidang:
a.    Ilmu syar’iyyah, yaitu semua ilmu yang berasal dari para Nabi, terdiri atas:
1)   Ilmu ushul (ilmu pokok). Contoh: ilmu al-qur’an, sunah nabi, pendapat-pendapat sahabat dan ijma.
2)   Ilmu furu’ (cabang). Contoh: fiqh dan akhlak.
3)   Ilmu pengantar (mukaddimah). Contoh: ilmu bahasa dan gramatika.
4)   Ilmu pelengkap (mutammimah).
b.    Ilmu ghoiru syar’iyyah, yaitu semua ilmu yang berasal dari ijtihad ulama’ atau intelektual muslim, terdiri atas:
1)   Ilmu terpuji. Misalnya: ilmu kedokteran, ilmu berhitung dan ilmu pustaka.
2)   Ilmu yang diperbolehkan (tak merugikan). Misalnya: kebudayaan, sastra, sejarah, puisi.
3)   Ilmu yang tercela (merugikan). Misalnya: ilmu tenung, sihir dan bagian-bagian tertentu dari filsafat.
Berdasarkan status hukum mempelajarinya, dapat digolongkan menjadi:
a.    Ilmu yang fardlu ‘ain, yakni ilmu yang wajib dipelajari oleh setiap individu muslim. Contoh: ilmu tentang tata cara shalat, dan puasa. Kemudian, ilmu yang fardlu ‘ain ini, oleh al-Ghazali, dibagi menjadi dua yaitu: Ilmu Mu’amalah dan ilmu Mukasyafah.
b.    Ilmu yang fardlu kifayah, yakni ilmu yang bila sebagian umat Islam telah mempelajarinya, maka yang lain tidak tertuntut kewajiban mempelajarinya. Contoh: ilmu kedokteran, ilmu hitung dan perdagangan.
Al-Ghazali menegaskan bahwa ilmu-ilmu keagamaan hanya dapat diperoleh dengan kesempurnaan rasio dan kejernihan akal budi. Karena, hanya dengan rasiolah manusia mampu menerima amanat dari Allah dan mendekatkan diri kepada-Nya. Pemikiran al-Ghazali ini sejalan dengan aliran Mu’tazilah yang berpendapat bahwa rasio mampu menetapkan baik buruknya sesuatu.
Pola umum pemikiran al-Ghazali dalam pendidikannya antara lain:
a.    Kegiatan menuntut ilmu tiada lain berorientasi pada pencapaian ridha Allah.
b.    Teori ilmu ilhami sebagai landasan teori pendidikannya, dan diperkuat dengan sepuluh kode etik peserta didik.
c.    Tujuan agamawi merupakan tujuan puncak kegiatan menuntut ilmu.
d.   Pembatasan term al-‘ilm hanya pada ilmu tentang Allah.
Sedangkan menurut Ibnu Jama’ah, para penuntut ilmu harus mengawali belajarnya dengan al-Quran, menghafal dan menafsirkannya.  Kemudian, ilmu-ilmu yang perlu diprioritaskan adalah Ulumul Quran, al-Hadits, Ulumul Hadits, Ushul, Nahwu dan Sharaf.
Dapat ditarik kesimpulan bahwa pemikiran utama aliran konservatif antara lain:
a.    Ilmu adalah ilmu al-hal, yaitu ilmu yang dibutuhkan saat sekarang yang bisa membawa manfaat di akhirat.
b.    Ilmu-ilmu selain ilmu keagamaan adalah sia-sia.Ilmu hanya bisa diperoleh melalui rasio.

2.    Aliran Religius-Rasional (al-Diniy al-‘Aqlaniy)
Tokoh-tokoh aliran ini adalah Ikhwan al-Shafa, al-Farabi, Ibnu Sina, dan Ibnu Miskawaih. Aliran ini dijuluki “pemburu” hikmah Yunani di belahan dunia Timur, dikarenakan pergumulan intensifnya dengan rasionalitas Yunani.
Menurut Ikhwan al-Shafa, yang dimaksud dengan ilmu adalah gambaran tentang sesuatu yang diketahui pada benak (jiwa) orang yang mengetahui. Proses pengajaran adalah usaha transformatif terhadap kesiapan ajar agar benar-benar menjadi riil, atau dengan kata lain, upaya transformatif terhadap jiwa pelajar yang semula berilmu (mengetahui) secara potensial, agar menjadi berilmu (mengetahui) secara riil-aktual. Dengan demikian, inti proses pendidikan adalah pada kiat transformasi potensi-potensi manusia agar menjadi kemampuan “psikomotorik”.
Ikhwan berpendapat bahwa akal sempurna mengemanasikan keutamaan-keutamaan pada jiwa dan dengan emanasi ini eternalitas akal menjadi penyebab keberadaan jiwa. Kesempurnaan akal menjadi penyebab keabadian jiwa dan supremasi akal menjadi penyebab kesempurnaan jiwa. Pandangan dualisme jiwa-akal Ikhwan tersebut merupakan bukti dari pengaruh pemikiran Plato.
Menurut Ikhwan, jiwa berada pada posisi tengah antara dunia fisik-materiil dan dunia akal. Hal inilah yang menjadikan pengetahuan manusia menempuh laju “linier-progresif” melalui tiga cara, yaitu:
a.    Dengan jalan indera, jiwa dapat mengetahui sesuatu yang lebih rendah dari substansi dirinya.
b.    Dengan jalan burhan (penalaran-pembuktian logis), jiwa bisa mengetahui sesuatu yang lebih tinggi darinya.
c.    Dengan perenungan rasional, jiwa dapat mengetahui substansi dirinya.
Ikhwan tidak sependapat dengan ide Plato yang menganggap bahwa belajar tiada lain hanyalah proses mengingat ulang. Ikhwan menganggap bahwa semua pengetahuan berpangkal pada cerapan inderawiah. Segala sesuatu yang tidak dijangkau oleh indera, tidak dapat diimajinasikan, segala sesuatu yang tidak bisa diimajinasikan, maka tidak bisa dirasiokan.
Kalangan Ikhwan sangat memberi tempat terhadap ragam disiplin ilmu yang berkembang dan bermanfaat bagi kemajuan hidup manusia. Implikasinya adalah konsep ilmu berpangkal pada “kesedia-kalaan” ilmu tanpa pembatasan.

Ikhwan membagi ragam disiplin ilmu sebagai berikut:
a.    Ilmu-ilmu Syar’iyah (keagamaan), yaitu:
1)        Ilmu Tanzil (ilmu Quran-Hadits)
2)        Ilmu Ta’wil (ilmu penafsiran)
3)        Ilmu Akhbar (ilmu penyampaian informasi keagamaan)
4)        Ilmu pengkajian sunnah dan hokum.
5)        Ilmu ceramah keagamaan, ilmu kezuhudan dan ta’bir mimpi.
b.    Ilmu-ilmu Filsafat
1)      Riyadliyyat (ilmu-ilmu eksak)
2)      Mantiqiyyat (retorika-logika)
3)      Thabi’iyyat (ilmu kealaman atau fisika)
4)      Teologi (ketuhanan).
c.    Ilmu-ilmu Riyadliyyat (matematik)
1)      Ilmu kitabah-qira’at (baca-tulis)
2)      Ilmu Nahwu (bahasa dan gramatika)
3)      Ilmu hitung dan transaksi
4)      Ilmu syi’ir dan prosa
5)      Ilmu peramalan
6)      Ilmu tenun dan sihir
7)      Ilmu profesi
8)      Ilmu jual-beli
9)      Ilmu sejarah
Tokoh lain dari aliran ini adalah Al-Farabi. Ia menganalisis manusia secara “fungsional-organik”. Ia membagi potensi manusia menjadi enam tingkatan, yaitu:
a.    Potensi al-ghadziyyah  (organ-organ tubuh yang berguna untuk mencerna makanan). Potensi ini timbul setelah manusia lahir.
b.    Potensi perasa, yaitu bias merasakan hawa dingin atau panas, dan lain-lain.
c.    Merespons dan bereaksi.
d.   Mempersepsi dan menghafal stimuli-stimuli inderawiah yang telah diterimanya.
e.    Potensi mutakhayyilah (imajinasi), yaitu mengasosiasikan dan memilah-milah unsur-unsur stimuli dengan aneka model.
f.     Potensi muthlaqah (mengabstraksi), yaitu menalar, mengidentifikasi antara yang indah dan yang jelek, memungkinkan berkreasi dan berinovasi.
Al-Farabi menghendaki agar operasionalisasi pendidikan seiring dengan tahap-tahap perkembangan fungsi organ tubuh dan kecerdasan manusia. Dari pemikiran kedua tokoh di atas, teori utama aliran Religius-Rasional ini antara lain:
a.    Pengetahuan adalah muktasabah, yakni hasil perolehan dari aktivitas belajar.
b.    Modal utama ilmu adalah indera.
c.    Lingkup kajian meliputi pengkajian dan pemikiran seluruh realitas yang ada.
d.   Ilmu pengetahuan adalah hal yang begitu bernilai secara moral dan sosial.
e.    Semua ragam ilmu pengetahuan adalah penting.

3.    Aliran Pragmatis (al-Dzarai’iy)
Tokoh aliran Pragmatis adalah Ibnu Khaldun. Sedangkan tokoh Pragmatisme Barat yaitu John Dewey. Bila filsafat pendidikan Islam berkiblat pada pandangan pragmatisme John Dewey, tujuan yang ingin dicapai dalam pendidikan adalah segala sesuatu yang sifatnya nyata, bukan hal yang di luar jangkauan pancaindera.
Menurut Ibnu Khaldun, ilmu pengetahuan dan pembelajaran adalah tabi’i (pembawaan) manusia karena adanya kesanggupan berfikir. Pendidikan bukan hanya bertujuan untuk mendapatkan ilmu pengetahuan akan tetapi juga untuk mendapatkan keahlian duniawi dan ukhrowi, keduanya harus memberikan keuntungan, karena baginya pendidikan adalah jalan untuk memperoleh rizki.
Dia menglasifikasikan ilmu pengetahuan berdasarkan tujuan fungsionalnya, yaitu:
a.         Ilmu-ilmu yang bernilai instrinsik. Misal: ilmu-ilmu keagamaan, Ontologi dan Teologi.
b.        Ilmu-ilmu yang bernilai ekstrinsik-instrumental bagi ilmu instrinsik. Misal: kebahasa-Araban bagi ilmu syar’iy, dan logika bagi ilmu filsafat.

Berdasarkan sumbernya, ilmu dapat dibagi menjadi dua yaitu:
a.         Ilmu ‘aqliyah (intelektual) yaitu ilmu yang diperoleh manusia dari olah pikir rasio, yakni ilmu Mantiq (logika), ilmu alam, Teologi dan ilmu Matematik.
b.        Ilmu naqliyah yaitu ilmu yang diperoleh manusia dari hasil transmisi dari orang terdahulu, yakni ilmu Hadits, ilmu Fiqh, ilmu kebahasa-Araban, dan lain-lain.
Menurut Ibnu Khaldun, daya pikir manusia merupakan “karya-cipta” khusus yang telah didesain Tuhan. Manusia pada dasarnya adalah jahil (tidak tahu), ia menjadi ‘alim (tahu) karena manusia belajar.
Ibn Khaldun menjadikan kealamiahan sebagai salah satu sumber pengetahuan rasional. Ia membebaskan rasio dari dari kungkungan naql (dogma, tradisi) dan menjadikannya sebagai sumber otonom pengetahuan.
Ia menyatakan bahwa ilmu pendidikan bukanlah suatu aktivitas yang semata-mata bersifat pemikiran dan perenungan yang jauh dari aspek-aspek pragmatis di dalam kehidupan, akan tetapi ilmu dan pendidikan merupakan gejala konklusif yang lahir dari terbentuknya masyarakat dan perkembangannya dalam tahapan kebudayaan. Menurutnya bahwa ilmu dan pendidikan tidak lain merupakan gejala sosial yang menjadi ciri khas jenis insani.
Dari pemikiran Ibnu Khaldun di atas, maka ide pokok pemikiran aliran Pragmatis antara lain:
a.         Manusia pada dasarnya tidak tahu, namun ia menjadi tahu karena proses belajar.
b.        Akal merupakan sumber otonom ilmu pengetahuan.
c.         Keseimbangan antara pengetahuan duniawi dan ukhrawi.





PENUTUP
KESIMPULAN

Perkembangan pendidikan dipengaruhi oleh beberapa aliran antara lain: Perenialisme, Esensialisme, Progresivisme dan Rekonstruktivisme adalah aliran-aliran yang mana mempunyai kerkaitan, yaitu saling membutuhkan antara satu dengan yang lainnya. Maka progresivisme bukan merupakan bangunan filsafat atau aliran filsafat yang berdiri sendiri, melainkan merupakan suatu gerakan dan perkumpulan yang didirikan pada tahun 1918, aliran ini berpendapat bahwa pengetahuan yang benar pada masa kini mungkin tidak benar di masa mendatang. Sedangkan aliran rekonstruksionisme berkeyakinan bahwa tugas penyelamatan dunia merupakan tugas semua umat manusia.
Kaum perenialis berpandangan bahwa dalam dunia yang tidak menentu dan penuh kekacauan serta membahayakan tidak ada satu pun yang lebih bermanfaat daripada kepastian tujuan pendidikan, serta kestabilan dalam perilaku pendidik. Sedangkan essensialisme mempunyai tinjauan mengenai pendidikan yang berbeda yaitu endidikan haruslah bersendikan pada nilai-nilai yang dapat mendatangkan stabilitas. Agar dapat terpenuhi maksud tersebut nilai-nilai itu perlu dipilih agar mempunyai tata yang jelas dan yang telah diuji oleh waktu. Dengan demikian, prinsip essensialisme menghendaki agar landasan-landasan pendidikan adalah nilai-nilai yang essensial dan bersifat menuntun.
Tiga aliran utama filsafat pendidikan Islam yang telah dibahas di atas, memiliki pendapat-pendapat yang berbeda antara satu dengan yang lain. Aliran yang pertama yaitu aliran Konservatif (al-Muhafidz). Mereka memaknai ilmu dengan pengertian sempit, yaitu hanya mencakup ilmu-ilmu yang bersifat keagamaan.
Sangat berbeda dengan aliran Konservatif ini, kalangan yang menamakan diri mereka Ikhwan al-Shafa, menganggap semua disiplin ilmu adalah penting. Mereka lebih luwes dalam merumuskan ilmu pengetahuan, dan indera adalah sumber utama ilmu pengetahuan. Kelompok Ikhwan dan tokoh-tokoh yang sealiran dengannya digolongan ke dalam aliran yang ke-dua yaitu aliran Religius-Rasional (al-Diniy al-‘Aqlaniy).
Aliran yang ke-tiga yaitu aliran Pragmatis (al-Dzarai’iy). Tokoh aliran ini adalah Ibnu Khaldun. Menurutnya, pendidikan bukan hanya bertujuan untuk mendapatkan ilmu pengetahuan akan tetapi juga untuk mendapatkan keahlian duniawi dan ukhrowi, keduanya harus memberikan keuntungan.













DAFTAR PUSTAKA

Anshari, Endang Saifuddin. 1987. Ilmu Filsafat dan Agama. Surabaya: PT. Bina Ilmu
Assegaf, Abd Rahman. 2001. Filsafat Pendidikan Islam. Jakarta: PT RajaGrafindo Persada.
Basri, Hasan. 2009.  Filsafat Pendidikan Islam. Bandung: Pustaka Setia
Bakhtiar, Amsal. 1999. Filsafat Agama. Jakarta: Logos Wacana Ilmu
Assegaf, Rachman. 2011. Filsafat Pendidikan Islam. Paradigma Baru Pendidikan Hadhari. Jakarta: Rajawali Pers
Nor Syam, Mohammad. 1988.  fisafat Pendidikan dan Dasar Filsafat Pendidikan Pancasila. Surabaya: Usaha Nasional.
Nizar, Samsul. 2002. Filsafat Pendidikan Islam: Pendidikan Historis, Teoritis dan Praktis. Jakarta: Ciputat Press
Khobir, Abdul. 2011. Filsafat Pendidikan Islam (Landasan Teoritis dan Praktis). Jogjakarta: Matagraf.
Ramayulis dkk. 2011. Filsafat Pendidikan Islam. Jakarta: Kalam Mulia
Ridla, Muhammad Jawwad. 2002. Tiga Aliran Utama Teori Pendidikan Islam: Perspektif Sosiologis-Filosofis. Terj.Mahmud Arif. Yogyakarta: Tiara Wacana Yogya
Tholib, Ismail. 2008. Wacana Baru Pendidikan. Yogyakarta: Genta Press
Zuhairini. 2012. Filsafat Pendidikan. Jakarta: PT Bumi Aksara.


[1] Ismail. Tholib, Wacana Baru Pendidikan, (Yogyakarta, Genta Press, 2008) hlm 99
[2]Abd Rachman Assegaf, Filsafat Pendidikan Islam: Paradigma Baru Pendidikan Hadhari, (Jakarta: Rajawali Pers, 2011) hlm 194-195.
[3] Mohammad Nor Syam,  fisafat Pendidikan dan Dasar Filsafat Pendidikan Pancasila, (Surabaya: Usaha Nasional, 1988), hlm 298
[4] Abdul Khobir, Filsafat Pendidikan Islam (Landasan Teoritis dan Praktis), (Jogjakarta : Matagraf, 2011) hlm 66-67.
[5]  Ismail. Tholib, Op.Cit. hlm. 109.
[6] Zuhairini, Filsafat Pendidikan, (Jakarta, PT Bumi Aksara, 2012), hlm. 25.
[7] Abd. Rachman Assegaf, Op.Cit. hlm. 191.
[8] Zuhairini, Op.Cit.  hlm 25-27.
[9] Abd. Rachman Assegaf, Op.Cit, hlm. 192.
[10] Abdul khobir, Op.Cit.hlm 54-55.
[11]Ismail Tholib, Op.Cit, hlm 110-114.
[12] Ismail Thoib, Wacana Baru pendidikan Meretas Filsafat Pendidikan Islam (Yogyakarta: Genta Press, 2008), hlm. 86-87.
[13] Zaini Muchtarom, Filsafat Pendidikan Islam (Jakarta: Bumi Akasara, 2012), hlm. 20-24.
[14] Ismail Thoib, op.cit., hlm. 87-95.
 [15] Abdul Khobir, op.cit.hlm. 49-51.

[16] Zaini Muchtarom, op.cit., hlm. 21-24.
Share:

0 komentar:

Posting Komentar

Copyright © Mahasiswa STAI Muttaqien BPAI 2016 | Powered by Blogger Distributed By Protemplateslab & Design by ronangelo | Blogger Theme by NewBloggerThemes.com